“Sejak kapan, Lu, jadi donatur di panti asuhan ini?” tanya Vidya pada Ivan. Dirinya merasa aneh, selama ia tinggal di panti asuhan ini, tidak pernah sekali pun melihat Ivan.
“Gue jadi donatur di sini, kurang lebih sejak tujuh atau delapan tahun yang lalu,” jelas Ivan, “Waktu itu umur gue baru dua puluh tahun, pertama kalinya bantu Bokap di kantor dan mendapat penghasilan dari hasil keringat gue sendiri.
Ivan mencoba mengingat saat pertama dirinya menjadi donatur di panti asuhan kasih. Senyum mengulum di bibir pemuda belesung pipi itu, membuat dirinya semakin terlihat tampan.
“Lu, jadi donatur di sini selama delapan tahun, dan gue nggak pernah lihat Lu, satu kali pun?” tanya Vidya penuh rasa curiga.
Ivan yang mendapat pertanyaan tak terduga seperti itu langsung gelagapan, ia mencoba untuk tertawa ringan menutupi kegugupannya.
“Mungkin kita tidak bejodoh saat itu,” jawab Ivan asal.
“trus? Lu, pikir, sekarang kita bejodoh?” ledek Vidya. Bibirnya menggerucut, menampilkan kecantikan yang tersembunyi di balik wajah jahilnya.
“Gue pikir ... iya, apalagi setelah gue perhatikan ternyata wajah lu, lumayan buat di ajak pergi kondangan.” Ivan menirukan gaya seorang fotografer yang sedang mencari angle terbaik dari seorang model.
“Busheet, gue dijadiin temen kondangan doank? Jatuh pasaran gue,” sesal Vidya. “Gue mau ke studio gantiin vero siaran, dia lagi sakit. Lu, mau ikut?
Vidya menoleh, memandang Ivan yang saat itu sedang menatapnya, lekat. Tiba-tiba jantung Vidya berdetak lebih cepat dari biasa. Sialan Ivan, ngapain pake acara ngeliatin gue kaya gitu, bikin sport jantung aja. Rutuk Vidya dalam hati.
“ehm, ayo. Gue pamit dulu dengan bu Yati,” balas Ivan cepat.
Dirinya salah tingkah setelah tertangkap basah sedang memperhatikan Vidya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berjalan dengan gerakan yang terlihat sangat kaku, hingga hampir membuat dirinya terjatuh.
Di dalam mobil mereka berdua saling membisu, merasa tidak enak untuk memulai pembicaraan. Setiap kata yang berusaha dilontarkan seolah enggan meluncur keluar, akhirnya hanya menciptakan keheningan.
Vidya menyesali kebodohannya, menuruti keinginan Ivan untuk pergi bersama menuju Our Voice, menggunakan mobil Ivan, andai ia tahu sepanjang jalan akan terasa asing seperti ini, dirinya pasti lebih memilih berpanas-panas ria dengan motor kesayangannya.