Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #9

Kanvas 9 - Badai Di Masa Lalu

Hana menatap jendela rumah kontrakannya yang kecil dan dingin. Di luar, badai besar menggulung langit malam, petir menyambar tiada henti. Suara gemuruh menggetarkan kaca jendela, seolah seluruh dunia ikut merasakan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. Setiap kali kilat menerangi langit gelap di luar, Hana dapat melihat bayangannya sendiri terpantul di jendela: seorang perempuan muda, rapuh, dengan bayi kecil di pangkuannya.

 

Langit, bayi itu, tertidur dalam pelukannya, tapi tidurnya tidak tenang. Suara tangisnya yang pelan beberapa saat sebelumnya kini telah mereda menjadi erangan lembut, namun wajahnya yang kecil dan polos masih menyiratkan ketidaknyamanan. Hana menarik selimut tipis lebih erat ke tubuh anaknya, berusaha melindungi Langit dari hawa dingin yang seolah merayap ke seluruh ruangan.

 

Namun, dingin bukanlah satu-satunya yang merayap di dalam dirinya malam itu. Putus asa dan kemarahan telah lama mendidih di dalam dadanya, dan kini semakin tak terbendung. Hana duduk di sudut ruangan, sendirian, terjebak dalam badai yang tak hanya ada di luar, tetapi juga di dalam dirinya. Setiap sambaran petir terasa seperti ledakan emosinya, sebuah gejolak yang tidak pernah ia bisa lampiaskan kepada siapa pun.

 

Dia pernah punya mimpi. Mimpi tentang hidup yang bahagia, tentang keluarga yang harmonis. Tapi semuanya sirna begitu saja ketika ia diusir dari rumah. Sudah lebih dari setahun sejak malam kelam itu, ketika ia berdiri di ambang pintu keluarganya, memohon untuk diberi kesempatan kedua. Tapi tidak ada yang berubah, tidak ada yang datang untuk menolongnya. Dunia telah mengabaikannya.

 

"Mengapa semua ini harus terjadi padaku?" gumamnya, meski ia tahu tak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban.

 

❀❀

 

Beberapa bulan setelah diusir, Hana mencoba bertahan. Dengan perut yang semakin membesar, ia berjuang mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Namun, di usianya yang masih muda, ditambah dengan kehamilannya, tidak ada yang mau memberinya kesempatan. Berbagai pekerjaan yang dicobanya, dari mulai pelayan, penjaga toko, bahkan pekerjaan serabutan, semuanya berakhir dengan penolakan. Tatapan penuh penghinaan dari orang-orang yang melihatnya hanya membuat luka di hatinya semakin dalam.

 

"Kami membutuhkan seseorang yang lebih bisa diandalkan," kata seorang pemilik toko suatu hari, setelah mendengar bahwa Hana sedang mengandung. "Kami tidak bisa mempekerjakan seseorang yang mungkin akan sering absen karena urusan pribadi."

 

Penolakan demi penolakan menghantamnya, setiap kali dengan alasan yang sama. Hana harus berpura-pura bahwa Langit bukanlah anaknya, tetapi adiknya. Namun, meski begitu, kecurigaan tetap ada. Siapa yang akan mempercayai seorang gadis muda yang menggendong bayi, bekerja sambil mengurus adik?

 

Dan ketika Langit lahir, tantangan itu menjadi semakin berat. Bayi kecil itu membutuhkan susu, popok, dan perawatan, hal-hal yang Hana hampir tidak bisa sediakan. Setiap kali Langit menangis di malam hari, Hana merasa jiwanya teriris. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghibur anaknya selain memeluknya erat-erat, berharap bahwa cinta yang ia berikan cukup untuk menenangkan Langit.

 

Namun, Hana tahu cinta saja tidak cukup.

 

❀❀

 

Suatu sore, hujan turun deras saat Hana berlari kecil di tengah jalan, menggendong Langit yang terbungkus dalam selimut tipis. Ia mencari tempat berteduh dari hujan dan angin dingin, tetapi tidak ada tempat yang cukup terlindungi. Angin kencang menghempas tubuhnya yang lelah, sementara air mata bercampur dengan air hujan, menutupi wajahnya.

 

Di sebuah gang kecil, Hana akhirnya berhenti, memeluk Langit lebih erat. Bayi itu menangis keras, menjerit karena dingin yang menusuk kulitnya yang masih lembut. Tangannya yang kecil mencengkeram baju Hana, seolah meminta perlindungan lebih dari dunia yang tampak begitu kejam.

 

"Maafkan aku, Langit," bisiknya di tengah isakan. "Maafkan aku karena aku tidak bisa memberimu kehidupan yang lebih baik."

 

Di bawah hujan yang menghujani tubuhnya, Hana merasa benar-benar sendirian. Tak ada tempat untuk berlindung, tak ada yang bisa menolongnya. Dunia tampak begitu dingin, begitu jauh dari apa yang dulu ia bayangkan. Setiap tetes hujan yang jatuh ke tubuhnya terasa seperti cermin dari penderitaan yang ia rasakan. Ia hanya ingin berhenti, ingin menyerah. Tapi ketika ia menatap wajah kecil Langit, ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.

 

Ia harus terus bertahan. Untuk Langit.

 

❀❀

 

Hari-hari berlalu dengan kelelahan yang tak pernah berakhir. Setiap pagi, Hana bangun dengan tubuh yang terasa lebih berat daripada sebelumnya, tetapi ia tahu ia tidak bisa menyerah. Pekerjaannya sebagai pelayan di warung kecil memberikan sedikit uang, cukup untuk membeli susu dan sedikit makanan. Setidaknya, mereka tidak kelaparan, meski tidak berlebih juga.

 

Namun, setiap kali Hana memandang ke luar jendela kontrakannya yang sempit, ia melihat kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya. Keluarga-keluarga bahagia yang berjalan di taman, ibu-ibu yang tertawa sambil menggendong anak-anak mereka, pasangan-pasangan muda yang berpegangan tangan dengan penuh cinta. Dan di antara semua itu, Hana hanya bisa duduk diam, terisolasi oleh kehidupannya yang kelam.

 

Lihat selengkapnya