“Hallo, sahabat Our Voice di mana pun anda berada, satu tembang terakhir dari Tulus dengan judul Adaptasi akan menutup jumpa kita, tapi jangan kemana-mana karena setelah ini akan ada banyak lagi, tembang-tembang hist yang akan menemani anda. Tetap di 97,5 fm. Stay tune and enjoy.”
Vidya melepas headphone yang terpasang manis di telinganya, menatap pada Fachry yang berada di ruang program, menunggu sahabatnya mengacungkan dua jempol pertanda lagu sudah mulai diputar dan Vidya bisa segera meninggalkan ruang siaran.
Semenjak kepulangan Vidya dari rumah orang tuanya, wanita tengil itu tampak menjadi menjadi lebih pendiam dari biasanya. Hampir semua teman sekantor bertanya kepada Fachry akan perubahan sikap Vidya, dan dijawab pemuda tambun itu dengan kocak.
“Vidya abis dapat wangsit, katanya seminggu lagi kalau nggak kaya, dia bakalan mati.”
Jawaban pemuda tambun itu mendapat sambutan makian dari teman-temannya, kekesalan karena Fachry tidak pernah serius menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan apa pun.
Vidya yang menjadi bahan gosip, mendadak muncul dan memandang heran pada semua orang yang menatapnya dengan pandangan iba.
“Vid, turut berdukacita, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah SWT, aamiin,” ucap Fenan, mendung kesedihan membayang di wajah pemuda tengil itu.
“Nih, maksudnya apaan, sih? Lu, pikir gue udah mati?” tanya Vidya, kebingungannya bertambah saat melihat semua rekan menyalaminya satu persatu.
“Gajah obesitas bilang, Lu dapat wangsit. Minggu depan bakalan mati.” Jelas Fenan diiringi tawa teman-temannya yang lain.
V idya menoleh cepat ke arah Fachry yang telah kabur lebih dulu, wajahnya berubah sangar, memberikan pandangan membunuh pada sahabatnya yang telah berlari menjauh. Ia mengejar pria tambun itu sekuat tenaga.
Napas Fachry tersengal-sengal, ia duduk di warung mie ayam, meredakan rasa lelah akibat kejaran Vidya, tetapi belum lama duduk, gadis tengil itu sudah muncul dengan memegang gagang sapu. Pemuda itu mengangkat kedua tangan, tanda menyerah, mempasrahkan kedua telinganya menjadi korban amarah Vidya.
“Kapan kalian berdua dewasa? Bertingkah kekanak-kanakkan dan jadi perhatian semua orang,” tegur Ivan tiba-tiba, mengagetkan Fachry dan Vidya.
Pemuda belesung pipi itu baru saja tiba di warung dan melihat pemandangan lucu sekaligus memalukan dari kedua pegawainya. Ivan langsung memesan mi ayam porsi jumbo untuk mereka bertiga.
“Lu, tau nggak apa gajah kampret ini, bilang sama-orang? Minggu depan gue mati!” adu Vidya pada Ivan, kemarahan tak kunjung reda dari wajahnya.
Ivan tersedak mendengar jawaban Vidya, seketika ia memelototkan mata pada Fachry yang langsung memasang wajah memelas.
“Ampun, Mak. becandaan doank,” ucap Fachry lirih.
“Jahat banget, Lu, bilangin Vidya mati minggu depan,” tegur Ivan. “seharusnya bilangin, dia mati besok, cepet kita tahlillan, makan bubur kacang ijo.” lanjutnya dengan tawa tertahan.
Tawa Fachry pecah mendengar ucapan Ivan sementara Vidya memandang kesal pada kedua makhluk menyebalkan yang ada di hadapannya.
“Bangke! Lebih parah, Lu!” rutuk Vidya tetapi bibirnya merekahkan senyum, lantas mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
Saat pesanan tiba, mereka menikmati makanan sambil tertawa dan berbicara santai seputar kerjaan juga liburan. Ketiganya saling menyembunyikan perasaan masing-masing walaupun ada banyak pertanyaaan yang ingin mereka utarakan.
“Bagaimana hasil liburan kalian? Tempat wisata mana saja yang sudah dikunjungi?” tanya Ivan tiba-tiba.
“Tidak ada, kami hanya diam di rumah dan bernostalgia di sekolah saat SMA dulu,” jawab Vidya santai, tetapi kakinya dan kaki Fachry saling menendang di bawah meja.
Bagaikan memiliki telepati, mereka Saling memberi tahu satu sama lain, bahwa Ivan saat ini sedang berusaha mencari informasi. Vidya memberi kode pada Fachry untuk mengikuti permainan Ivan, mereka berdua meyakini, kembalinya ingatan Vidya walau hanya sedikit, telah sampai di telinga pemuda itu.
“di mana dulu, Lu bersekolah? Selama ini, Gue nggak pernah mendengar, Lu cerita tentang kehidupan pribadi,” lanjut Ivan. Matanya memandang Vidya dengan penuh selidik.