Fachry bagaikan detektif kesiangan yang sibuk bertanya-tanya kepada seluruh penghuni Panti Asuhan Kasih, walaupun pertanyaan yang ia ajukan ringan dan dibalut dengan candaan, hampir semua informasi berharga ia dapatkan dari bincang-bincang iseng dengan anak-anak dan pekerja panti. Semua sudah ia temui, hanya satu orang yang belum berhasil ia ajak bicara, ibu Yati, pengelola panti.
Benar apa yang dikatakan orang, pemberi infomasi terbaik adalah anak-anak dan orang tua yang polos. Hanya bermodalkan humor receh, lebih terkesan garing, Fachry berhasil mencuri banyak cerita penting yang selama ini tidak pernah ia duga.
Di saat yang lain sedang sibuk berkumpul memenuhi ruang tamu, Fachry justru menyelipkan diri menuju dapur, menemui pelayan yang sedang sibuk menyiapkan cemilan sore hari.
“Mak, kebelet pipis, toilet di mana?” tanya Fachry.
Seorang perempuan paruh baya tertawa mendengar sapaan akrab pemuda yang baru pertama kali dilihatnya.
“Kelewatan toiletnya. Kamu balik lagi ke lorong, lihat di bawah tangga ada pintu, nah ... itu toiletnya.” Jelas perempuan yang dipanggil dengan sebutan emak, oleh Fachry.
Fachry bergegas kembali menuju lorong, menuju tempat yang ditunjukkan oleh pelayan panti. Alasan basa basi menanyakan letak toilet sebagai pembuka obrolan, berubah menjadi rasa penasaran setelah mendengar jawaban pelayan tadi, hatinya tergerak untuk memeriksa bentuk toilet yang letaknya tersembunyi di bawah tangga.
Ampuuun, itu toilet apa brankas? Tersembunyi amat, letaknya. Emang siapa yang mau nyuri bongkahan emas beracun? Batin Fachry, membuka pintu dan masuk ke dalam toilet, memperhatikan tiap detail yang ada di toilet tersebut.
Sama aja bentuknya dengan toilet di rumah gue, kiraian ada yang special. Hedeeeh, jadi nyesel gue masuk ke tempat penampungan emas. Pemuda itu berbalik menuju ke arah dapur, bergabung kembali dengan pelayan panti.
“Mak, bikin apaan? ari bantu, ya!” ujar Fachry, tubuh gendutnya memaksa masuk ke tengah- tengah arena memasak tanpa izin.
“emang bisa? Kalau bisa, tolong Emak, gorengin bakwan!” sahut pelayan panti.Wanita itu menggeser posisinya dan menyerahkan sudip pada pemuda bertubuh gendut, yang sudah menyita separuh ruangan dapur.
“Udah biasa masak, waktu kuliah di Jogja, dulu,” jawab Fachry. “Udah lama kerja di sini, mak?
“Emak? Udah hampir sepuluh tahun, kerja di sini.”
“Udah lama juga, ya. Selama bekerja di sini, Emak ada pengalaman berkesan nggak? yang bakalan Emak inget seumur hidup?”
Pelayan itu diam sejenak, berusaha mengingat kejadian apa yang paling berkesan selama dirinya bekerja di panti asuhan tersebut.
“Ooh, ada. Dulu waktu baru Emak kerja di sini, dapat perhiasan emas dua kali dari ibu kepala dan seorang donatur.”
“Kapan, Mak?” Fachry kembali membuka tanya, merasa umpan yang diberikan mulai diterima.
“Yang pertama waktu Neng Vidya diantar kemari sama polisi, dan yang kedua, waktu den Bintang ditemukan di depan panti. Sayang perhiasan emasnya, nggak cocok sama Emak.”
“Nggak cocok gimana, Mak? kalau nggak cocok, kenapa nggak dijual, aja?”
Rasa ingin tahu Fachry meningkat, entah kenapa dirinya jadi membayangkan, adegan di salah satu film, berkisah tentang tanda pengenal anak hilang yang berbentuk perhiasan.
“Kekecilan buat Emak.” Pelayan wanita itu mengekeh geli, berhasil mengerjai Fachry yang terlalu usil
“Hemb, Emak-emak, bisanya ngeledek!” ujar Fachry kesal. “Kirain beneran mau dijual.” Fachry menyerahkan gorengan bakwan yang sudah matang pada pelayan panti.
“Kalau Emak jual, Kamu, mau beli?” perempuan paruh baya itu mendekat dan bertanya sedikit berbisik pada Fachry.