Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #3

Kanvas 3 - Menggapai Awan

Langit duduk di atas kursi kayu tua di sudut kamarnya, menatap jendela dengan pandangan kosong. Di luar, langit berwarna abu-abu pucat, seperti kain tua yang telah lama memudar. Gerimis turun lembut, suara air yang jatuh menimpa atap rumah terdengar seperti detak jarum jam yang menghantui. Di hadapannya, buku sketsa kosong terbuka, halaman-halamannya masih bersih. Pensil di tangannya seakan tak mau bergerak, seperti terjebak dalam kebingungan yang sama dengan pikirannya.


Biasanya, ketika Langit merasa gelisah, ia melarikan diri ke dalam gambar-gambarnya. Setiap coretan adalah pelampiasan perasaannya, sesuatu yang hanya ia dan kertas itu yang tahu. Namun kali ini, meski pikirannya penuh, tak ada yang bisa dituangkan ke atas kertas. Kegelisahan tentang masa lalu yang tak terjawab terus menggerogoti fokusnya, seperti bayang-bayang yang menempel erat di benaknya.


Sudah lama sejak ia mulai mempertanyakan keberadaan orang tua mereka. Kenapa mereka tak pernah ada? Mengapa Hana selalu memberikan jawaban yang sama, jawaban yang semakin tak masuk akal? Kenapa mereka tidak pernah pulang? Ia tahu Hana mencintainya dan telah berkorban banyak. Namun, sekarang ia sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang Hana sembunyikan dengan hati-hati. Pikirannya mengembara, matanya tampak kosong, dan tangan yang memegang pensil mulai berkeringat, gemetar samar.


Langit menghela napas dalam-dalam, menatap ke arah laptopnya. Aplikasi beasiswa seni untuk SMA favoritnya terbuka, menunggu untuk diisi. Ini adalah kesempatan besar, kesempatan yang bisa membuka jalan bagi masa depannya sebagai seniman. Namun, setiap kali ia mencoba fokus pada impian itu, pertanyaan tentang orang tuanya kembali membayangi pikirannya seperti kabut yang tak kunjung hilang. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya semakin menumpuk.


Dia menatap layar sebentar, lalu dengan gerakan malas menutup laptopnya. “Nanti saja,” gumamnya pelan, suaranya sedikit bergetar. Pikiran tentang orang tua itu terlalu mengganggu, terlalu membebani. Ia memijit-mijit keningnya, berharap sakit kepala yang mulai muncul bisa sedikit mereda.


❀❀


Hari itu, di sekolah, Langit berusaha keras untuk fokus pada pelajaran seni. Namun pikirannya terus saja melayang. Pak Adi, guru seninya, memberikan tugas sketsa sederhana, sebuah latihan yang seharusnya mudah bagi Langit. Namun, di atas kertas, ia hanya berhasil membuat coretan-coretan tak berarti, bukan karya yang biasanya mengalir dengan mudah dari tangannya.


Pak Adi berjalan menghampiri mejanya, tatapannya lembut tapi penuh tanya. “Langit, apa yang kamu gambar?” tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.


Langit menoleh, sedikit terkejut, tangannya refleks menarik kertas ke arah tubuhnya. Ia menunduk, memandang sketsa itu dengan pandangan bingung. Sketsa itu menunjukkan seorang anak kecil berdiri di bawah payung besar di tengah hujan. Meskipun gambarnya belum selesai, jelas bahwa anak itu tampak sendirian, seperti terpisah dari sesuatu yang lebih besar. Langit menelan ludah, tangannya bergetar halus saat mencoba menjelaskan.


Pak Adi menatap gambar itu sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat, ya?” suaranya lirih, tapi matanya memancarkan rasa peduli.


Langit mengangguk pelan, senyum tipis terukir di bibirnya, tapi senyumnya terlihat rapuh, seakan siap runtuh kapan saja. “Mungkin…” jawabnya dengan suara yang nyaris hilang, matanya beralih ke luar jendela kelas. Gerimis masih turun di luar, mengaburkan pandangan dari halaman sekolah. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang tak terucapkan.


Pak Adi berjongkok di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh perhatian. “Kadang, seni memang bisa menjadi cermin bagi perasaan kita. Kamu tidak harus selalu mengerti kenapa kamu menggambar sesuatu. Kadang, gambarmu tahu lebih banyak daripada kamu sendiri.”


Langit merenungkan kata-kata itu, tapi perasaan ganjil masih menguasainya. Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun kata-kata Pak Adi menenangkannya sesaat. Namun, tetap saja, ada sesuatu yang salah. Dia ingin menggambar lebih banyak, ingin tahu lebih banyak, tapi setiap kali mencoret lebih jauh, rasanya seperti pintu inspirasi yang setengah tertutup. Kepalanya tertunduk lemas, frustrasi membayang di wajahnya. Ia menarik napas panjang, tapi udara yang masuk terasa berat.


Pak Adi bangkit lagi, menepuk bahu Langit dengan lembut, lalu tersenyum tipis. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Langit. Terkadang, jawabannya akan datang sendiri ketika kamu siap,” ucapnya sambil berdiri, tapi tidak sepenuhnya pergi, seolah masih mengawasi reaksi Langit.


Langit mengangguk perlahan, meski hatinya tetap terasa berat. Setelah Pak Adi berlalu, ia mencoba melanjutkan sketsanya. Tangannya gemetar saat memperhalus garis payung dan tetesan hujan di sekitar anak kecil itu. Tapi pikirannya tetap berkabut, dan garis-garis yang ia buat terasa kaku, tak seperti biasanya.


❀❀


Sore itu, setelah pulang sekolah, Langit memutuskan untuk tidak langsung pulang. Hujan masih turun, tapi langkahnya tak terhenti. Langit terus berjalan menuju taman yang sepi, di mana ia sering mencari ketenangan. Kakinya menyeret di atas genangan air, percikan kecil mengenai celana seragamnya, tapi ia tak peduli. Di taman, ia duduk di bangku tua di bawah pohon besar, membiarkan hujan membasahi ujung sepatunya. Angin dingin menusuk kulitnya, tapi rasa dingin itu tak bisa menghilangkan pikiran-pikirannya yang berat.


Genangan air di tanah semakin membesar, mencerminkan langit kelabu di atas. Langit selalu menjadi sesuatu yang menenangkannya, namun kini hujan membawa lebih banyak pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh Hana. Matanya memejam sebentar, merasakan rintik-rintik hujan di kulitnya, seakan meminta jawaban dari sesuatu yang tak terlihat. Hujan dulu adalah pelindung, seperti selimut hangat yang melindungi mereka dari dunia luar, tetapi sekarang rasanya seperti sebuah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Kepalanya menunduk, air mata hampir menetes, tapi ia cepat-cepat mengusap wajahnya, menolak terlihat lemah.


❀❀


Malam itu, setelah Langit kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Hana sudah menyiapkan makan malam sederhana, seperti biasanya. Nasi, ikan goreng, dan sayur lodeh. Aroma masakan mengisi rumah kecil mereka, tapi kehangatan yang biasanya ia rasakan saat pulang kini terasa sedikit memudar. Ada jarak yang semakin jelas di antara mereka.


"Langit, kamu dari mana saja? Hujan deras, lho," Hana bertanya lembut, suaranya mencoba terdengar biasa sambil meletakkan piring di meja. Namun, ada kerutan kecil di keningnya yang mengisyaratkan kekhawatiran.

Lihat selengkapnya