Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #7

Kanvas 7 - Matahari di Balik Awan

Langit duduk di meja belajarnya, matanya terpaku pada layar laptop yang menyala di hadapannya. Kalimat yang terbaca di pesan dari gurunya, Pak Adi, membuat jantungnya berdebar tak karuan, seolah sinar matahari akhirnya menembus kabut yang selama ini menyelimuti hidupnya.

 

"Selamat, Langit. Karyamu telah dipilih untuk dipamerkan di galeri sekolah bulan depan. Teruskan kerja kerasmu."

 

Dia tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Sebuah kesempatan emas, impian yang selama ini terasa jauh, kini ada di depan mata. Pameran seni yang diadakan oleh sekolah-sekolah terbaik di kotanya adalah sebuah prestasi besar. Pikirannya melayang ke hari-hari penuh keraguan, saat ia menjadikan seni sebagai satu-satunya pelarian dari kebingungannya. Kini, pelarian itu membuahkan hasil. Langit tersenyum kecil, merasakan jalan hidupnya yang mulai lurus, seperti menemukan arah yang sudah lama ia cari.

 

Bayangan percakapan terakhirnya dengan Pak Adi muncul di benaknya.

 

“Kamu punya bakat besar, Langit. Yang kamu butuhkan hanyalah percaya pada dirimu sendiri dan terus bekerja keras,” kata gurunya dengan penuh keyakinan.

 

Sekarang, kata-kata itu lebih bermakna dari sebelumnya. Ada sebuah energi baru di dalam dirinya, sebuah tekad yang lebih kuat. Tekad untuk mengejar mimpinya dan membuktikan pada dunia, dan pada dirinya sendiri, bahwa ia layak.

 

Namun, di balik kebahagiaan yang merayap pelan ke hatinya, ada sesuatu yang tetap menggantung. Bayangan-bayangan yang lebih gelap, yang selama ini bersemayam di sudut pikirannya, mulai menghampiri lagi. Pertanyaan tentang orang tua mereka, sebuah misteri yang tak kunjung terjawab, kini semakin menghantuinya. Kenapa Hana selalu menghindari topik itu? Kenapa tak ada kabar tentang mereka?

 

❀❀

 

Langit teringat malam itu, ketika ia secara tak sengaja menemukan foto lama Hana yang sedang menggendongnya saat ia masih bayi. Foto itu begitu sederhana, hanya ada Hana yang tersenyum lelah sambil memeluk bayi kecil yang kini telah menjadi dirinya. Di foto itu, tidak ada sosok lain, tidak ada orang tua yang seharusnya hadir di momen-momen penting seperti itu. Sejak menemukan foto tersebut, pertanyaan-pertanyaan tentang identitasnya semakin membesar, namun setiap kali ia mencoba membicarakannya, Hana selalu memberikan jawaban yang tak pasti, seperti awan yang melayang-layang tanpa tujuan.

 

Hari itu, cuaca di luar terasa aneh. Matahari bersinar terang, tapi hawa lembap dan panas seperti tanda bahwa hujan akan segera turun. Langit berjalan pulang dari sekolah dengan langkah ringan, namun hatinya dipenuhi oleh tekad untuk mengakhiri kebingungannya.

 

Setibanya di rumah, ia melihat Hana di dapur. Kakaknya itu tampak sibuk memotong sayuran seperti biasa, tenang dalam aktivitasnya. Namun, ketenangan itu terasa tidak nyata bagi Langit, seperti sebuah topeng yang menutupi hal-hal yang lebih dalam.

 

“Kak, kita perlu bicara,” Langit memulai dengan suara tegas namun lembut.

 

Hana menghentikan gerakannya, lalu menatap Langit dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. “Ada apa, Langit?” 

 

Langit menarik napas panjang, mencoba menahan ketegangan yang sudah lama terpendam. “Aku ingin tahu tentang Mama dan Papa. Aku capek dengan jawaban yang selalu menggantung. Aku nggak bisa terus hidup dalam kebingungan seperti ini.”

 

Senyum Hana perlahan memudar. Tatapannya beralih ke pisau yang ada di tangannya, seolah mencari ketenangan dalam gerakan memotong yang terhenti. “Langit, aku sudah pernah bilang, mereka sibuk. Kita sudah bahas ini berkali-kali.”

 

“Tapi, Kak,” Langit memotong dengan nada yang lebih mendesak, “ini bukan soal mereka sibuk atau nggak. Ini soal kenyataan kalau kita nggak pernah dengar kabar dari mereka. Nggak ada surat, nggak ada telepon, apa pun selama bertahun-tahun. Nggak masuk akal!”

 

Hana meletakkan pisaunya dengan berat, seperti merasa kalah dalam perdebatan yang belum dimulai sepenuhnya. “Langit, tolong. Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas ini. Kamu harus fokus pada pameran seni kamu, bukan masalah yang...”

 

"Pameran seni?" suara Langit meninggi, penuh dengan emosi yang selama ini ia tahan. "Kamu selalu pakai alasan ini untuk menghindar! Seolah-olah semua masalah bisa ditunda. Tapi kapan, Kak? Kapan aku bisa tahu? Aku udah nggak tahan lagi!"

 

Hana menatapnya, wajahnya kini menunjukkan kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. “Langit, kamu nggak ngerti. Ada hal-hal yang kamu belum siap untuk tahu. Percayalah, aku melakukan ini untuk melindungi kamu.”

 

Langit hampir tertawa getir, namun ia hanya bisa tersenyum pahit. “Aku sudah 15 tahun! Aku sudah cukup besar untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu yang nggak mau cerita! Kamu yang selalu sembunyi di balik alasan-alasan. Aku capek, Kak!”

 

Kedua bibir Hana bergetar, matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri. "Aku nggak sembunyi. Aku cuma... nggak mau kamu terluka. Ada hal-hal yang lebih rumit daripada yang kamu pikirkan."

 

“Rumit apa, Kak?” Langit membentak, suara penuh frustrasi. "Apa yang lebih buruk dari ini? Hidupku penuh dengan kebohongan, dan kamu terus saja menghindar! Aku cuma mau kebenaran. Apa itu terlalu sulit?"

 

Hana menundukkan kepala, tangan gemetar di atas meja dapur. Suasana di ruangan itu semakin tegang, seakan hujan yang mulai turun di luar adalah cerminan dari badai yang ada di hati mereka.

 

“Aku mohon, Langit...” bisik Hana pelan. “Aku nggak bisa... Aku belum siap.”

 

"Tidak bisa, atau tidak mau?" Langit menyela dengan tajam. "Kamu selalu bilang ini demi kebaikanku, tapi aku nggak pernah merasa dilindungi. Semua ini cuma alasan, Kak."

 

Hana menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, tangis yang ia tahan selama ini akhirnya pecah, tubuhnya terguncang oleh isak yang tertahan.

 

"Selesai, Langit!" Hana berteriak tiba-tiba, memecah keheningan yang memekik di antara mereka. "Aku sudah bilang cukup! Jangan paksa aku bicara kalau aku belum siap."

 

Langit menatap kakaknya dengan rasa kecewa yang mendalam. Ia tidak lagi tahu harus berbuat apa. "Aku cuma mau tahu, Kak," katanya lirih. "Aku cuma mau tahu siapa aku sebenarnya."

 

Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan, suaranya terdengar penuh keputusasaan. “Aku melakukan ini untuk kamu, Langit. Kamu nggak ngerti beban yang aku pikul. Tolong jangan desak aku lagi!”

 

Langit berdiri terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Amarah bercampur dengan rasa putus asa menyelimuti pikirannya. Bagaimana mungkin Hana berpikir bahwa menutupi semuanya adalah bentuk perlindungan?

 

“Sampai kapan, Kak?” Langit bertanya dengan suara penuh luka. “Sampai kapan aku harus hidup dalam bayangan rahasia ini? Kamu nggak bisa terus-terusan lari.”

Lihat selengkapnya