Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #8

Kanvas 8 - Tetesan Hujan dan Harapan

Langit duduk di depan laptopnya, matanya menatap kosong ke layar yang menyala di depannya. Email yang baru ia buka adalah sesuatu yang seharusnya membawa kegembiraan. Sebuah kabar yang akan membuat siapa saja di posisinya melompat kegirangan: "Selamat, Anda diterima di Program Seni Intensif Nasional."

 

Ini adalah impian yang telah ia kejar selama bertahun-tahun, kesempatan besar yang seharusnya membuatnya merasa di puncak dunia. Tapi alih-alih perasaan lega atau bahagia, yang dirasakannya hanya kekosongan yang tak terjelaskan.

 

Di luar jendela, langit mendung menggantung rendah, seolah siap menumpahkan hujan yang sudah tertahan lama. Tetesan air mulai turun pelan-pelan, perlahan membasahi bumi seperti seringkali terjadi saat Langit tenggelam dalam pikirannya. Hujan yang lembut dan hampir tak terdengar, namun ia selalu merasakannya dengan sangat nyata. Bagi Langit, hujan seperti ini selalu menjadi pengingat tentang hal-hal yang tidak terucap, tentang rahasia-rahasia yang terus menghantui hidupnya.

 

Langit menarik napas panjang, memandang ke arah buku sketsa yang terbuka di samping laptopnya. Di dalamnya, hanya ada coretan-coretan kasar: gambar seorang anak kecil berdiri di bawah payung di tengah hujan deras, seorang perempuan berdiri sendirian di bawah langit yang gelap, dan beberapa figur yang samar-samar. Tak ada makna jelas dari gambar-gambar itu, tapi Langit tahu, semuanya berasal dari perasaan-perasaan yang tersembunyi di dalam dirinya. Setiap kali ia merasa bingung atau tersesat, tangannya akan otomatis bergerak di atas kertas, mencoba mengekspresikan apa yang tak bisa ia ucapkan.

 

Namun, kali ini, tangannya tak bisa bergerak sama sekali.

 

Perasaan sukses yang seharusnya ia rasakan dari diterimanya di program seni itu terhapus oleh rasa hampa yang semakin menggerogoti hatinya. Di tengah kesuksesannya, ada satu hal yang terus menghantuinya, yaitu ‘orang tua’. Dua kata sederhana yang menyimpan begitu banyak pertanyaan tak terjawab dalam hidupnya.

 

Beberapa bulan lalu, Hana, kakaknya, pernah memberitahunya bahwa orang tua mereka tidak pernah ingin terlibat dalam hidup mereka. Hana mengatakan bahwa mereka meninggalkan Langit dan dirinya karena merasa tidak siap untuk bertanggung jawab. Tapi, semakin Langit memikirkan alasan itu, semakin ia merasa tidak puas.

 

Selama ini, Langit telah mencoba melacak asal-usul orang tua mereka. Ia bahkan meminta bantuan teman sekelasnya, Ilham, yang ayahnya bekerja di kantor pencatatan sipil. Dengan bantuan Ilham, Langit berharap bisa menemukan jejak atau informasi tentang orang tua mereka melalui pencarian data di catatan kelahiran atau kartu keluarga. Tentang nama Amira Pratama dan Darmawan Pratama. Namun, hasilnya nihil. Nama yang Hana sebutkan sebagai orang tua mereka tidak ada dalam arsip manapun. Tidak ada jejak, tidak ada catatan, seolah-olah mereka tidak pernah ada.

 

Langit merasa seperti jatuh ke dalam lubang gelap yang semakin dalam. Jika nama yang Hana sebutkan palsu, lalu siapa sebenarnya orang tua mereka? Mengapa Hana terus menyembunyikan kebenaran? Apa yang begitu menyakitkan hingga ia tak ingin Langit tahu?

 

Langit menggelengkan kepala, mencoba mengusir semua pikiran itu dari benaknya. Ia harus fokus pada keberhasilannya. Tapi, semakin ia mencoba, semakin perasaan kosong itu tak mau pergi.

 

❀❀

 

Keesokan harinya, Langit berjalan menuju sekolah dengan perasaan yang campur aduk. Pikirannya masih dipenuhi oleh misteri tentang orang tua mereka. Di satu sisi, ia merasa berhasil karena diterima di Program Seni Intensif Nasional, namun di sisi lain, perasaan tentang asal-usulnya yang belum terjawab membuatnya sulit menikmati pencapaiannya.

 

Di kelas, Pak Adi, guru seninya yang selalu mendukungnya, menghampirinya di akhir pelajaran. "Langit, saya dengar kabar bagus! Kamu diterima di program seni itu, kan? Selamat, ya! Saya tahu kamu bisa melakukannya."

 

Langit tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak."

 

Pak Adi mengamati ekspresi Langit, jelas melihat ada sesuatu yang tidak biasa. "Kamu kelihatan kurang antusias. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

 

Langit terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus jujur atau tidak. Namun, ada sesuatu dalam cara Pak Adi menatapnya yang membuatnya merasa nyaman untuk berbicara. "Sebenarnya, saya senang, Pak, tapi... ada sesuatu yang sudah lama mengganggu saya."

 

Pak Adi menunggu dengan sabar, menatap Langit dengan penuh perhatian.

 

"Saya terus memikirkan soal orang tua saya, Pak," Langit melanjutkan dengan suara pelan. "Kakak saya bilang mereka meninggalkan kami karena tidak menginginkan kami, tapi saya sudah mencoba mencari tahu tentang mereka, dan tidak ada informasi apa pun. Saya sudah melacak nama mereka di pencatatan sipil, tapi nama yang diberikan kakak saya nggak ada dalam catatan. Seolah-olah mereka nggak pernah ada."

 

Pak Adi terdiam sejenak, lalu meletakkan tangannya di bahu Langit. "Saya mengerti kenapa itu mengganggu kamu. Mengetahui asal-usul kita memang bisa sangat penting. Tapi kamu juga harus ingat, Langit, apa yang kamu capai sekarang, dan siapa kamu sekarang, itu yang paling penting. Masa lalu bisa membentuk kita, tapi itu bukan satu-satunya hal yang menentukan siapa kita."

 

Langit mendengarkan kata-kata gurunya, tapi rasa hampa itu tetap ada. Ia mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan hilang begitu saja.

 

Lihat selengkapnya