MALAM sudah larut ketika Zaki menutup jurnal kakeknya untuk kesekian kalinya. Lampu di ruang tamu rumah neneknya mulai bergetar halus, memancarkan cahaya kekuningan yang samar. Sepi yang melingkupi malam itu semakin menekan batinnya, membuat Zaki merenungkan semua yang telah ia temukan.
Di dalam jurnal, di tengah-tengah barisan kata-kata yang penuh teka-teki dan misteri, satu nama muncul berkali-kali. Seorang pria bernama Darsa, yang tampaknya bukan hanya sekadar rekan kakeknya dalam perjuangan, tetapi seseorang yang tampaknya memiliki hubungan erat dengan misi rahasia yang tersembunyi di antara kata-kata kakeknya.
Darsa. Nama itu terngiang di kepalanya. Berbeda dengan nama-nama lain yang tertulis dalam jurnal, Darsa tak hanya sekadar disebut dalam konteks pertemuan dan pergerakan bawah tanah. Beberapa kali Zaki membaca, seolah-olah kakeknya menulis dengan nada berbeda ketika membicarakan Darsa—seakan-akan ia memegang kunci penting dalam keseluruhan cerita ini. Dan yang lebih mencengangkan, berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada, Zaki mencurigai bahwa Darsa masih hidup.
Darsa tampak seperti sosok bayangan dalam catatan itu. Namanya muncul dalam beberapa bagian penting, selalu dikaitkan dengan operasi rahasia yang lebih besar. Namun tidak ada petunjuk yang cukup jelas tentang siapa dia sebenarnya. Zaki hanya bisa menebak bahwa Darsa memiliki peran penting dalam hilangnya beberapa pejuang di masa lalu, termasuk mungkin hilangnya kakeknya sendiri.
Ia menarik napas panjang, membuka halaman yang ditandainya dengan hati-hati, dan mulai membacanya lagi:
"Darsa akan bertemu dengan kami di tempat yang sudah ditentukan. Dia membawa kabar dari pelabuhan, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya. Aku tidak yakin apakah ini keputusan yang tepat, tapi dia bersikeras bahwa ini satu-satunya cara. Jika dia benar, kita harus bergerak cepat sebelum pihak lain mencium pergerakan kita."
Kata-kata itu menempel dalam benak Zaki. Apa yang dimaksud dengan "pihak lain"? Dan kenapa Darsa begitu yakin bahwa mereka harus bertindak cepat? Semua ini terasa semakin aneh, semakin rumit, seperti ada permainan yang lebih besar sedang berlangsung di balik layar perjuangan kemerdekaan.
Zaki bangkit dari duduknya, menatap ke luar jendela. Malam di kota pesisir ini selalu terasa sunyi, seolah-olah seluruh dunia menahan napas. Hanya suara desiran angin laut yang sesekali terdengar, melintasi celah-celah jendela kayu rumah tua itu. Di kejauhan, ia bisa mendengar suara kapal-kapal nelayan yang sedang berlayar, menjadi pengingat bahwa meski kota ini kecil dan tampak tenang, ada kekuatan yang lebih besar bergerak di bawah permukaan.
"Siapa sebenarnya Darsa ini?" gumam Zaki pada dirinya sendiri.
Tanpa sadar, jemarinya meraih ponsel yang tergeletak di meja. Rasa penasarannya menuntun Zaki untuk segera mencari tahu lebih lanjut. Ia mulai mencari informasi, memasukkan nama Darsa ke dalam mesin pencari internet, meskipun ia tahu bahwa nama itu mungkin tidak akan memberikan hasil yang jelas. Pria ini adalah bagian dari sejarah yang tak pernah ditulis. Seorang bayangan yang hidup dalam lembaran rahasia yang tak pernah diungkap.
Setelah beberapa pencarian tanpa hasil, Zaki memutuskan untuk mencoba cara lain. Ia membuka daftar kontak di ponselnya, menelusuri nama-nama lama yang pernah ia kenal. Salah satunya adalah Farid, teman semasa kecilnya, yang sekarang bekerja di lembaga sejarah lokal. Jika ada yang bisa membantu mengungkap siapa Darsa, Farid adalah orangnya.
“Farid,” Zaki mengetik pesan singkat, “Aku butuh bantuanmu. Ada nama yang harus kau telusuri dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan. Namanya Darsa. Bisa tolong lihat apakah ada informasi tentang dia?”
Pesan terkirim, dan Zaki merasa sedikit lebih tenang. Tapi ia tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang yang mungkin lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
Alina, yang sejak tadi duduk di sofa sambil memeriksa beberapa dokumen yang mereka temukan di pelabuhan, akhirnya angkat bicara. “Aku melihat wajahmu berubah saat membaca jurnal tadi,” katanya pelan, memecah kesunyian. “Kau menemukan sesuatu, kan?”
Zaki menatap Alina, kemudian mengangguk. “Nama Darsa. Dia muncul di beberapa bagian penting jurnal ini. Aku rasa dia masih hidup, dan mungkin dia punya jawaban atas semua pertanyaan yang belum terjawab tentang kakekku.”
Alina mengerutkan kening, jelas terkejut. “Darsa? Jadi kau berpikir ada seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang tertulis di jurnal?”
“Ya,” jawab Zaki dengan keyakinan yang makin kuat. “Dan kalau dia masih hidup, aku harus menemukannya. Mungkin dia satu-satunya orang yang bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada kakekku.”
Alina terdiam sejenak, merenung. “Tapi kita harus berhati-hati, Zaki. Jika Darsa memang terlibat dalam misi rahasia ini, ada kemungkinan dia tidak ingin ditemukan. Atau bahkan lebih buruk—mungkin ada alasan kuat mengapa dia menghilang selama ini.”
Zaki merenung sejenak, tetapi hatinya sudah mantap. Semua tanda mengarah pada satu kesimpulan: Darsa adalah kunci dari misteri ini. Jika pria itu masih hidup, maka ia bisa memberikan jawaban yang Zaki butuhkan—tentang kakeknya, tentang misi rahasia mereka, dan mungkin tentang sejarah yang selama ini disembunyikan.
"Aku harus menemukannya, Alina," Zaki mengulang dengan nada tegas. "Aku harus tahu kebenarannya."
Malam itu, Zaki tahu bahwa langkah berikutnya dalam pencariannya akan semakin membawa dia masuk ke dalam dunia yang penuh bahaya. Dunia yang mungkin kakeknya coba sembunyikan—untuk melindungi generasi berikutnya dari kegelapan masa lalu yang masih menghantui.
---
Pagi itu, Zaki duduk di kursi kayu reyot di sebuah warung kecil di pinggir jalan, sambil menatap secangkir kopi hitam yang belum tersentuh. Udara pagi kota pesisir ini terasa hangat, namun hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Di depannya, Alina sedang sibuk memeriksa peta kota dengan teliti, mencoba menemukan petunjuk tentang lokasi pria yang mereka cari—seorang veteran perang bernama Darsa, yang kini tampaknya tinggal di pinggiran kota, jauh dari keramaian.
“Kau yakin ini jalannya?” Alina bertanya, nada suaranya serius. Mata tajamnya beralih dari peta ke Zaki.
Zaki mengangguk pelan. “Dari informasi yang aku dapat dari Farid, pria ini tinggal di suatu tempat di utara kota. Daerahnya terisolasi, hampir tak ada orang yang tahu keberadaannya.”
Mereka telah menghabiskan beberapa hari terakhir mencoba melacak jejak Darsa. Informasi tentang pria itu sangat sedikit, dan tampaknya ia sengaja menutupi jejaknya dari dunia luar. Darsa tidak tercatat dalam dokumen resmi, dan bahkan dalam catatan perjuangan kemerdekaan, namanya hanya muncul dalam jurnal kakeknya—sebagai sosok yang tampaknya mengetahui rahasia besar yang kini Zaki coba ungkap.
“Kita mungkin butuh waktu lebih lama dari yang kita duga,” Alina berkata, sambil melipat peta. “Daerah utara sangat terpencil. Tidak ada angkutan umum yang ke sana. Kita harus berjalan kaki atau menemukan cara lain.”
Zaki mengangguk lagi, sambil menyesap kopinya yang mulai dingin. “Aku sudah mempersiapkan diri untuk itu. Tapi aku harus menemukannya, Alina. Dia satu-satunya orang yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakekku.”
Alina memandang Zaki dalam-dalam. Ia bisa merasakan kegigihan di balik kata-kata itu. “Kau benar,” katanya akhirnya. “Tapi kita harus hati-hati. Kalau Darsa benar-benar tahu sesuatu yang besar, mungkin ada alasan kenapa dia mengasingkan diri selama ini.”
Zaki hanya menatap jauh ke jalanan sepi di luar warung. Pikiran-pikiran itu terus menghantamnya seperti ombak—tentang kakeknya, tentang perjuangan yang ditinggalkan, dan tentang rahasia yang tersembunyi di balik semuanya. Apa yang sebenarnya Darsa sembunyikan? Dan apakah pria itu masih memiliki keberanian untuk mengungkapkan kebenaran setelah bertahun-tahun bersembunyi?
Mereka meninggalkan warung dengan persiapan seadanya. Tas punggung Zaki berisi beberapa barang penting—jurnal kakeknya, catatan yang ia buat selama penyelidikan, serta peta yang Alina peroleh dari arsip museum lokal. Hari sudah semakin siang saat mereka mulai menyusuri jalan yang semakin lama semakin sepi, menuju pinggiran kota yang hampir tak tersentuh modernitas.
Setelah beberapa jam berjalan melewati tanah yang mulai berbatu, perbukitan kecil, dan pepohonan yang tumbuh liar, mereka akhirnya tiba di area yang terasa benar-benar terisolasi. Jalanan yang mereka lalui sudah berubah menjadi jalan setapak yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki. Alina berhenti sejenak, memandang ke arah lembah di bawah mereka, yang dipenuhi dengan kabut tipis. “Kau yakin ini tempatnya?”
Zaki membuka peta dan mengamati sejenak. "Seharusnya. Farid bilang Darsa tinggal di sini, di suatu tempat di antara bukit-bukit ini."
Keduanya melanjutkan perjalanan, dan setelah satu jam lagi berjalan, mereka menemukan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan lebat. Rumah itu terlihat tua, dengan tembok kayu yang mulai lapuk dan atap seng yang hampir runtuh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar rumah, kecuali beberapa ekor ayam yang berkeliaran bebas.
“Ini dia,” Zaki berkata, suaranya bergetar sedikit. Mereka telah tiba di tujuan, namun ada perasaan aneh yang menggantung di udara.
Alina memandang rumah itu dengan hati-hati. “Sepertinya tidak ada orang di sini.”
Zaki mendekati pintu, mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Masih tidak ada suara. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu terbuka pelan dengan suara kayu yang berderit. Di dalam, tampak seorang pria tua berdiri dengan tatapan tajam, rambutnya beruban, tubuhnya kurus tapi masih tampak kuat.
“Siapa kalian?” suaranya serak, seperti sudah lama tidak berbicara dengan orang lain.
Zaki terdiam sejenak, menatap pria itu dengan pandangan penuh tanda tanya. Pria ini tidak diragukan lagi adalah Darsa, orang yang selama ini ia cari. Dalam hitungan detik, Zaki bisa merasakan aura misterius dari pria ini—seolah-olah dia menyimpan banyak cerita yang tak terucapkan.
“Kami hanya ingin bicara, Pak,” kata Zaki akhirnya, mencoba bersikap sopan. “Saya Zaki, cucu dari Zaman, yang dulu berjuang bersama Anda.”
Tatapan Darsa berubah tajam ketika mendengar nama itu. Ada sedikit kilatan di matanya, tapi ia tetap diam. Alina dan Zaki saling pandang, merasa bahwa ada sesuatu yang telah berubah di atmosfer di antara mereka.
“Zaman…” Darsa menggumamkan nama itu, seolah-olah nama itu menariknya ke masa lalu yang telah lama ia coba lupakan. “Apa yang kalian inginkan dari saya?”
Zaki mengeluarkan jurnal kakeknya dari tasnya dan mengangkatnya sedikit, memperlihatkan tulisan tangan yang tampak sudah memudar. “Saya menemukan ini. Kakek saya menyebut nama Anda berkali-kali. Saya rasa Anda mungkin tahu sesuatu tentang misi yang tidak pernah selesai. Tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kakek saya.”
Darsa menatap jurnal itu dengan tatapan penuh kecurigaan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Pria tua itu akhirnya menghela napas panjang, membuka pintu lebih lebar, dan memberi isyarat agar mereka masuk.
“Kalian harus tahu,” katanya pelan, “bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui.”
Zaki dan Alina saling memandang sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah Darsa yang suram. Ini adalah langkah awal dari sebuah kebenaran yang mungkin akan mengubah hidup mereka, tapi apakah mereka siap menghadapi apa yang akan terungkap? Darsa, pria yang selama ini mereka cari, akhirnya siap untuk berbicara—namun Zaki tahu bahwa apa pun yang akan ia dengar, mungkin lebih besar dan lebih gelap dari yang ia bayangkan.
---
Di dalam rumah kecil itu, bau kayu lapuk dan asap tembakau memenuhi udara. Darsa, pria tua yang mereka cari, duduk dengan tubuh tegap di kursi kayu di sudut ruangan. Tatapannya kosong, tapi penuh dengan beban masa lalu yang jelas tak mudah diungkapkan. Di depannya, Zaki dan Alina duduk dengan hening, mencoba mencari cara untuk memulai pembicaraan tanpa mengganggu ketenangan aneh yang menggantung di udara.
Zaki menatap wajah Darsa yang keras. Wajah itu dipenuhi kerutan, kulitnya kering seperti tanah yang lama tak tersentuh hujan. Dia jelas bukan pria yang biasa berurusan dengan orang asing. Namun, dari getaran kecil di antara alisnya dan rahangnya yang sesekali bergerak tegang, Zaki bisa merasakan sesuatu yang mengendap di dalam diri pria tua itu—sebuah rahasia yang dipendam begitu lama, hingga sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Bapak tahu,” Zaki akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar tenang namun tegas, “kami datang bukan untuk membuat masalah. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi pada kakek saya, Zaman.”
Darsa tidak segera menjawab. Matanya masih menatap lurus ke depan, seolah-olah Zaki dan Alina tidak benar-benar ada di depannya. Ia menghisap rokok lintingan di tangannya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia berbicara, dan ketika ia melakukannya, suaranya serak, teredam oleh usia dan pengalaman hidup yang panjang.
“Banyak yang sudah mati,” katanya, nyaris seperti bergumam. “Banyak yang hilang, tenggelam di dalam lautan.”
Zaki mengerutkan kening. “Bapak tahu apa yang terjadi pada mereka? Pada kakek saya?”
Darsa menghisap rokoknya lagi, kali ini lebih dalam, lalu menatap Zaki untuk pertama kalinya sejak mereka tiba. Mata pria tua itu begitu dalam dan gelap, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di dalam sana, sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh kata-kata.
“Apa yang kau harapkan dari jawaban saya?” Darsa bertanya pelan, namun nadanya tajam. “Kebenaran? Kebenaran itu tidak seperti yang kau kira, Nak. Kadang lebih baik tidak tahu apa-apa.”
Alina, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut angkat suara. “Kami harus tahu, Pak. Ini bukan hanya tentang sejarah atau keluarga Zaki. Ini tentang masa lalu yang terkubur terlalu lama. Kami punya hak untuk mengetahuinya.”
Darsa mendengus, dan tatapannya kini beralih ke Alina. “Hak? Kalian bicara tentang hak? Semua yang terjadi dulu, semua pengorbanan, semuanya tidak ada hubungannya dengan hak. Kami berjuang bukan untuk hak. Kami berjuang untuk tetap hidup, untuk bertahan. Apa yang kami lakukan di masa lalu, apa yang kami sembunyikan, itu untuk kebaikan semua orang.”
Zaki merasakan ketegangan di dalam dirinya. Selama ini, ia hanya punya serpihan-serpihan dari jurnal kakeknya. Sedikit demi sedikit, kebenaran mulai terkuak, namun Darsa tampaknya tidak ingin membantu mereka. Atau mungkin, pikir Zaki, pria tua itu sendiri sudah terlalu lama hidup dengan beban rahasia ini sehingga ia takut untuk membaginya.
“Kami tidak datang untuk menuntut apa-apa,” kata Zaki, berusaha agar suaranya tetap tenang. “Saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakek saya, dan mengapa ia hilang sebelum proklamasi. Dalam jurnalnya, dia menyebut nama Anda berkali-kali. Anda tahu sesuatu yang penting.”
Darsa menatap Zaki lebih lama kali ini, dan untuk sesaat, ada ketegangan di udara. Pria tua itu terlihat seperti sedang bergulat dengan dirinya sendiri—antara keinginan untuk berbicara dan ketakutan akan konsekuensinya.
“Apa yang kau harapkan bisa kau temukan?” tanyanya dengan suara rendah, hampir tidak terdengar. “Kakekmu sudah lama hilang, dan semua yang terjadi waktu itu sudah terkubur bersama mereka yang tenggelam. Kalau aku bercerita, itu tidak akan mengubah apa pun.”
“Tapi ini bukan tentang mengubah,” jawab Zaki tegas. “Ini tentang memahami.”
Keheningan panjang kembali mengisi ruangan. Darsa tampak semakin gelisah. Ia berdiri dari kursinya, berjalan ke sudut ruangan, mengambil sebatang rokok lain dan menyalakannya dengan tangan yang sedikit bergetar. Dia menghisapnya dengan tergesa, seolah-olah mencoba menemukan keberanian di antara asap yang mengepul.
“Apa yang terjadi di masa lalu… tidak seperti yang tertulis dalam buku sejarah,” katanya akhirnya, dengan suara yang nyaris berbisik. “Banyak yang hilang. Bukan hanya tubuh mereka, tapi juga ingatan tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Darsa menatap mereka dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah ingin memastikan apakah Zaki dan Alina benar-benar siap untuk mendengar kelanjutan ceritanya. “Kalau kalian benar-benar ingin tahu, kalian harus siap menerima apa yang akan kalian temukan.”
Zaki dan Alina saling bertukar pandang, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka tahu apa yang mereka inginkan. Mereka telah sampai sejauh ini, dan tidak ada jalan untuk mundur.
“Kami siap,” kata Zaki mantap.
Darsa menghela napas panjang, seolah ada beban besar yang akhirnya akan ia lepaskan. Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa-apa lagi, pintu rumah tiba-tiba terdengar diketuk keras dari luar. Suara itu bergema di antara keheningan hutan di sekitar mereka, dan Darsa langsung membeku di tempatnya.
“Jangan buka pintu,” bisiknya tajam, suaranya penuh kecemasan.
---
Darsa diam sejenak. Matanya menyipit, penuh keraguan dan ketakutan yang tidak mudah dijelaskan. Suara ketukan di pintu yang barusan menggema seperti peringatan dari masa lalu yang menolak untuk dilupakan. Zaki dan Alina duduk membeku di tempat mereka, merasa terjebak dalam misteri yang semakin mendalam.
“Kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi,” kata Darsa akhirnya, suaranya rendah dan tegang. “Banyak hal yang tidak boleh diungkit kembali.”
Zaki ingin mendesak, tapi Alina mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar mereka memberinya ruang. Pria tua itu sudah jelas terjebak dalam ketakutannya sendiri. Dengan suara yang tenang, Alina berkata, “Kami di sini bukan untuk mengancam, Pak. Kami hanya ingin mendengar cerita Bapak. Cerita yang kakek Zaki tidak pernah sempat selesaikan.”
Darsa menarik napas dalam-dalam. Kemudian, dia duduk kembali, kali ini dengan sorot mata yang sedikit lebih lunak, meski tetap waspada. “Apa yang terjadi dulu,” katanya pelan, “bukan sekadar kisah perlawanan. Ini tentang pengkhianatan, tentang rahasia yang disembunyikan oleh mereka yang kalian pikir adalah pahlawan.”
Zaki mendekat sedikit, tidak ingin melewatkan satu pun kata yang keluar dari mulut pria itu. Darsa mulai berbicara, dengan nada yang terdengar seperti pria yang sudah lama menahan cerita ini di dalam dirinya.
“Kakekmu, Zaman,” katanya, “dia bukan orang sembarangan. Dia orang yang disegani dalam organisasi. Kami semua tahu bahwa dia memiliki tekad kuat untuk melawan Belanda. Tapi apa yang tidak banyak orang tahu adalah bahwa dia juga terlibat dalam misi yang jauh lebih besar daripada sekadar perlawanan fisik.”
“Misi apa?” tanya Zaki cepat.
“Misi yang melibatkan dokumen-dokumen penting,” lanjut Darsa. “Kakekmu dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk mengamankan dokumen rahasia yang jika jatuh ke tangan Belanda, bisa menghancurkan seluruh jaringan bawah tanah. Ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah pertempuran informasi. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang menang.”