Rahasia Vidya (Who Am I)

MR Afida
Chapter #9

Sedikit Ingatan

SMA Nusantara, gedung sekolah tiga lantai yang nampak megah dan asri, kontras dengan cat dinding berwarna hijau muda serta pengaturan halaman dan tamannya yang hijau. Bagian depan di penuhi tanaman bunga kaca piring mengitari halaman membentuk taman pagar yang indah. Di beberapa bagian halaman, terbentuk kolam dan air mancur yang di kelilingi bangku beton, membentuk taman mini tempat siswa dan siswi bersantai.

Vidya berjalan mendahului Fachry, ia seolah sudah sangat mengenal gedung sekolah yang baru pertama didatangi, mengelilingi tiap sudut sekolah bahkan hingga ke kantinya. Di depan salah satu ruang kelas, Vidya berhenti, ia masuk dan memeriksa sebuah locker yang terkunci rapat, di Locker itu tampak sebuah goresan yang membentuk sebuah nama Alvidya Larasati.

Fachry yang mengikuti langkah Vidya semakin yakin, bahwa saat ini mereka sudah berada di tempat yang benar. Pemuda tambun itu merasa heran, melihat gelagat Vidya, apa gadis yang terbiasa ceplas ceplos itu sudah mendapatkan ingatannya kembali?

Beberapa murid yang mengikuti kegiatan ekstra kurikuler mulai berdatangan, di sertai seorang guru laki-laki yang menggunakan pakaian olah raga. Guru tersebut memperhatikan Fachry dan Vidya kemudian berjalan mendekati mereka.

“Selamat sore, ada yang bisa di bantu, Mbak, Mas?” sapa Guru pria tersebut.

Vidya yang tidak menyadari kedatangan Guru olah raga itu, terperanjat kaget. Ia nyaris melompat dan berteriak jika tidak segera ditahan oleh Fachry. Namun, saat Vidya berhasil mengenali guru tersebut, dirinya sudah tidak dapat dikendalikan, ia melompat lompat seperti anak kecil dan memeluk guru tersebut sambil meneriakkan namanya.

“Pak Rahman ... Pak Rahman, Fachry, beliau Guru olah raga gue, Pak Rahman!” seru Vidya tanpa sadar.

Fachry yang melihat tingkah Vidya tersenyum tidak enak hati dengan pak Rahman, ingin ia menjitak kepala sahabatnya, dirinya bisa menjadi bodoh tidak terkira kalau sudah merasa bahagia. Apa Vidya pikir pak Rahman enak di tunjal tunjal seperti itu?

“Mak, kasian itu, pak Rahman!” seru Fachry, sambil menarik Vidya agar melepaskan rangkulannya.

“Alvidya? Murid, bapak paling badung? Ya ampun, sampai pangling nggak ngenalin Kamu,” sapa pak Rahman.

Vidya tertawa cengengesan bagai bocah, dengan santai ia menggandeng tangan pak Rahman menuju halaman olah raga, meninggalkan Fachry sendirian di belakang. Gadis slebor itu seolah melupakan niat awal kedatangannya ke sekolah SMA Nusantara, ia justru asyik bertanding voli dengan para junior.

Fachry yang merasa diabaikan memilih keliling sekolah mencari sedikit petunjuk atau apa saja yang mungkin bisa membantu mereka mendapatkan jawaban. Sementara Vidya yang sudah kelelahan mengumbar tenaga, duduk di kantin sekolah sambil menikmati segelas orange juice kesukaannya sambil menunggu Fachry yang raib entah kemana.

“Kamu, minum jus sendirian, nggak niat traktir Bapak?” tanya pak Rahman, kedatangan beliau yang tiba-tiba membuat Vidya terlonjak kaget.

“Bapak, kaget saya. Pesen aja Pak, kalau mau minum,” tawar Vidya. Matanya mencari-cari keberadaan Fachry yang tidak muncul sedari tadi.

“Nungguin temen kamu? Lagi di toilet, dia. Abis muter-muter katanya,” jelas pak Rahman.

Beliau duduk di samping Vidya, menawarkan permen pada gadis itu sambil menunggu bakso dan teh es pesanannya, tidak lama Fachry juga turut bergabung bersama Vidya dan pak Rahman.

Seingat bapak, Vidya pernah dihebohkan hilang setelah kelulusan, kemana saja kamu baru muncul sekarang?”

Tangan pak Rahman sibuk meracik saos dan kecap pada bakso pesanannya, mencicip sedikit dan berbasa basi menawarkannya pada Vidya juga Fachry.

“Itulah yang ingin kami tanyakan, bagaimana kisah setelah kelulusan sembilan tahun yang lalu,” tanya Vidya hati-hati.

Kini gadis itu mulai meyakini bahwa dirinya adalah Alvidya Larasati tidak ada lagi keraguan dalam dirinya, hanya saja ingatannya tentang beberapa hal masih belum pulih. Ingatan sepintas tentang ruang kelas yang dulu pernah dipakainya belajar dan kedatangan pak Rahman yang tiba-tiba, cukup membantu kerja otaknya untuk menarik sedikit ingatan tentang hidupnya yang dulu.

“Seingat Bapak, setelah pengumuman kelulusan, Vidya dan sahabat karibnya berniat pergi ke Kota Pongtianak, tetapi Bapak nggak tau, mereka jadi pergi atau tidak,” jelas pak Rahman.

Kini mereka bertiga duduk berhadapan, Vidya mendengarkan dengan saksama semua penjelasan Guru olah raga tersebut, sementara Fachry merekam dan mencatat semua cerita pak Rahman yang menurutnya penting.

Lihat selengkapnya