Keringat membasahi sekujur tubuh Vidya, dadanya turun naik dengan cepat seiring napas yang memburu, kedua mata yang terpejam rapat, tampak berkali-kali bergerak cepat, hingga jeritan tertahan keluar dari mulut gadis itu.
Vidya terduduk dalam gelap, menekan tombol lampu, membuat keadaan menjadi terang benderang. Berulang kali ia mengucap istighfar, mengusap wajah perlahan sebelum meneguk habis segelas air putih yang selalu tersedia di atas nakas.
Mimpi yang sangat buruk, membuat mata Vidya enggan kembali terpejam. Gadis itu hanya duduk di atas ranjang kecil dengan memeluk kedua lututnya yang tertekuk. Berulang kali ia merangkai tiap kejadian di dalam mimpi itu, tetapi akhirnya buntu. Berulang kali juga ia mencoba mengingat wajah seorang gadis berseragam SMA yang dilihatnya sepintas, tetapi hampa.
Apakah mimpi yang ia alami adalah bagian dari masa lalunya? Ataukah hanya hiasan bunga tidur saja? karena dirinya terlalu memikirkan semua perkataan pak Rahman, Guru olah raganya saat SMA dulu? Sepertinya, Vidya harus membicarakan perihal mimpinya pada Fachry, sahabat yang tulus membantunya mengurai simpul kejadian demi kejadian sembilan tahun silam.
***
“Masakan, Lu enak, mak. ketagihan gue.” Fachry keluar dengan membawa sepiring penuh nasi beserta lauk pauk yang ikut memeriahkan suasana makannya.
Semenjak membantu Vidya menelusuri tentang kehilangan ingatan gadis itu, Fachry jadi sering berkunjung ke rumahnya, menikmati apa saja yang dimasak oleh gadis itu.
“Abisin aja, Ndut, mumpung masih enak makan. Kalau Lu, udah nggak enak makan, khawatir gue!” seru Vidya sambil memijit keningnya yang tiba-tiba terasa sakit.
Melihat selera makan Fachry yang luar biasa, membuat kepala perempuan tengil itu jadi berdenyut kesakitan. Dirinya yang terkenal dengan sebutan perut karet, karena makan dengan porsi kuli, ternyata masih kalah jauh dengan Fachry. Sahabatnya itu wajib masuk museum rekor Indonesia dan mendapat julukan perut laut. Selera makan pemuda tambun itu sangat luar biasa, tidak pernah terganggu dengan apa pun.
“Sayang sama gue, ya, Mak,” sahut Fachry tersipu, mendengar perkataan Vidya.
“Kagak! Ogah gue sayang ama, Lu. Ngabisin beras tau, nggak?” seloroh Vidya, seketika tawanya berderai melihat wajah Fachry yang tersipu berubah mencuka.
“Jahat kali, Mak, trus kenapa Lu, khawatir kalau gue nggak makan?” Fachry mencoba untuk terlihat marah dengan membuat wajah cemberut, tetapi itu justru membuat wajahnya terlihat semakin lucu.
“Kata emak gue, orang yang udah nggak enak makan, biasanya udah deket sama mati,” ejek Vidya. “trus, kalau Lu mati, gue kasihan sama penggali kubur dan yang angkat jenazah, gila aja, angkat mayat gajah seberat tiga ratus kilo ....”