Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #6

Kanvas 6 - Angin yang Membawa Kabar

Hana berdiri di depan jendela kecil kontrakan sempitnya, memandangi langit kelabu yang dilingkupi awan berat. Di luar, hujan mulai turun, pelan pada awalnya, kemudian berubah menjadi deras seiring hembusan angin yang kencang. Udara malam yang dingin menusuk tulang terasa seperti refleksi dari hatinya yang kian beku. Ia menggenggam tangan kecil Langit, yang tertidur dalam gendongannya, berusaha mencari kekuatan di balik senyum polos bayi mungil itu.

 

Langit, baru berusia satu tahun, belum menyadari kerasnya kehidupan. Matanya yang hitam pekat seringkali mengamati dunia dengan rasa penasaran yang Hana pernah miliki, sebelum segalanya berubah. Setiap tangisan Langit, setiap malam tanpa tidur, setiap pagi yang terasa berat, mengikis Hana sedikit demi sedikit. Langit adalah sumber kekuatannya, tapi juga pengingat dari keputusan-keputusan yang membawa hidupnya ke dalam jurang penuh kesepian. Setiap hari Hana berjuang bukan hanya untuk Langit, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk selalu bertahan.

 

Malam itu, pikiran Hana terhanyut kembali ke malam di mana segalanya dimulai. Kenangan yang menempel erat di benaknya, seperti mimpi buruk yang terus menghantuinya. Ia masih ingat suara ayahnya, teriakan yang keras dan penuh amarah, memantul di dinding rumah yang dulu ia anggap tempat perlindungannya.

 

"Mulai saat ini, kamu harus meninggalkan rumah ini, Hana!" teriak ayahnya. Hana bisa mendengar gema dari suara itu hingga kini, seperti petir yang membelah malam. Ia berdiri di sana, sendirian dengan perut yang mulai membesar, tak ada seorang pun yang berpihak padanya. Ibunya hanya menangis di sudut ruangan, tak berdaya melawan kehendak ayahnya.

 

Ketika pintu rumah tertutup keras di hadapannya, Hana tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

 

❀❀

 

Di kontrakan kecil ini, Hana sering merasa angin malam yang bertiup seakan membawa kenangan pahit yang tidak bisa ia hindari. Setiap hembusan angin yang membawa rintik hujan mengingatkannya pada pengkhianatan keluarganya. Hana berharap mereka akan menerimanya kembali meski hanya dengan tatapan dingin. Ia tidak meminta pelukan hangat atau penerimaan sepenuh hati, ia hanya ingin sedikit belas kasihan. Namun, semua itu hanya harapan kosong.

 

Keputusan untuk mengusirnya telah dibuat bahkan sebelum Hana melangkah ke dalam rumah waktu itu. Tak ada kesempatan berbicara, tak ada penjelasan. Ayahnya telah menutup pintu dengan tegas, menyegel semua harapan Hana.

 

"Kamu bukan anak kami lagi," adalah kata terakhir yang didengar Hana sebelum ia berjalan pergi dalam hujan deras, dengan tas kecil yang berisi beberapa barang penting dan perut yang kian membesar. Air mata bercampur dengan hujan yang membasahi wajahnya. Saat itu, dunia terasa begitu asing dan dingin, seperti menolak kehadirannya. Ia merasa tak berdaya, terbuang, dan sendirian.

 

❀❀

 

Langit kecil bergerak gelisah dalam pelukan Hana, membawanya kembali dari lamunan suram. Ia membelai lembut kepala Langit, merasakan kehangatan kecil itu di pelukannya. Betapa kecil dan rapuhnya anak ini, tak menyadari betapa keras dunia yang sedang dihadapi ibunya.

 

Hidup Hana terasa seperti badai yang tak pernah reda. Setiap hari ia berjuang untuk bertahan dengan pekerjaan serabutan, mencoba menutupi biaya sewa kontrakan dan kebutuhan Langit. Tidak ada yang membantunya. Keluarganya telah benar-benar memutuskan hubungan, dan ayah dari Langit telah lama menghilang, meninggalkan Hana tanpa kabar, tanpa tanggung jawab.

 

Ada saat-saat di mana Hana ingin menyerah, di mana ia merasa bahwa beban yang ia pikul terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Namun, setiap kali Langit menangis dan memeluknya dengan tangannya yang kecil, Hana tahu bahwa ia tidak bisa menyerah. Langit membutuhkan dirinya. Ia adalah satu-satunya yang bisa melindungi dan mencintai anak ini. Tidak ada orang lain yang bisa Hana andalkan.

 

Namun, beban emosional itu semakin menumpuk dari hari ke hari. Marah. Ia marah kepada keluarganya. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh keluarganya, tetapi juga oleh dunia. Dunia yang seharusnya memberi ruang bagi seorang ibu muda seperti dirinya, malah menolaknya mentah-mentah. Rasanya tidak adil, namun hidup tidak pernah bertanya tentang keadilan.

 

❀❀

 

Angin semakin kencang di luar, meniupkan hujan deras yang menghantam jendela. Hana menutup jendela dengan perlahan, membiarkan ruangan itu kembali hening. Hanya terdengar suara napas tenang Langit yang tertidur. Hana meletakkan anak itu di ranjang kecilnya, memastikan selimutnya rapat. Ia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.

 

Pikirannya terus kembali pada keluarganya. Seberapapun ia mencoba mengabaikan rasa sakit itu, kenangan itu terus menghantui pikirannya. Ada bagian dari dirinya yang ingin kembali meminta maaf, memohon agar keluarganya mau menerimanya kembali. Namun, Hana tahu itu tidak ada gunanya. Ayahnya terlalu keras kepala dan bangga untuk menerima seorang anak yang telah dianggap aib. Ibunya mungkin pernah menyayanginya, tetapi pada akhirnya, ia juga tunduk pada kehendak ayahnya. Tidak ada lagi tempat bagi Hana di rumah itu.

Lihat selengkapnya