Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #2

Kanvas 2 - Hujan Pertama

Hujan pertama setelah musim kemarau panjang selalu membawa dua hal bersamaan, antara pembebasan dan hukuman. Ada kelegaan sementara saat bumi yang kering akhirnya mendapat siraman, tapi hujan juga menyimpan kesedihan yang Hana tak pernah bisa lupakan. Hujan ini selalu mengingatkannya pada keputusan yang pernah ia ambil, dan pengkhianatan yang ia terima.

 

Tiga tahun yang lalu, meski rasanya masih seperti kemarin, Hana berdiri di tengah semua itu. Berperan sebagai kakak bagi Langit, padahal kenyataannya berbeda. Saat itu, Langit masih terlalu muda untuk mempertanyakan dunia di sekitarnya. Ia percaya pada segala yang Hana katakan, hidup di dalam dunianya yang tenang. Tapi seiring waktu, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan, dan Hana tahu kebohongannya tidak akan bisa bertahan selamanya.

 

❀❀

 

Langit yang berusia dua belas tahun sudah mulai memahami bahwa ada yang tidak biasa dengan hidup mereka. Ia sering mendengar cerita teman-temannya tentang keluarga mereka, tentang ayah yang membantu mengerjakan PR, ibu yang menyiapkan bekal setiap hari, dan liburan keluarga yang hangat. Hal-hal yang bagi Langit hanya sebatas cerita, bukan kenyataan.

 

Dan setiap kali Langit menanyakan soal orang tua mereka, Hana merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Sudah lebih dari satu dekade sejak malam yang mengubah hidupnya selamanya. Kehilangan keluarga, masa depan yang hilang, dan kebohongan yang semakin hari semakin besar.

 

Di hari hujan pertama itu, Hana berdiri di dapur, menatap keluar jendela. Rintik-rintik hujan turun lembut di luar, memantulkan cahaya samar dari lampu jalan. Hujan ini membawa kembali kenangan yang pahit, kenangan yang ia coba kubur dalam-dalam.

 

“Kak, kenapa Papa sama Mama nggak pernah pulang?” suara Langit memecah keheningan, merembes masuk seperti suara hujan. Pertanyaan yang Hana selalu takutkan.

 

Hana terdiam. Setiap kali Langit bertanya, kebohongan yang ia tumpuk semakin terasa menyesakkan. Ketika Langit masih kecil, Hana bisa dengan mudah mengalihkan pembicaraan, tapi sekarang, setiap jawaban terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh.

 

“Mereka bekerja di tempat yang jauh untuk pulang, Langit. Kamu tahu itu,” jawab Hana akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. Tapi pikirannya berlari ke mana-mana, berusaha mencari jawaban yang lebih baik.

 

Langit memandangnya, matanya penuh harapan yang Hana tahu tak bisa ia penuhi. “Tapi sudah lama sekali, Kak. Apa mereka baik-baik saja?”

 

Detak jantung Hana semakin cepat. Setiap pertanyaan membuat kebohongan yang ia ciptakan terasa semakin berat. Langit pantas tahu kebenaran, tapi Hana tidak bisa membayangkan reaksi Langit jika mengetahui bahwa kakaknya selama ini adalah ibu kandungnya, dan bahwa ayahnya tidak pernah ada di sisi mereka.

 

“Mereka… sibuk,” jawab Hana dengan nada pelan. Ia tahu betapa lemahnya alasan itu, tapi tidak ada lagi yang bisa ia katakan. “Mungkin nanti mereka akan menghubungi kita.”

 

Langit menatap Hana dalam-dalam, seolah mencari jawaban yang lebih baik di balik matanya. Namun yang ditemukan hanyalah kebohongan lagi.

 

❀❀

 

Malam itu tiga tahun yang lalu, hujan turun dengan cara yang sama. Hana duduk di ujung tempat tidurnya, menggenggam selimut yang tak mampu menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Langit baru saja tertidur, tak menyadari beban yang dibawa oleh kakaknya.

 

Saat itu, seperti malam-malam sebelumnya, Hana terjebak dalam kenangan yang tak bisa ia lupakan. Usianya baru 17 tahun ketika semuanya berubah. Masa depan yang seharusnya penuh dengan harapan tiba-tiba runtuh ketika dua garis merah muncul di sebuah alat tes kehamilan.

 

Cinta pertamanya membawa bencana. Hana, yang saat itu dipenuhi impian tentang kuliah dan masa depan yang cerah, tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berbalik secepat itu. Hamil di luar nikah di keluarga yang sangat menjaga nilai tradisional adalah sebuah aib besar.

 

Dan bencana itu datang lebih cepat dari yang ia kira.

 

Keluarganya tak memberinya pilihan. Saat ia memberanikan diri untuk memberi tahu ibunya, respons yang ia terima bukan simpati atau dukungan, melainkan kekecewaan yang mendalam. Ayahnya lebih buruk, membuatnya langsung diusir dari rumah, dianggap mencemarkan nama baik keluarga.

 

Hujan deras malam itu menemaninya di perjalanan menuju terminal bus. Hana tak tahu ke mana harus pergi. Tidak ada tujuan, tidak ada rencana. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia sendirian, dengan seorang bayi dalam kandungannya dan satu tas kecil yang membawa sisa-sisa hidupnya.

 

❀❀

 

Hana kembali dari lamunan ketika suara pintu kamar Langit tertutup lembut. Langit sudah selesai makan malam dan tampaknya bersiap untuk tidur. Di ruang tamu yang sepi, Hana duduk di sofa, menatap hampa ke layar televisi yang menyala, namun tak ada yang ia pedulikan.

 

Ia sering bertanya-tanya bagaimana hidupnya akan berbeda jika ia membuat keputusan lain. Jika saja ia tidak mudah jatuh cinta. Mungkin Langit tidak akan lahir lebih cepat, dan hadir di saat yang tepat, memiliki kehidupan yang lebih baik, dengan keluarga besar, kakek dan nenek yang penuh kasih, dan kehidupan yang stabil, bukan kehidupan yang penuh kebohongan ini. Tapi, kenyataan jauh lebih kejam. Kenyataan adalah bahwa Langit hanya memiliki dirinya.

 

Lihat selengkapnya