Suara jeritan Vidya memecah pendengaran warga komplek yang memang terkenal tenang, gadis itu memandang pantulan dirinya di cermin dengan setengah tidak percaya, seburuk inikah wajahnya? Bagaimana dirinya bisa ke kantor pagi ini? wajah sembab dengan warna hitam di sekitar area kantong mata.
Aaah sial, hancur banget muka gue! kenapa semalem pake sok melankolis segala? Bikin jelek wajah gue aja. padahal cuma nonton film udah bikin muka gue semek begini, apalagi ditinggal mati, payah! Vidya membatin, memikirkan bagaimana dirinya akan ke kantor dengan wajah mirip zombie mati tenggelam. Bismillah aja, semoga abis mandi, udah cakep lagi.
Vidya mendendangkan lagu sambil keluar kamar, berniat menyiapkan sarapan untuk Bintang dan dirinya, tetapi di meja makan Vidya melihat sudah terhidang segelas susu dan dua roti bakar, serat selembar kertas yang berisi pesan dari Bintang.
Mah, Bintang berangkat sekolahnya jalan kaki aja. mamah istirahat, mamah pasti capek semalem. Isi surat Bintang membuat Vidya tersenyum, anaknya memang sangat perhatian, tetapi pergi sekolah jalan kaki pagi-pagi begini apa tidak terlalu rajin?
Gadis itu melirik jam yang tergantung di atas pintu, matanya membelalak lebar, dan sekali lagi jeritannya membahana. Berulang kali ia melihat ke arah jam dan mengucek mata, berharap penglihatannya keliru, tetapi sampai matanya perih jarum jam itu tidak berubah tetap menunjukkan pukul sebelas lebih sekian menit.
Pantas saja Bintang memutuskan berangkat ke sekolah jalan kaki, jika menunggu dirinya bangun, alamat bocah tambun itu, akan belajar dengan para dedemit penunggu sekolah.
Malas-malasan Vidya menelepon Fachry, sedikit berbohong ia mengatakan dirinya tidak enak badan dan izin tidak masuk kerja. Terlambat satu jam sudah biasa untuk Vidya tapi terlambat empat jam, sangat memalukan. Kebodohan dirinya menangis sepanjang malam hanya untuk sebuah film Korea, hingga tidak menyadari jika ia terlelap menjelang pagi.
Dilihatnya sekali lagi jam dinding, hampir pukul dua belas siang, tidak ada yang berubah. Matanya masih sehat dan jam itu justru semakin berputar maju. Daripada memikirkan bangun yang kesiangan, Vidya memaksakan diri untuk mandi, dan berbelanja kebutuhan bulanan di mini market terdekat.
***
“Mak, lama banget, panas ari nungguin Emak di sini.” Fachry memprotes seorang wanita paruh baya yang ia tunggu di sebuah warung kecil dalam gang sempit.
Wanita paruh baya yang ternyata pelayan di panti asuhan, berjalan tergopoh mendekati pemuda itu. dengan wajah di penuhi kekhawatiran ia memberikan sebuah bungkusan plastik pada Fachry.
“Ayeee ... ayeee ... dikira enak, Emak keluar bawa bungkusan harta karun begini?” omel emak pelayan panti. “Emak nggak pernah jadi penjahat, nggak pernah maen detektip-detektipan, takut Emak,”
Fachry tertawa masam, segera ia membuka bungkusan yang diberikan oleh pelayan panti padanya.
“Udah semua Mak? nggak ada yang ketinggalan?” tanya Fachry.