Gerimis turun perlahan dari awan yang mendung, membasahi atap-atap rumah dan halaman kosong di depan rumah kecil yang mulai reyot. Langit menatap ke luar jendela kamarnya, memerhatikan setiap tetesan air yang jatuh di dedaunan, lalu mengalir pelan di sepanjang jalan setapak. Gerimis, baginya, selalu mengingatkan pada kenangan yang samar. Tidak pernah cukup deras untuk menyapu bersih pikiran, namun cukup lembut untuk menyelimuti hatinya dalam kerinduan.
Ia menghela napas panjang. Tangannya bermain-main dengan pensil di atas buku sketsanya, tapi tak ada gambar yang benar-benar terbentuk di sana. Hanya coretan-coretan yang menggambarkan ketidakpastian, seperti hidupnya sendiri, ia pikir.
Langit menggenggam pensil di tangannya, perasaannya bercampur aduk. Sesekali, matanya melirik ke arah Hana yang sibuk di dapur, seperti sedang mencari keberanian untuk bertanya. Setiap kali topik tentang orang tua mereka muncul, rasanya seperti ada tembok tak kasat mata yang tiba-tiba membentang di antara mereka. “Kenapa mereka nggak pernah hubungi kita?” bisiknya pelan, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Hana.
Tapi suara Hana yang tiba-tiba berhenti mengaduk sup membuat Langit sadar, pertanyaannya tidak sepenuhnya tidak terdengar. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi ketakutan membuat lidahnya kelu. Setiap kali ia mencoba, Hana selalu menghindar, dan itu membuatnya semakin yakin ada sesuatu yang tidak ingin diceritakan.
"Duh, gerimis lagi. Kayaknya hujan bakal awet sampai sore." Suara Hana terdengar dari arah dapur, nyaris tenggelam di antara bunyi panci yang berdenting dan suara radio yang berbicara tentang prakiraan cuaca. "Langit, kamu sudah siap buat presentasi minat dan bakat di sekolah besok?"
Langit memutar posisi kursi kayu yang ia duduki, sedikit malas. Hana, kakaknya, atau lebih tepatnya, sosok yang ia anggap sebagai kakaknya selama 15 tahun usianya, terlihat sibuk dengan tangannya yang penuh tepung dan piring kotor. Meskipun rumah mereka kecil dan sederhana, Hana selalu memastikan rumah itu bersih dan nyaman. Langit sudah terbiasa dengan rutinitas mereka, tapi akhir-akhir ini, ia merasa ada jarak yang tidak bisa dijelaskan di antara mereka. Entah karena ia semakin dewasa, atau karena ada sesuatu yang selama ini tidak ia sadari.
"Sebenarnya belum," jawab Langit dengan suara pelan. "Aku masih bingung, Kak. Aku mau ambil beasiswa kuliah untuk jurusan seni nanti, tapi kurasa kita nggak akan punya cukup uang buat bantu biaya tambahan. Jadi, percuma juga, kan?"
Hana terdiam sejenak, lalu menghela napas, menyeka tangannya dengan lap kain sebelum menghampiri Langit. Ia berdiri di ambang pintu kamar adiknya, memperhatikan buku sketsa di meja.
"Kamu tahu, Langit, kalau kamu punya impian, kamu nggak boleh nyerah begitu aja," ujar Hana sambil tersenyum kecil, walaupun senyumnya tampak dipaksakan. "Aku akan selalu mendukung kamu, apa pun yang kamu mau capai."
Langit tersenyum tipis. Ucapan Hana terdengar begitu tulus, tapi ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat hatinya tidak tenang. Ia tidak tahu apa yang disembunyikan kakaknya, tapi ada rasa canggung yang muncul setiap kali mereka bicara tentang masa depan, seolah-olah ada sesuatu yang tidak ingin Hana ungkapkan.
"Aku tahu, Hana," jawab Langit pelan. "Tapi tetap saja… Aku masih penasaran, kenapa Papa sama Mama ninggalin kita? Kamu kan selalu bilang mereka cuma pergi sementara, tapi… kenapa nggak pernah ada kabar dari mereka sampai sekarang?"
Pertanyaan itu sudah lama bersarang di kepala Langit, seperti duri kecil yang terus menusuk, namun tak pernah cukup dalam untuk membuatnya berdarah. Tapi kali ini, ia merasa sudah waktunya untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas. Hana diam, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali pertanyaan itu muncul. Hanya detak jarum jam di dinding yang terdengar, bersaing dengan suara gerimis yang masih setia menemani mereka.
"Aku sudah pernah bilang, Langit," Hana akhirnya menjawab, matanya tampak tak tenang. "Papa sama Mama punya alasan sendiri. Mungkin suatu saat kamu akan mengerti."
Kebisuan itu menusuk lebih dalam daripada jawabannya. Langit menatap kakaknya, mencoba mencari kejujuran dalam wajahnya yang tampak kelelahan. Tapi yang ia temukan hanya kepingan-kepingan teka-teki yang belum lengkap, misteri yang selalu disembunyikan Hana di balik senyumnya yang lembut. Tidak ada apa pun di sana yang bisa ia pegang.
"Suatu saat?" Langit mengulang kata-kata itu, hampir mencemooh, tapi ia mengurungkan niatnya. Ada sesuatu dalam mata Hana yang membuatnya tak tega untuk mendesak lebih jauh. Kakaknya telah memberikan segalanya untuknya, ia tahu itu. Namun, setiap kali mereka berbicara tentang masa lalu, seolah-olah Hana membangun dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
❀❀
Hari sudah hampir malam ketika gerimis akhirnya berubah menjadi hujan yang lebih deras. Langit memutuskan untuk keluar dari kamar dan membantu Hana di dapur. Mereka makan malam dengan sederhana, ada nasi, tempe goreng, dan sayur lodeh yang dibuat Hana dengan bumbu seadanya. Tapi makanan itu selalu terasa lebih enak daripada masakan kedai mana pun bagi Langit. Entah karena ia lapar, atau karena setiap suapan mengingatkan betapa keras Hana bekerja untuk mereka berdua.
Saat mereka duduk di meja makan, suara rintik air di luar menjadi irama yang akrab bagi keduanya. Suara hujan selalu menjadi teman setia di setiap makan malam mereka, dan entah kenapa, Langit merasa ada kedekatan antara hujan dan kehidupannya. Setiap kali hujan datang, ada perasaan damai sekaligus kesepian yang melingkupinya.
"Apa kamu pernah kepikiran buat nyari mereka?" tanya Langit tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di antara suara sendok dan piring. Hana menatapnya dengan ragu.
"Siapa?"
"Papa sama Mama. Maksudku, apa kita nggak bisa coba nyari mereka?"