Bu Yati, mondar mandir di ruang kerja, kedua jemari tangannya saling meremas menutupi kegelisahan yang tampak jelas di raut wajahnya yang kian tampak tua. Wanita yang tampak berwibawa itu, sesekali membetulkan letak kacamata, yang bertengger manis di wajah senjanya.
Sebuah kabar mengejutkan bu Yati terima dari salah satu kerabatnya yang mengajar di SMA Nusantara. Entah siapa yang memberikan petunjuk pada Vidya, tiba-tiba saja gadis itu bisa berada di sana. Apakah Ivan? Rasanya tidak mungkin, sebab anak muda itu sedang sibuk mencari keberadaan keponakannya. Begitu banyak rahasia yang harus ia jaga, jika karena keberanian Vidya membongkar seluruh rantai yang terikat, maka tidak ada lagi ruang untuk dirinya bersembunyi.
Haruskah ia mulai membuka satu demi satu rahasia yang telah tersimpan rapi selama ini? Jika ia berani melakukan hal bodoh tersebut, dunia akan mengutuknya sebagai seorang wanita kejam yang tidak memiliki perasaan. Namun, jika diam juga tidak akan membuat perubahan apa-apa. Apakah bersalah seorang ibu menjaga anaknya yang menjadi tatapan seluruh masyarakat kota? Dirinya hanyalah seorang ibu yang memiliki sedikit kekuasaan, menjaga anak tercintanya dari caci maki dunia.
“Ibu, panggil saya?”
teguran seorang pelayan panti, mengejutkan bu Yati, keringat dingin mengalir di wajah piasnya dengan degup jantung yang seakan berlari kencang.
“Ngagetin saya, aja, Mbak. Ketuk pintu dulu, kalau mau masuk!” rungut bu Yati, yang dibalas senyum permohonan maaf oleh lawan bicaranya.
“Dulu sekali, waktu pertama kamu kerja di sini, saya pernah suruh kamu buang seragam sekolah salah satu anak panti. Di mana, seragamnya?” lanjut bu Yati.
pelayan panti berulang kali menelan ludah, kedua kakinya mendadak gemetar, lemas seakan hendak lepas dari kedua persendian lutut. Dirinya teringat saat menyerahkan beberapa perhiasan milik anak-anak panti dan juga seragam sekolah milik Vidya yang pernah lupa ia buang, tetapi justru berani dibayar mahal oleh Fachry.
“ya, udah ndak ada, to, Bu. Bajunya wes buang, ndak ada lagi sama saya,” jelas pelayan itu.
Wajahnya yang polos berhasil membohongi bu Yati. Ia menyuruh pelayan panti untuk keluar dari ruangannya. Sementara di balik pintu, pelayan panti yang sudah tua itu, menarik napas lega, ia bergegas meninggalkan ruangan bu Yati yang masih terlihat gelisah.
***