Rahasia Terdalam

Kalam Insan
Chapter #5

BATAS

ZAKI terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Pandangannya buram saat ia membuka mata, mendapati langit-langit kamar yang gelap. Jantungnya berdetak kencang, seakan baru saja melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk di atas tempat tidurnya, mencoba mengendalikan napas yang memburu.

Mimpi itu. Mimpi yang sama.

Dalam mimpinya, Zaki berada di tengah lautan. Kapal tua yang terbuat dari kayu lapuk mengapung di atas permukaan air hitam yang berombak keras. Langit malam di atasnya dipenuhi awan gelap yang mengancam, seolah-olah seluruh alam semesta sedang melawan kapal itu. Ia mendengar suara-suara aneh, seperti bisikan-bisikan yang datang dari segala arah. Teriakan samar, seperti jiwa-jiwa yang kehilangan tubuh mereka, melayang di udara.

Zaki berdiri di geladak kapal, sendirian. Ia melihat ke arah laut yang tampak begitu luas dan kosong, namun ada sesuatu di bawah permukaan air yang membuatnya takut. Ia tidak bisa melihatnya, tapi ia tahu—di bawah sana, ada sesuatu yang menunggu, sesuatu yang menariknya ke dasar, ingin menenggelamkannya dalam kegelapan. Suara-suara jiwa itu terus bergema di telinganya, semakin jelas, semakin putus asa. Seolah-olah mereka meminta bantuan, atau mungkin mencoba memperingatkannya tentang bahaya yang mengintai.

Di kejauhan, sosok gelap mulai muncul, bergerak mendekat dari kabut. Itu kapal lain. Kapal yang seakan muncul dari masa lalu. Layar-layarnya terkoyak, seperti telah berlayar di bawah badai yang tak pernah reda. Tak ada tanda-tanda kehidupan di atas kapal itu, namun Zaki bisa merasakan kehadiran mereka—jiwa-jiwa yang terperangkap, tak bisa keluar dari kutukan abadi mereka.

Ia ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, ada bayangan yang melintas di hadapannya—sosok seorang pria dengan seragam kolonial, berdiri di tepi kapal. Wajahnya tidak jelas, terhalang oleh kegelapan dan kabut. Namun, Zaki tahu sosok itu penting. Ada sesuatu yang menghubungkan pria itu dengan apa yang ia cari, dengan rahasia yang terkubur di bawah laut.

Pria itu membuka mulutnya, seolah hendak mengatakan sesuatu. Namun sebelum suara apa pun keluar, Zaki terbangun.

Sekarang, di tengah malam yang hening itu, Zaki duduk dengan napas terengah-engah, merasa bahwa apa yang ia alami bukan sekadar mimpi. Ada yang lebih dari itu. Mimpi itu terasa seperti pesan, seperti sebuah peringatan dari masa lalu. Dan yang paling membuatnya gelisah adalah fakta bahwa ini bukan pertama kalinya ia memimpikan kapal tua itu. Ini sudah yang ketiga kalinya dalam seminggu.

Ia memandang ke arah Alina yang masih terlelap di sebelahnya. Matanya yang sayu menatap wajahnya yang damai, namun Zaki tahu bahwa Alina juga sedang terganggu oleh mimpi-mimpi yang sama. Ia teringat cerita Alina beberapa hari lalu tentang mimpi-mimpi anehnya—kapal kolonial, suara-suara jiwa, laut yang kelam dan penuh ancaman. Pada awalnya, Zaki hanya menganggap itu sebagai kebetulan. Namun setelah ia sendiri mulai mengalami hal yang serupa, ia tak bisa lagi mengabaikannya.

Keduanya, tanpa sadar, sedang diseret oleh sesuatu yang lebih besar dari yang mereka kira.

Saat pagi tiba, Zaki tidak bisa menahan diri untuk tidak membicarakannya pada Alina. Ketika Alina terbangun dan menyadari bahwa Zaki tampak begitu gelisah, ia langsung tahu bahwa sesuatu terjadi.

"Kamu mimpi lagi?" tanya Alina, suaranya serak karena baru bangun tidur.

Zaki mengangguk pelan. "Mimpi yang sama. Kapal tua itu. Suara-suara... jiwa-jiwa di bawah laut."

Alina menggigit bibirnya, menghindari tatapan Zaki sejenak. "Aku juga mengalaminya lagi tadi malam," katanya dengan nada pelan.

Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa mimpi ini bukan lagi sekadar imajinasi liar dari pikiran yang lelah. Ada sesuatu yang nyata di baliknya, sesuatu yang berusaha memberi tahu mereka tentang kebenaran yang tersembunyi di bawah laut. Rahasia kelam yang telah terkubur selama puluhan tahun.

"Menurutmu... ini semua ada hubungannya dengan kakekmu?" tanya Alina, suaranya penuh keraguan.

Zaki menarik napas panjang. "Mungkin," jawabnya. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa semakin dekat dengan sesuatu. Jurnal kakekku menyebutkan banyak hal, tapi belum ada yang benar-benar menjawab semua pertanyaan ini."

Alina terdiam sejenak. Ia ingat setiap detail dari jurnal itu, betapa misteriusnya hilangnya kakek Zaki dan betapa banyak rahasia yang masih tersimpan di antara halaman-halaman tua itu. Dan kini, mimpi-mimpi mereka seolah menjadi petunjuk lain, sebuah bagian lain dari teka-teki yang harus mereka pecahkan.

"Kita harus terus menyelidikinya," ujar Alina akhirnya, nadanya penuh keyakinan. "Mungkin ini adalah cara alam semesta memberi tahu kita di mana kita harus mencari."

Zaki menatap Alina dalam-dalam, merasakan ketegangan yang mengikat mereka berdua. Mereka telah memasuki wilayah yang tak mereka pahami, namun keduanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Rahasia yang disembunyikan di bawah laut itu semakin dekat. Dan mungkin, hanya mimpi-mimpi itulah yang bisa menuntun mereka menuju kebenaran yang sesungguhnya.

Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa diabaikan oleh Zaki maupun Alina—bahwa apa pun yang mereka temukan, itu tidak akan datang tanpa konsekuensi.

---

Pagi itu, Zaki dan Alina bergegas menuju perpustakaan tua di pusat kota. Derit pintu kayu menyambut mereka ketika mereka memasuki gedung yang telah usang, namun masih berdiri tegak seolah menantang waktu. Cahaya matahari yang menerobos dari celah-celah jendela besar memantulkan debu yang berterbangan di udara, menciptakan suasana yang muram dan mengesankan bahwa tempat ini menyimpan sejarah panjang yang tak terucapkan.

Mereka disambut oleh seorang penjaga perpustakaan tua, pria berusia sekitar enam puluh tahun dengan rambut tipis yang tampak seolah-olah setiap helainya menyimpan ingatan tentang masa lalu. Setelah berbicara sebentar tentang keperluan mereka, pria itu mengarahkan mereka ke rak khusus yang berisi arsip-arsip sejarah kota.

Zaki mulai membongkar arsip-arsip tua dengan teliti, berharap menemukan sesuatu yang bisa menghubungkan mimpi-mimpi mereka dengan fakta sejarah. Di dalam tumpukan dokumen yang mulai rapuh, tangannya berhenti pada sebuah dokumen yang tampaknya berbeda. Kertasnya lebih tebal, dengan tulisan tangan yang hati-hati. Judul dokumen itu menyebutkan satu hal yang langsung menarik perhatian Zaki: "Insiden Laut Selatan: 10 Desember 1941."

Alina yang duduk di sebelahnya, melihat perubahan ekspresi di wajah Zaki. "Apa itu?" tanyanya penasaran.

Zaki menatap Alina sejenak sebelum mulai membaca keras-keras isi dokumen itu. "Ini catatan tentang sebuah insiden di laut. Sebuah kapal Belanda, bernama De Zwarte Zeeman, tenggelam secara misterius di perairan ini sebelum masa pendudukan Jepang. Tidak ada penyebab jelas yang ditemukan, meskipun cuaca saat itu sedang tenang."

Alina terdiam, matanya melebar. "Tenggelam tanpa sebab yang jelas?"

Zaki mengangguk. "Menurut laporan ini, kapal itu membawa perbekalan penting dan beberapa pejabat kolonial. Para awak kapal dilaporkan hilang, tetapi mayat-mayat mereka tidak pernah ditemukan. Kapal itu lenyap begitu saja, dan tidak pernah ada penjelasan resmi tentang apa yang terjadi."

Alina bergidik, ingatannya tentang mimpi-mimpi anehnya kembali terbayang. "Ini… ini seperti mimpi yang kita alami. Kapal itu, suara-suara jiwa yang terperangkap di bawah air."

Zaki melanjutkan membaca, nadanya semakin serius. "Ada juga laporan tentang nelayan setempat yang mengaku melihat kapal itu tetap berlayar di malam hari, meskipun mereka tahu kapal itu telah tenggelam. Mereka menyebutnya sebagai kapal hantu."

Keduanya saling berpandangan, seolah baru saja menguak sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang mereka duga sebelumnya. "Kapal hantu," gumam Zaki. "Apa ini yang sedang kita hadapi? Apakah kakekku terlibat dengan insiden ini?"

Alina tampak ragu sejenak sebelum mengangguk. "Bisa jadi. Jika kapal itu tenggelam pada tahun 1941, ini sejalan dengan masa kakekmu terlibat dalam perlawanan bawah tanah. Mungkin ada sesuatu di kapal itu, sesuatu yang dicari oleh kakekmu dan rekan-rekannya."

Zaki menyusun kembali catatan-catatan itu dengan hati-hati. Namun, ada rasa kegelisahan yang terus membayangi pikirannya. Ia mulai berpikir, mungkinkah insiden ini yang menjadi titik awal semua misteri yang ia dan Alina alami? Jika benar, maka mereka bukan hanya berhadapan dengan sejarah, tapi juga sesuatu yang jauh lebih mengerikan dan gelap.

Saat mereka bersiap meninggalkan perpustakaan, Zaki tak bisa menahan diri untuk terus berpikir. Kapal Belanda yang tenggelam tanpa jejak, para awak yang hilang, dan suara-suara jiwa yang seakan terus memanggil mereka dari bawah laut. Semua itu terasa terlalu nyata, seperti petunjuk yang disembunyikan oleh waktu.

"Aku rasa kita harus mencari lebih banyak informasi tentang kapal itu," ujar Alina sambil menatap Zaki penuh keyakinan. "Ada sesuatu yang mereka coba sembunyikan, sesuatu yang mungkin menjadi kunci dari semua ini."

Zaki mengangguk pelan. Ia tahu penyelidikan mereka belum selesai. Bahkan, mungkin ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.

---

Setelah beberapa hari menyelidiki, Zaki dan Alina menemukan fakta yang mengagetkan dari arsip yang tak sengaja terlewatkan sebelumnya. Catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah mulai pudar itu merinci upaya kelompok bawah tanah, termasuk kakek Zaki, yang pernah berusaha menyelamatkan sebuah artefak penting dari kapal Belanda yang tenggelam. Zaki merasa seakan-akan benang kusut dalam hidupnya perlahan-lahan mulai terurai. Setiap potongan informasi mengarah pada satu momen krusial—momen ketika kakeknya dan rekan-rekannya berhadapan dengan bahaya yang tak terelakkan.

Dalam catatan itu disebutkan bahwa kapal De Zwarte Zeeman bukan hanya kapal dagang biasa. Kapal itu membawa sebuah artefak yang konon memiliki kekuatan spiritual—sebuah simbol kolonial yang diyakini mampu mengendalikan nasib bangsa-bangsa di bawah kekuasaan Belanda. Artefak ini menjadi incaran banyak pihak, dan kakek Zaki beserta rekan-rekannya diduga memiliki misi rahasia untuk mencurinya, mengamankannya dari tangan penjajah.

Alina membolak-balik halaman arsip itu dengan cepat, matanya bergerak cepat membaca. “Ini gila, Zaki. Mereka tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan, tetapi mereka juga berusaha menyelamatkan sesuatu yang diyakini punya kekuatan besar.”

Zaki duduk termenung di samping Alina, pikirannya berputar. Semua ini tampak semakin jauh dari sekadar pertempuran fisik antara rakyat dan penjajah. Kakeknya, yang selama ini ia kira hanyalah seorang pejuang biasa, ternyata terlibat dalam sesuatu yang lebih besar. “Jadi, mereka menghilang setelah mencoba menyelamatkan artefak ini?”

Alina mengangguk pelan. "Itu yang tertulis di sini. Kakekmu dan beberapa rekannya pergi dalam misi terakhir mereka untuk mengangkat artefak tersebut dari kapal yang tenggelam. Tapi setelah itu, mereka tak pernah kembali."

Zaki merasakan gumpalan di dadanya semakin berat. Ada banyak pertanyaan yang mulai menghantui pikirannya. Apakah kakeknya berhasil menemukan artefak tersebut? Dan jika iya, apa yang terjadi setelahnya? Kenapa tak seorang pun dari mereka yang selamat? Dan yang paling mengganggu Zaki, di mana artefak itu sekarang?

Dia meremas tangannya, pandangannya kosong menatap arsip di depan mereka. “Bagaimana mungkin tidak ada yang tahu soal ini? Kenapa sejarah tidak mencatat apa pun tentang artefak ini?”

Alina tersenyum kecil. "Karena beberapa hal memang dirahasiakan, Zaki. Terutama jika menyangkut sesuatu yang diyakini bisa mengubah kekuasaan. Mungkin mereka yang tahu sengaja menyembunyikannya."

Kedua tangan Zaki gemetar saat ia mengusap wajahnya. Pikirannya penuh dengan rasa penasaran yang mendesak. "Aku harus tahu apa yang terjadi pada kakekku. Aku harus menemukan artefak itu, Alina."

Alina menatapnya, dengan tatapan tenang namun dalam. "Kamu siap, Zaki? Jika artefak ini benar-benar memiliki kekuatan seperti yang dikatakan, kita mungkin akan berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kita duga."

Zaki menatap Alina, tekadnya bulat. "Aku sudah sejauh ini. Tidak ada jalan untuk kembali."

Dalam ketenangan malam, mereka kembali ke rumah Zaki. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah angin pun enggan berhembus. Alina duduk dengan tenang di ruang tamu, merapal doa-doa kecil dalam bahasa yang Zaki tak mengerti. Sementara Zaki, berdiri di dekat jendela, menatap ke arah laut yang berkilau di bawah sinar bulan purnama. Bayangan kapal-kapal yang hilang di laut itu terus menghantuinya, seolah-olah arwah mereka yang tenggelam masih mencari sesuatu yang hilang. Artefak itu.

"Apa pun yang terjadi, kita harus siap," gumam Zaki pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Sementara di dalam dirinya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai—dan mungkin ia tidak akan menemukan kedamaian sebelum semua terungkap.

"Besok kita ke pelabuhan lagi. Kita perlu mencari lebih banyak petunjuk di sana," ujar Zaki sambil menatap Alina, yang hanya mengangguk setuju tanpa berkata-kata.

Malam itu, mimpi buruk kembali menghantui mereka. Tepat seperti malam-malam sebelumnya, Zaki melihat kapal yang tenggelam, arwah-arwah yang menjerit minta tolong, dan di dasar laut yang gelap, sebuah benda berkilauan—artefak yang mereka cari.

Saat fajar tiba, Zaki tahu, waktu semakin dekat. Mereka harus siap untuk apa pun yang akan mereka temukan.

---

Malam itu, Alina duduk di ruang tamu rumah Zaki, tubuhnya tenang namun pikirannya bergerak liar. Piring-piring berdebu dan foto-foto lama di dinding menjadi saksi bisu saat dia memejamkan mata, mencoba menyatukan dirinya dengan sesuatu yang lebih dalam, lebih kuno dari sekadar kenangan keluarga. Di depannya, sebuah kotak kayu tua yang berisi benda-benda peninggalan kakek Zaki tergeletak terbuka. Dalam keheningan itu, Alina mulai merapal mantra, dengan tangan yang mengalir di atas benda-benda tua itu, merasakan vibrasi energi yang memancar dari masa lalu.

Zaki, yang sejak tadi mengamati dari sudut ruangan, berjalan pelan ke arah Alina. Setiap kali wanita itu melakukan ritual semacam ini, udara di ruangan terasa berubah. Suasana menjadi lebih berat, seperti ada sesuatu yang tidak kasat mata sedang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia tak bisa mengabaikan rasa takut yang merayap di sepanjang punggungnya.

"Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus berhati-hati," gumam Zaki, suaranya rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Alina tak merespons. Matanya masih terpejam, napasnya mulai teratur, dan tubuhnya tetap tegak dalam posisi meditasi. Ketika Alina memasuki trans spiritualnya, dunia di sekelilingnya tampak berubah. Ia bisa mendengar suara-suara halus, seperti bisikan yang bergema dari dasar laut, seolah ada arwah-arwah yang terjebak, menanti untuk dibebaskan.

Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini.

Perlahan, Alina mulai merasakan kehadiran lain—bukan hanya arwah-arwah biasa. Sebuah kekuatan yang lebih besar, lebih gelap. Aliran energi yang ia rasakan dari benda-benda peninggalan itu berubah menjadi aliran yang liar dan kacau. Udara di sekitar mulai dingin. Alina membuka matanya, hanya untuk menyaksikan pemandangan yang menakutkan. Cahaya temaram dari lilin-lilin di ruangan berpendar dengan cara yang aneh, hampir tidak nyata, seperti ada gerakan di dalam kegelapan. Udara tiba-tiba terasa kental, sulit untuk dihirup.

Zaki yang melihat perubahan itu mendekati Alina dengan waspada. "Alina, kau baik-baik saja?"

Namun, sebelum Alina bisa menjawab, tiba-tiba muncul pusaran kecil energi di tengah ruangan, seolah-olah portal dari dimensi lain terbuka. Suara angin menderu terdengar meski tak ada jendela yang terbuka. Lilin-lilin di sekitar mereka berkedip dan akhirnya padam, meninggalkan ruangan itu dalam kegelapan. Zaki mundur selangkah, merasakan kengerian yang tak bisa dijelaskan. "Apa yang kau lakukan? Ini bukan seperti biasanya."

Alina terlihat gemetar, matanya terbuka namun kosong. "Aku... aku tidak bisa menghentikannya. Ada sesuatu yang lebih kuat dari yang kita duga." Suaranya terdengar lemah, seperti tersedot ke dalam pusaran energi yang semakin membesar.

Zaki, yang sudah mulai diliputi panik, menarik lengan Alina dengan keras, mencoba menariknya dari posisi meditasi. "Alina, hentikan! Kau membuka sesuatu yang tak seharusnya kita sentuh!" Seruan Zaki bergetar, cemas.

Alina berusaha mengembalikan fokusnya, tetapi portal energi itu sudah terlanjur terbuka. Angin dingin terus berputar di sekeliling mereka, seperti menyedot energi ruangan. Suara-suara yang tadinya hanya bisikan kini menjadi lebih jelas, lebih keras—teriakan jiwa-jiwa yang hilang di lautan. Alina terengah-engah, mencoba keluar dari keadaan trans, namun tubuhnya terasa tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Zaki!" teriak Alina akhirnya, suaranya parau, penuh ketakutan.

Zaki menariknya dengan kekuatan penuh, dan ketika ia berhasil menarik Alina keluar dari posisi duduknya, pusaran energi itu tiba-tiba berhenti. Suasana di ruangan menjadi hening, mencekam, seolah waktu berhenti sesaat. Lilin-lilin yang sebelumnya padam kembali menyala perlahan, tapi dengan nyala yang lebih kecil dan pucat. Zaki memeluk Alina yang kini terisak dalam pelukannya, tubuhnya gemetar hebat.

“Kita hampir membuat kesalahan besar,” bisik Zaki dengan napas berat. Ia melepaskan pelukannya, menatap mata Alina yang tampak kosong dan lelah. "Kita harus berhenti. Ini sudah terlalu jauh. Jika kita terus menggali, sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi."

Alina menggelengkan kepalanya, masih dalam keadaan lemas. "Tidak, Zaki. Aku yakin ada jawaban di sini. Kita hanya belum menemukan caranya. Kita tidak bisa menyerah sekarang. Semua ini terlalu penting—untukmu, untuk sejarah keluargamu."

Zaki merasakan jantungnya berdebar semakin keras. “Kita bicara tentang kekuatan gelap yang tidak bisa kita kendalikan, Alina. Jika terus begini, kita mungkin tidak akan bisa keluar dari sini dengan selamat.”

“Tapi kita sudah terlalu jauh, Zaki!” Alina meronta. "Aku tahu apa yang kulakukan tadi salah, tapi itu bukan berarti kita harus menyerah sekarang. Ini mungkin satu-satunya cara kita menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada kakekmu."

Mata Zaki membara, amarah dan ketakutannya bercampur aduk. “Apakah kita siap menghadapi risiko itu? Kau hampir tidak bisa kembali barusan, Alina! Kita tidak tahu apa yang kita hadapi di sini. Ini bukan hanya tentang menemukan kebenaran—ini tentang keselamatan kita!”

Lihat selengkapnya