ALINA terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya diselimuti perban, dan wajahnya pucat. Namun, di balik luka-luka yang dideritanya, ada semangat yang masih menyala di matanya. Zaki duduk di sampingnya, meremas tangan Alina dengan lembut, meskipun pikirannya sedang kalut, dipenuhi oleh rasa bersalah yang menggumpal di dadanya.
"Ini semua salahku," gumam Zaki, suaranya berat oleh beban kesalahan yang ia rasakan. "Kita tidak seharusnya melibatkan diri lebih jauh. Lihat apa yang terjadi padamu, Alina."
Alina menoleh pelan, menyipitkan mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Zaki. "Zaki, ini bukan waktunya untuk menyerah," katanya dengan suara serak namun tegas. "Apa yang kita lakukan jauh lebih penting dari apa pun yang pernah kita bayangkan. Semua ini bukan hanya tentang masa lalu atau rahasia yang tersembunyi. Ini tentang mengungkap kebenaran, tentang keadilan bagi mereka yang terjebak di balik sejarah kelam."
Zaki menggeleng pelan, berusaha menghindari tatapan penuh tekad dari Alina. "Aku tidak bisa melihatmu terluka lagi. Semua ini terasa terlalu berbahaya. Kita bahkan tidak tahu apa yang kita hadapi."
Alina menarik napas dalam, meskipun terasa menyakitkan bagi tubuhnya yang masih lemah. "Luka ini, rasa sakit ini, tidak seberapa dibandingkan dengan penderitaan orang-orang di masa lalu yang kita coba bebaskan dari kabut sejarah. Kakekmu, rekan-rekannya, jiwa-jiwa yang hilang di laut—mereka menunggu kita untuk menyelesaikan ini."
Zaki terdiam, matanya tertuju pada jendela kamar rumah sakit. Di luar, malam semakin pekat, dan di langit, bintang-bintang redup, seolah menyaksikan pergulatan batin yang tengah ia hadapi. Alina benar, ini bukan hanya tentang mereka. Ada lebih banyak yang dipertaruhkan, lebih banyak yang terancam jika mereka menyerah sekarang.
"Kita hampir sampai," lanjut Alina, meskipun suaranya melemah karena kelelahan. "Kita tahu di mana harus mencari. Kapal yang tenggelam, artefak itu... Semua petunjuk sudah ada. Kita hanya perlu satu perjalanan terakhir."
Zaki menelan ludah. Ia tahu betul risiko yang mereka hadapi. Kapal yang tenggelam itu bukan sekadar bangkai kapal tua; ia adalah saksi bisu dari persekongkolan yang melibatkan pemerintah kolonial, harta peninggalan, dan rahasia gelap yang ditenggelamkan bersama kapal itu. Namun, dalam benaknya, suara kakeknya seolah kembali menggema—"Perjuangan tidak pernah sia-sia, selama kita tahu untuk apa kita berjuang."
Zaki memegang tangan Alina lebih erat, kekhawatirannya berubah menjadi tekad baru. "Kita akan ke sana," kata Zaki, suaranya kini lebih kuat. "Kita akan temukan kapal itu dan ambil artefak yang disembunyikan."
Alina tersenyum lemah, tapi senyuman itu penuh kemenangan. "Aku tahu kau akan berkata begitu."
Malam berikutnya, mereka mulai merencanakan perjalanan terakhir mereka. Alina, meski masih dalam pemulihan, tidak mundur dari keterlibatannya. "Aku harus ikut," ujarnya tegas ketika Zaki mencoba meyakinkannya untuk tetap tinggal. "Tanpa kemampuanku, kita tidak akan tahu bagaimana menghadapi energi yang mengelilingi artefak itu. Kita sudah melihat betapa kuatnya pengaruh spiritual dari benda-benda itu."
Zaki tidak bisa membantah. Alina telah berulang kali membuktikan bahwa tanpa dirinya, penyelidikan ini akan menemui jalan buntu. Mereka kemudian menyusun rencana untuk menyewa perahu kecil dari nelayan tua yang mereka temui beberapa waktu lalu. Zaki merasa semakin gelisah; laut yang mereka tuju bukan hanya misteri dalam sejarah, tapi juga sumber cerita-cerita menakutkan yang terus hidup di antara penduduk pesisir. Kapal hantu, jiwa-jiwa yang terperangkap di dasar laut, dan kutukan yang melayang di perairan itu adalah bayang-bayang yang semakin nyata dalam benaknya.
Namun, mereka berdua tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Setiap petunjuk yang mereka temukan mengarah pada kapal kolonial yang tenggelam itu, pada artefak yang mungkin menjadi kunci dalam mengungkap sejarah tersembunyi—sejarah yang bisa mengubah narasi perjuangan bangsa ini.
Saat hari perjalanan tiba, Zaki dan Alina berdiri di dermaga, menatap laut yang tenang tapi penuh rahasia. Nelayan tua itu sudah menunggu mereka dengan perahu kecil yang terlihat rapuh, namun cukup kuat untuk membawa mereka ke tengah perairan.
"Ini laut yang berbahaya," kata nelayan itu, menatap mereka dengan penuh kehati-hatian. "Tapi jika kalian yakin dengan apa yang kalian cari, tidak ada jalan lain kecuali terus maju."
Zaki menatap Alina, yang masih terlihat lemah namun penuh tekad. Mereka naik ke atas perahu, meninggalkan daratan di belakang. Laut yang tenang seolah menyimpan ancaman di bawah permukaannya, namun Zaki tahu bahwa di dasar sana, di balik bayang-bayang sejarah, ada kebenaran yang menunggu untuk diungkap.
---
Perahu kecil itu mengapung di atas laut yang tenang, hanya suara deru mesin tua yang mengisi keheningan. Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat merah dan jingga di langit yang melukis batas antara siang dan malam. Zaki duduk di sisi perahu, matanya menatap lurus ke air yang gelap. Bayangan wajahnya samar terlihat di permukaan, namun pikirannya berkelana jauh.
"Kau baik-baik saja?" Alina duduk di sebelahnya, suaranya tenang, meskipun lelah.
Zaki mengangguk, tapi dalam hati, ia tahu gelisah yang ia rasakan semakin dalam. Sejak mereka menaiki perahu itu, ada sesuatu yang terasa salah. Seolah-olah udara di sekitar mereka mengembun, menekan, dan mengirimkan bisikan-bisikan yang tak terdengar ke telinganya. Sebuah firasat buruk menghantui pikirannya.
Nelayan tua yang membawa mereka, Pak Sabar, tak banyak bicara. Namun, sebelum mereka berangkat, dia menyampaikan peringatan yang membuat Zaki merenung.
"Aku tak pernah menginjakkan kakiku di perairan ini," katanya dengan nada serius. "Banyak yang menghilang di sini. Kapal-kapal, manusia, tak pernah kembali. Ada kutukan di laut ini. Tapi, jika kalian bersikeras... harga akan lebih mahal."
Zaki tahu bahwa kutukan laut ini mungkin hanya mitos, sebuah cerita rakyat yang berkembang di kalangan nelayan, tapi tak bisa disangkal rasa merinding yang menghantui punggungnya.
"Menurutmu, apa yang sebenarnya ada di bawah sana?" tanya Alina sambil menatap cakrawala.
Zaki menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Tapi semakin kita mendekat, semakin aku merasa ada sesuatu yang menunggu."
Mesin perahu tiba-tiba bergetar lebih keras, membuat mereka berdua terkejut. Pak Sabar melirik mereka dari belakang, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sama seperti yang dirasakan Zaki.
"Ini tempatnya," kata Pak Sabar, suaranya parau. "Tepat di sini, kapal kalian tenggelam."
Zaki bangkit berdiri, melihat ke laut. Tidak ada yang bisa dilihat selain air yang hitam pekat. Laut begitu tenang, hampir tidak wajar, seolah menyimpan sesuatu di dasarnya.
"Zaki," Alina memanggilnya dengan suara pelan. "Kau dengar itu?"
Zaki menoleh. "Dengar apa?"
Alina menutup matanya, mencoba mendengarkan. "Suara... seperti bisikan... dari bawah."
Zaki menahan napas. Mungkin itu hanya suara angin yang menyusuri permukaan laut, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Seolah-olah ada jiwa-jiwa yang memanggil dari dalam laut, menunggu mereka untuk mendekat.
Pak Sabar tiba-tiba mematikan mesin perahu, membuat semuanya menjadi hening. Angin mulai bertiup lebih kencang, ombak kecil menghempas perahu mereka.
"Kita tak boleh lama-lama di sini," kata Pak Sabar buru-buru. "Laut ini tidak pernah bersahabat dengan manusia."
Zaki merasakan detak jantungnya semakin cepat. Apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi apa pun yang menunggu di dasar laut? Namun, di balik rasa takut itu, ada rasa penasaran yang tak terelakkan. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.
Alina menarik napas dalam, menatap laut yang gelap di depannya. "Kita sudah di sini. Tidak ada jalan kembali."
Zaki hanya bisa mengangguk setuju, meskipun dalam hati, perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi semakin kuat.
---
Malam itu terasa lebih pekat di laut lepas. Ombak yang tenang tampak menipu, menyembunyikan misteri di bawah permukaannya. Zaki dan Alina berdua mengenakan peralatan menyelam sederhana, seolah peralatan itu satu-satunya pelindung yang bisa mereka andalkan di tengah kegelapan laut yang seakan tanpa batas.
Nelayan tua, Pak Sabar, telah memperingatkan mereka. "Laut ini berbeda," katanya ketika mereka pertama kali bersiap menyelam. "Jangan lebih dari satu jam. Kalau lebih lama, kalian mungkin tidak akan kembali."
Mereka berdua sudah memutuskan untuk tidak peduli pada peringatan itu. Jurnal kakek Zaki menjadi peta mereka. Di dalam catatan yang ditulis dengan tinta yang kini mulai pudar, disebutkan sebuah lokasi yang pasti—titik di laut ini, tempat sebuah kapal Belanda tenggelam membawa rahasia besar. Zaki mengingat setiap detil dari jurnal itu, seolah-olah ia membaca pikirannya sendiri.
Zaki memberikan anggukan terakhir pada Alina, yang balas mengangguk, dan tanpa banyak kata, mereka menyelam ke dalam laut.
Air laut di malam hari terasa dingin menusuk tulang. Cahaya dari lampu senter di tangan Zaki hanya mampu menembus beberapa meter ke depan, sementara sisanya hanyalah gelap yang menelan segala sesuatu. Kedalaman laut menyelimuti mereka dengan kesunyian yang mencekam, seolah setiap gerakan mereka diperhatikan oleh mata tak terlihat.
Zaki menatap ke sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan kapal yang tertulis dalam jurnal. Mereka menyelam semakin dalam, mengikuti bayangan di dasar laut yang mulai muncul samar. Tiba-tiba, sebuah pemandangan muncul di hadapan mereka: sisa-sisa kapal kolonial yang sudah hancur, tenggelam dalam kesunyian laut selama berabad-abad.
Bagian-bagian kapal tampak tertutupi oleh karang, beberapa bagian kayu yang masih tersisa kini menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil dan terumbu karang. Bentuk kapal itu, meski hancur, masih terlihat megah dalam keadaannya yang tersisa—seperti raksasa yang telah jatuh dan kini tidur abadi di dasar laut. Papan-papan kayu yang pernah menopang kapal itu kini berserakan, ditutupi oleh lapisan karang dan lumpur laut.
Zaki mendekati reruntuhan itu, tangannya menyentuh permukaan kapal yang telah tertutupi kehidupan laut. Perasaan aneh menggelayuti pikirannya. Ada sesuatu yang tidak benar. Saat ia melangkah lebih jauh ke dalam reruntuhan kapal, dia merasakan tekanan yang meningkat, bukan hanya dari air di sekitarnya, tetapi juga dari sesuatu yang tak terlihat, seolah-olah laut ini sendiri hidup, menahan napas menunggu pergerakannya.
Alina berenang di belakangnya, memperhatikan setiap gerakan Zaki dengan cermat. Meskipun terdiam dalam air, Zaki tahu bahwa Alina merasakan hal yang sama—ketidakberesan yang menjalar melalui tubuh mereka, seperti kehadiran yang tak terlihat namun nyata.
Mereka menemukan sebuah bagian kapal yang tampak lebih terpelihara, sebagian besar tertutupi oleh karang dan pasir, namun bentuknya masih jelas. Sebuah lambung kapal yang besar, terbelah dua, seolah dihancurkan oleh kekuatan yang tak dapat dijelaskan. Karang dan kehidupan laut telah mengambil alih tempat ini, namun ada sesuatu yang masih terasa kuat dan mencengkeram di bawah semua lapisan itu.
Zaki menyelami lebih dekat, mengintip di antara celah-celah lambung kapal yang retak. Di dalamnya, ia melihat sekilas benda-benda yang mungkin dulu digunakan oleh awak kapal. Peti-peti kayu yang rusak, senjata yang berkarat, dan tali-tali kapal yang sudah hancur dimakan waktu. Namun ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Zaki.
Sebuah kotak kecil, tertutup rapat, tertanam di antara karang. Zaki meraihnya, merasakan dinginnya logam di ujung jarinya. Ini bukan sekadar kotak. Ada sesuatu yang penting di dalamnya, sesuatu yang kakeknya, dan mungkin banyak orang lain, cari selama ini.
Saat Zaki menarik kotak itu dari tempatnya, dia merasakan arus di sekitarnya berubah. Air di sekitar mereka mulai berputar, seolah-olah sesuatu di laut ini telah terusik. Alina yang berada beberapa meter di belakang Zaki, merasakan hal yang sama. Dia berenang mendekat dengan tergesa-gesa, tangannya menyentuh lengan Zaki, memberi isyarat bahwa mereka harus segera kembali ke permukaan.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sesuatu dari dalam kapal mulai bergerak. Dari balik kegelapan reruntuhan, bayangan-bayangan besar mulai terlihat. Zaki memandang ke arah itu, mata mereka saling bertemu dengan sesuatu yang seolah datang dari masa lalu, sesuatu yang masih menjaga rahasia kapal tenggelam ini.
Mereka harus kembali—sebelum semuanya terlambat.
---
Energi yang keluar dari kapal itu semakin terasa, membebani udara di sekitar Alina dan Zaki. Alina merasakan getaran yang menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya, seperti bisikan halus dari masa lalu, ribuan jiwa yang terperangkap, meronta-ronta untuk bebas. Laut di sekitarnya seolah memiliki nyawa, menekan mereka, memaksa mereka untuk segera pergi. Tapi Alina tidak bisa bergerak. Matanya terpaku pada reruntuhan kapal yang kini tampak lebih hidup, berdenyut bersama aliran laut yang mengelilingi mereka.
Zaki, di sisi lain, tetap fokus pada misinya. Tangannya menggapai-gapai di dalam ruangan yang remuk, di antara pecahan kayu dan besi kapal yang telah terkubur selama berabad-abad. Cahaya senternya menangkap sesuatu di pojok ruangan yang dulunya mungkin adalah ruang kapten kapal. Sebuah peti tua, terkunci rapat, tertutupi karang yang mulai menggerogoti permukaannya.
Zaki mendekati peti itu dengan hati-hati. Setiap gerakannya disertai dengan perasaan aneh, seolah-olah dia sedang diawasi. Tangannya menyentuh peti itu, dingin dan basah. Tiba-tiba, ia merasakan sensasi seperti tersengat listrik—getaran kuat yang memaksa napasnya tertahan. Dengan satu gerakan cepat, dia membuka kunci tua yang tampak rapuh, dan penutup peti itu terbuka dengan derit keras.
Di dalamnya, kilatan emas menerangi ruang sempit tersebut. Cahaya itu berasal dari perhiasan-perhiasan tua yang sudah mulai berkarat, tetapi tetap memancarkan aura kekayaan masa lalu. Zaki menyingkirkan perhiasan itu dengan cepat, perhatiannya tertuju pada tumpukan dokumen yang tergeletak di dasar peti. Kertas-kertas itu lembab, rapuh, tetapi tulisan di atasnya masih bisa terbaca. Dokumen-dokumen ini penting—mungkin bahkan lebih penting daripada emas yang tersimpan di dalam peti.
Dengan tangan gemetar, Zaki mengambil salah satu dokumen. Mata Alina yang berada tak jauh darinya kini terbelalak. Ia tahu, apa pun yang ada di dalam peti ini lebih dari sekadar harta. Ada kebenaran besar yang telah lama disembunyikan di sini—kebenaran yang dapat mengubah segalanya.
Alina mulai merasakan tekanan semakin kuat. Energi gelap yang sebelumnya terasa samar kini semakin nyata. Suara-suara mulai terdengar—jeritan, tangisan yang seolah datang dari dasar laut, membuat Alina bergidik. Dia menoleh ke arah Zaki yang kini masih memegang dokumen-dokumen tersebut. “Zaki,” bisiknya, suaranya tertelan air. “Kita harus segera pergi.”
Namun Zaki tetap terdiam, terpaku pada dokumen-dokumen di tangannya. Seolah-olah, kebenaran di dalamnya lebih dari yang bisa ia bayangkan.
---
Begitu Zaki mengangkat peti itu dari dasar laut, arwah-arwah yang sebelumnya hanya berupa bisikan samar kini mulai menunjukkan wujudnya. Bayangan-bayangan kabur mengambang di air seolah berputar di sekitar Zaki, menciptakan lingkaran gelap yang menakutkan. Sosok-sosok itu tidak berbentuk manusia sepenuhnya—sebagian tubuh mereka hancur, terkelupas seperti sisa-sisa kapal yang karam bersama mereka.
Zaki merasakan dingin yang menusuk, bukan dari air, tapi dari sesuatu yang jauh lebih tua dan berbahaya. Tiba-tiba, ia merasakan tangannya berat, lebih berat dari sebelumnya. Sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang—menarik pergelangan tangannya. Ia menoleh, dan di sana, arwah dengan mata kosong, penuh kegelapan, memegang erat lengannya, memaksanya kembali ke dasar. Zaki meronta, mencoba melepaskan diri, namun semakin dia melawan, semakin kuat cengkeraman arwah-arwah itu.
Panik merambat ke seluruh tubuh Zaki. Ia menendang air dengan keras, namun setiap gerakannya terasa sia-sia. Arwah-arwah itu semakin banyak, mengelilinginya, menarik dengan kekuatan tak kasat mata, memaksa tubuhnya turun ke dasar laut. Peti yang sebelumnya ia bawa, kini mulai jatuh dari genggamannya, tenggelam kembali menuju kegelapan.
Sementara itu, Alina yang menyadari apa yang terjadi, merasakan arwah-arwah itu bergerak seperti tarikan energi kuat yang melilit Zaki. Dengan napas terbatas dan tubuh yang hampir kehabisan tenaga, Alina menutup matanya, mencoba berkonsentrasi. Dia tahu, tidak ada cara lain selain menggunakan kemampuan spiritualnya untuk menyelamatkan Zaki.
Alina mulai berbicara di dalam pikirannya, mengirimkan pesan kepada arwah-arwah yang mengelilingi mereka. "Lepaskan dia. Biarkan kami pergi. Kami tidak ingin mengganggu kalian lebih jauh," katanya, dalam keheningan air. Tapi tidak ada respon.
Dalam gelap dan dingin yang terus menguasai, Alina menutup matanya lebih kuat, fokus pada arwah-arwah tersebut. "Kami hanya ingin membawa kebenaran ke permukaan. Kami akan melindungi rahasia kalian," suaranya menggema dalam benaknya, mencoba menjangkau jiwa-jiwa yang terperangkap itu.
Sedikit demi sedikit, bayangan di sekitar mereka mulai melambat. Beberapa sosok tampak goyah, seolah mendengar permohonan Alina. Namun, yang lain tetap menahan Zaki. Alina tahu dia harus berbicara dengan sosok yang memimpin mereka—sosok yang paling kuat di antara arwah-arwah itu.
Alina memperdalam konsentrasinya, dan dalam kegelapan, dia merasakan kehadiran satu arwah yang berbeda. Arwah ini lebih tua, lebih kuat, dan mungkin lebih marah daripada yang lain. Alina mencoba terhubung dengan arwah tersebut, memohon agar mereka membiarkan Zaki bebas. "Biarkan dia pergi," serunya, kali ini dengan lebih keras dalam pikirannya. "Zaki bukan ancaman. Dia pewaris garis keturunanmu, salah satu dari kalian. Dia berhak mengetahui kebenaran."
Waktu terasa melambat, dan untuk beberapa saat, arwah-arwah itu berhenti bergerak. Zaki yang tadinya nyaris kehilangan kendali, kini merasakan cengkeraman di tangannya mulai melonggar.
Dalam hening air yang dingin, suara serak terdengar jauh di benak Alina, seolah datang dari kedalaman yang lebih dalam lagi, "Hanya kebenaran yang dapat membebaskan kami. Tapi berhati-hatilah, kebenaran membawa beban yang tak semua orang bisa pikul."
Mendengar suara itu, Alina merasa seolah-olah dirinya dipenuhi oleh aliran energi dingin, mengalir dari bawah laut menuju pikirannya. Arwah-arwah itu mulai perlahan-lahan melepaskan Zaki. Cengkeraman yang menghantuinya kini perlahan mengendur. Peti yang sempat terlepas dari tangannya kini kembali dalam jangkauannya.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Zaki meraih peti itu lagi dan, dengan bantuan Alina, mereka berdua berenang menuju permukaan. Sensasi tekanan arwah-arwah yang tadinya begitu berat kini mulai sirna, namun bisikan kegelapan masih tersisa di antara mereka.
Saat mereka mencapai permukaan, Alina dan Zaki terengah-engah, menghirup udara segar dengan napas yang tertahan. Namun, di balik kemenangan kecil ini, keduanya tahu bahwa mereka telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih besar dan jauh lebih berbahaya.
---
Saat Zaki dan Alina berhasil mencapai permukaan, dunia di atas air terasa begitu asing dan seolah tidak nyata. Namun sebelum mereka sempat merasa lega, tubuh Zaki tiba-tiba terasa kaku, matanya memburam, dan angin dingin menyapu wajahnya. Segalanya mulai memudar.
Seolah terhisap ke dalam kekosongan, Zaki melihat bayangan samar seorang pria tua—kakeknya—berdiri di hadapannya, penuh dengan luka yang tak kasat mata. Dalam visinya, kakeknya tampak jauh lebih tua dari kenangannya, dengan wajah lelah dan suram.