Jungle Cafe. Sesuai dengan namanya, cafe ini memang terletak di tempat yang agak tersembunyi. Berdiri di tengah-tengah tanaman merambat, yang sengaja dibuat menjulang tinggi dengan bantuan pancang bambu. Beberapa pohon mahoni mejadi penunjang pemandangan, membuat area sekitar cafe tampak seperti hutan sungguhan.
Bagian dalam cafe juga didekor sedemikian rupa, agar sesuai dengan konsep hutan. Meja dan kursi dibuat seperti batang pohon yang telah ditebang, di beberapa titik, tersedia bangku kayu yang menyerupai pohon tumbang. Wallpaper cafe juga menggunakan konsep hutan berwarna hijau.
Fachry dan Ivan pertama kali berkunjung di jungle cafe, takjub melihat hasil kerja keras pemilik cafe dalam menciptakan dekorasi yang unik. Ketika berada di jungle cafe, pengunjung akan serasa berada dalam hutan yang terletak di tengah kota.
“Bushet, keren beud, dah. Kapan-kapan gue mau maen ke sini lagi, kalau suntuk,” puji Fachry. Matanya tak lepas memperhatikan detail tiap design dan dekorasi cafe.
“ownernya, punya ide kreatif. Bikin hutan di tengah kota, salut!” Ivan menimpali.
Mereka berdua memilih duduk di salah satu bangku panjang yang agak terlindung, dengan ranting dan daun buatan. Saat waitress menghampiri, mereka langsung memesan nasi bakar dan minuman dingin, menu utama di cafe tersebut.
“Lu, ngajak gue ke sini nggak Cuma buat traktir makan, aja kan?” tanya Fachry sambil memandang Ivan penuh selidik.
Tidak biasa, bossnya mengajak makan di luar, kalau tidak ada sesuatu yang penting. Ivan bukanlah tipe orang yang gampang membaur dengan orang lain. kedekatannya pada karyawan selalu memiliki lapisan tembok yang tidak kasat mata, terkecuali dengan Vidya, dan itu pun di karenakan sikap masa bodoh gadis tengil itu.
“Gue, butuh tempat cerita. Otak gue buntu, menyimpan rahasia ini selama sembilan tahun.” Ivan mendesah perlahan, kenangan tentang adik dan keponakannya berkelebat di depan mata pemuda itu.
Delapan tahun mencari keberadaan keponakan tetapi setitik hasil pun, belum ia dapatkan membuat Ivan ingin menyerah. Namun, rasa bersalah dan janji pada almarhum Kanaya, membuat pemuda itu, mau tidak mau harus bangkit kembali untuk berusaha, meskipun selalu dimulai dari titik nol.
“Lu, yakin mau cerita, ke, gue?” tanya Fachry. “Belum tentu, gue bisa bantu, Lu.”
Percakapan mereka terhenti saat waitress tiba mengantarkan pesanan. Mata Fachry berbinar dan semangat pemuda tambun itu langsung naik berkali-kali lipat. Ivan terkekeh melihat Fachry bertingkah seperti bocah saat bertemu makanan.
“Pantesan aja, badan, Lu gembul. Ketemu makanan kaya orang kelaparan tujuh tahun,” ledek Ivan, pemuda itu kembali melambaikan tangan pada waitress, dan memesan menu yang sama sekali lagi.
“Gue, nggak berharap bantuan, Lu. Dada gue rasanya sesak kalau harus nyimpen ini semua sendirian,” lanjut Ivan.
Fachry tergugu mendengar pembicaraan Ivan, pemuda itu hanya mengangguk-angguk kecil, seolah mengerti apa yang dirasakan oleh bossnya. Tidak menyangka jika Ivan, memiliki masalah yang sama rumitnya dengan Vidya.
Sepertinya gue ditakdirkan terlahir sebagai titisan Sherlock Holmes, selalu dikelilingi dengan orang-orang yang penuh rahasia. Batin Fachry.
Mata Ivan meredup, menahan sakit yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Ingin menangis, tetapi sebagai seorang laki-laki, rasa malu menumpahkan air mata memaksa dirinya untuk terlihat kuat.
“Keponakan gue, menghilang delapan tahun. Saat masih orok merah, dia di culik dan itu membuat adik kesayangan gue memilih mati daripada menahan rindu pada anaknya ....”