Mimpi itu kembali berulang dan kali ini terasa sangat nyata, bahkan di dalam mimpinya Vidya bisa melihat dengan jelas wajah-wajah yang selama ini tampak samar. Gambaran seorang wanita yang tertawa bersama Vidya dengan seragam sekolah yang penuh coretan, juga seorang laki-laki yang marah dan mendorong Vidya, hingga ia jatuh terguling-guling di tangga.
Tiba-tiba bagaikan ditarik ke dalam lorong waktu, mimpi yang dialami Vidya mundur dan mengumpulkan semua kepingan yang selama ini mengambang. Satu demi satu bayangan yang terpecah itu berkumpul menjadi sebuah cerita utuh yang selama ini berusaha ia kumpulkan.
Mimpi yang dialaminya mengungkapkan sebuah rahasia besar yang menyebabkan Kanaya dianggap gila dan difitnah. sahabat baiknya, harus menanggung malu, rasa sakit dari fitnah keji yang ditujukan padanya. Ternyata semua cerita bohong itu hanya untuk menutupi sebuah kisah memalukan yang telah dilakukan oleh segelintir orang, menamakan diri mereka panutan.
Vidya duduk tepekur memahami mimpi tersebut, ia bangun karena merasa sangat terbebankan dengan kenyataan yang tersimpan selama sembilan tahun ini dan menyebabkan sahabatnya Kanaya menderita. Selama ini ia telah salah menuduh orang, penjahat yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana. Setelah ingatannya kembali tidak ada lagi alasan untuk bungkam, mendiamkan semua kejahatan merajalela.
Vidya menggapai gawainya yang terletak di atas nakas, menghubungi nomor Fachry tetapi panggilan tersebut tidak diangkat oleh pemuda tambun itu. Hanya ada sebuah pesan masuk dari Fachry
[gue lagi boker, mak. mau apa, dah, tengah malem begini] isi pesan singkat dari Fachry.
[bujug, bau! btw gue inget semuanya, udah inget sampai hal yang terkecilnya juga] balas Vidya
[nggak jelas, lu. Inget apaan] balasan dari Fachry kembali, masuk.
[inget kejadian di our voice, dan alasannya kenapa gue jatuh] cepat Vidya mengirimkan balasan untuk Fachry.
[bagus, dah, kalau gitu. Kalau, lu udah berhasil bongkar semuanya, suruh polisi ngebongkar satu buah kursi di taman our voice yang letaknya di bawah pohon mahoni dekat danau buatan] balasan dari Fachry, membuat Vidya bingung.
[ada apaan emangnya?] tanya Vidya, terkadang Fachry memang suka bersikap aneh.
[pokoknya, lu bakalan melihat sesuatu yang mencengangkan] jawab Fachry absurd.
[apaan, gue kepo, tau!] balas Vidya cepat.
Lima menit ... sepuluh menit ... lima belas menit ... lama Vidya menunggu balasan dari Fachry, tetapi pemuda bertubuh tambun itu tidak juga membalas pesan singkat dari Vidya. Tidak sabar ia segera memencet nomor telepon Ivan, tetapi batal menghubungi pemuda itu, saat dilihatnya hari sudah menjelang pukul dua malam.