Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #4

Kanvas 4 - Hujan dan Petir

Hujan deras mengguyur atap rumah kontrakan kecil mereka. Petir menyambar jauh di langit, tapi suaranya terasa dekat, menggelegar dan menakutkan. Di dalam rumah yang sempit, Hana duduk di samping jendela, memeluk kedua lututnya, sementara matanya yang letih memandangi tetesan air yang mengalir tanpa henti di kaca jendela. Hujan kali ini tidak seperti biasanya. Bukan hujan yang lembut dan menenangkan, tetapi badai yang mengguncang jiwa, seolah-olah langit sedang menangisi segala hal yang telah ia pendam selama ini.

 

Langit, yang saat itu masih berusia lima tahun, tertidur pulas di kamar sebelah. Tidurnya selalu damai, bahkan ketika badai menghantam. Hana selalu memperhatikan bagaimana adiknya, atau lebih tepatnya anaknya, bisa tidur begitu nyenyak seolah dunia di luar tidak ada artinya. Langit tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu rahasia kelam yang Hana simpan rapat-rapat, jauh di dalam hatinya.

 

Hana menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak, namun seperti badai di luar, pikirannya juga kacau. Malam-malam seperti ini selalu membawa kenangan-kenangan menyakitkan. Kenangan tentang keputusan berat yang ia buat lima tahun lalu, saat dunia yang pernah ia kenal runtuh, dan ia harus berdiri sendirian di tengah reruntuhannya.

 

❀❀

 

Lima tahun sebelumnya, Hana adalah seorang gadis yang menginjak usia 27 tahun. Pada usia itu, hidup seharusnya penuh dengan capaian mimpi dalam hidup. Tapi bagi Hana, impian-impian itu hancur dengan cepat, seperti rumah yang diterjang badai. Kehamilan di luar nikah adalah sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan, dan ketika ia pertama kali melihat hasil tes kehamilan itu, rasa takut dan kekecewaan menguasai seluruh dirinya.

 

Reaksi keluargan yang lebih buruk dari yang ia bayangkan, tak mungkin, jika tak meninggalkan traumatis. Orang tuanya sangat keras. Mereka adalah keluarga yang sangat konservatif, menjaga nama baik di atas segalanya. Ketika Hana akhirnya mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu mereka bahwa ia hamil, reaksi pertama mereka adalah kemarahan dan rasa malu. Ayahnya tidak mau mendengarnya bicara, dan ibunya menangis sepanjang malam.

  

Kata-kata ayahnya menghantam Hana seperti petir. Seperti sambaran yang begitu kuat hingga ia merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia tidak pernah berpikir keluarganya akan menolaknya. Mereka tidak peduli siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Mereka tidak ingin mendengar penjelasannya. Semua rencana hidupnya hancur dalam semalam.

 

Dan sejak saat itu, Hana sendirian. Ia pergi dari rumah tanpa tahu harus ke mana, membawa bayi yang tumbuh dalam rahimnya sebagai satu-satunya yang tersisa dari hidupnya yang dulu. Hujan yang deras malam itu, mengiringinya keluar dari rumah keluarganya, seolah-olah langit ikut menangis bersamanya.

 

❀❀

 

Tahun-tahun awal setelah kelahiran Langit adalah yang terberat bagi Hana. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain, bekerja apa saja yang bisa ia temukan untuk bertahan hidup. Tidak ada dukungan dari siapa pun, tidak dari keluarganya, tidak dari pria yang telah meninggalkannya begitu saja. Hanya Langit yang menjadi alasan ia terus bertahan. Anak itu adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang gelap.

 

Namun, seiring waktu, Hana sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan Langit tumbuh mengetahui kebenaran. Tidak bisa membiarkan anak itu hidup dengan beban bahwa ibunya dibuang oleh keluarganya, ditinggalkan oleh pria yang seharusnya bertanggung jawab. Hana ingin Langit memiliki kesempatan untuk menjalani hidup tanpa merasa dibebani oleh masa lalu kelamnya.

 

Itulah saat ketika Hana pertama kali memutuskan bahwa ia akan menyembunyikan status sebenarnya dari Langit. Langit akan tumbuh berpikir bahwa Hana adalah kakaknya, bukan ibunya. Keputusan itu tidak datang dengan mudah, dan setiap hari setelah keputusan itu dibuat, Hana hidup dalam ketakutan bahwa rahasianya akan terbongkar. Tapi baginya, menyembunyikan kebenaran adalah satu-satunya cara untuk melindungi Langit, dan satu-satunya cara agar anak itu bisa memiliki kehidupan yang lebih baik daripada yang ia alami.

 

Hana ingat malam ketika keputusan itu pertama kali benar-benar menghantamnya. Langit baru saja berusia lima tahun, dan mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Hujan turun deras malam itu, sama seperti malam ini, dan Langit yang masih kecil merengek, bertanya kapan mereka bisa bertemu dengan papa dan mama. Itu adalah pertama kalinya Langit benar-benar bertanya tentang orang tua mereka, tentang orang tua mereka yang selama ini Hana katakan sedang bekerja di luar kota.

 

Hana ingat dengan jelas rasa sakit yang melintas di dadanya saat mendengar pertanyaan polos itu. Ia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya, bahwa tidak ada papa dan mama yang menunggu di luar sana, bahwa dunia Langit hanyalah dirinya. Tapi Hana tahu bahwa itu akan menghancurkan anak itu, bahwa Langit tidak akan pernah bisa mengerti betapa rusaknya masa lalu mereka.

 

"Papa dan Mama masih sibuk, Langit," jawab Hana waktu itu, sambil berusaha tersenyum. "Nanti kalau mereka sudah selesai, kita pasti bisa bertemu lagi."

 

Jawaban itu membuat hatinya terasa seperti ditusuk. Tapi saat melihat mata Langit yang masih polos, Hana tahu bahwa ia tidak bisa merusak kepolosan itu. Ia tidak bisa memberi tahu Langit tentang kebenaran yang begitu kejam, setidaknya belum. Langit masih terlalu kecil untuk memahami kenyataan hidup mereka.

 

❀❀

 

Malam itu, di tengah hujan deras yang disertai petir, Hana duduk di samping jendela, pikirannya terjebak dalam kenangan pahit. Setiap hari, pertanyaan Langit tentang orang tua mereka semakin sulit dihindari. Setiap kali Langit bertanya, Hana harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk tetap bertahan dengan kebohongan yang sudah ia tumpuk selama bertahun-tahun.

 

Lihat selengkapnya