Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #10

Kanvas 10 - Jejak yang Tertinggal

Langit menatap lukisan-lukisan yang tersebar di lantai kamarnya, lampu meja menerangi karya-karya yang baru saja dipamerkan di seminar seni. Ia pulang dari ibukota dengan hati yang bergejolak, bukan karena pujian atau pengakuan, tetapi karena perasaan dalam diri yang masih membayangi, perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Setiap warna yang ia pilih, setiap goresan kuas di kanvas adalah upaya untuk menyalurkan segala ketidakpastian, kesedihan, dan kerinduan yang terpendam.


Ia merasa perlu untuk menuangkan semua perasaan negatifnya ke dalam seni, mengingat kembali saat-saat kelam yang membentuk dirinya. Tanpa tujuan untuk mengadakan pameran, tanpa niat untuk mendapatkan pengakuan, Langit hanya ingin melukis, sebuah bentuk terapi bagi jiwanya. Kini, di dalam kamarnya yang hening, ia menemukan tempat untuk mengekspresikan semua perasaannya yang berkecamuk.


Dengan perlahan, ia mengambil kanvas baru dan menyentuh cat biru tua. Warna ini menggambarkan kekosongan yang selalu mengikutinya, simbol dari ketiadaan orang tua yang ia rasakan sejak kecil. Saat cat mulai menyentuh permukaan kanvas, ia merasakan aliran emosi yang tidak terucapkan mulai mengalir. Setiap sapuan kuas adalah cara baginya untuk berbicara dengan dunia, meskipun ia tahu tidak ada yang akan mendengar.


Langit memejamkan mata sejenak, membiarkan ingatan mengalir. Ia teringat akan banyaknya malam yang dilalui tanpa pelukan hangat seorang ibu atau kata-kata bijak seorang ayah. Begitulah Langit memandang tentang kehadiran orang tua yang seharusnya, rasa memiliki sesuatu yang lengkap, tidak seperti hatinya yang tetap kosong. Hana, selalu berusaha keras untuk mengisi kekosongan itu, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan sosok orang tua, seperti yang dimiliki orang-orang. Dalam kesunyian kamarnya, ia menggambar bayangan samar orang tuanya, sosok yang hanya ada dalam pikiran dan harapan. Ia menyapukan kuasnya dengan penuh perasaan, menciptakan gambar yang penuh nuansa.


❀❀


Seiring waktu berlalu, lukisan pertama mulai terbentuk. Langit mengamati hasil goresannya dengan seksama. Di dalamnya, ia melihat refleksi dirinya, seorang anak yang merindukan kasih sayang dan mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak terjawab. Ia melanjutkan dengan menggabungkan warna hitam dan abu-abu, menciptakan nuansa mendung yang melambangkan perasaannya. Dalam setiap goresan, ia mengekspresikan kerinduan yang mendalam dan rasa kehilangan yang selalu menyertainya.


Langit merasakan bahwa melukis adalah pelarian terbaik. Ketika kuas menyentuh kanvas, ia bisa melupakan sejenak dunia yang penuh tekanan. Ia bisa melupakan ekspektasi yang diberikan lingkungan sekitar, tentang apa yang seharusnya ia capai atau bagaimana seharusnya ia bersikap. Di sinilah ia merasa bebas, di antara warna dan bentuk, di dalam keheningan yang hanya ditemani suara tetesan cat di kanvas.


Semakin larut, Langit mulai merasakan keinginan untuk mengungkapkan lebih banyak. Ia mengambil warna-warna cerah, menggambarkan harapan yang ia pelihara meskipun dalam keadaan sulit. Ia tahu bahwa meskipun hidupnya tidak sempurna, ada momen-momen kecil yang membawa kebahagiaan. Mengingat saat-saat bersama Hana, meskipun bukan pengalaman yang sama dengan memiliki orang tua, ia berusaha melukiskan nuansa hangat dalam karyanya.


Ia menggambarkan suasana saat mereka duduk di taman dekat rumah, mendengarkan suara burung peliharaan tetangga berkicau, atau saat mereka menikmati makanan sederhana bersama. Langit menggambarkan bagaimana kebersamaan itu memberi sedikit warna di tengah kegelapan. Setiap detail kecil menjadi penting, dan ia merasakan kebanggaan saat menciptakan lukisan-lukisan yang tidak hanya mencerminkan rasa sakit, tetapi juga harapan dan kebahagiaan.


❀❀


Sambil melukis, Langit terus berusaha menggali lebih dalam ke dalam dirinya. Ia selalu menciptakan sebuah lukisan yang menggambarkan hujan, simbol dari perasaan campur aduk yang selalu ada dalam hidupnya. Hujan, baginya, selalu menjadi refleksi dari ketenangan sekaligus kesedihan. Dalam setiap tetes air, ia melihat bayangan air mata yang tertahan, emosi yang tidak pernah bisa ia ungkapkan kepada siapapun.


Ia menggunakan cat biru dan abu-abu untuk menciptakan suasana mendung, menggambarkan langit yang gelap. Dengan sapuan kuas yang lembut, ia menambahkan detail-detail halus yang menciptakan efek tetesan air hujan. Setiap tetesan yang ia lukis adalah pengingat akan kesedihan dan kerinduan, sekaligus harapan bahwa suatu saat jawabannya akan datang. Ia merasakan kelegaan saat melihat lukisannya mulai terbentuk, setiap goresan kuas membantunya merelakan sedikit beban di hatinya.


Dengan konsentrasi penuh, ia melukis adegan di luar jendela, jalan yang basah, pohon-pohon yang melambai, dan suara hujan yang jatuh ke tanah. Ia menggambarkan bagaimana dunia di luar seolah-olah mendukung emosinya, dengan tetes air yang jatuh menjadi teman bagi jiwa yang merindukan. Dalam imajinasinya, hujan bukan hanya sekadar cuaca, tetapi sebuah kisah yang penuh makna, sebuah perjalanan yang membawa banyak perasaan, dari duka hingga harapan.


❀❀


Lukisan itu mulai membentuk gambaran yang jelas. Langit menambahkan detail tentang sosok kecil yang tampak berjalan sendirian di tengah hujan, mencerminkan dirinya yang selalu merasa terasing. Ia menyampaikan melalui karyanya bahwa meskipun ada kesedihan, ada juga keindahan dalam perjuangan. Ia menggambarkan sosok itu dengan hati-hati, memberikan perasaan seolah-olah ia terjebak di antara dua dunia, satu dunia yang dipenuhi kebisingan dan satu dunia yang sunyi.


Saat malam semakin larut, Langit merasakan ketenangan. Ia menyadari bahwa setiap lukisan adalah bagian dari proses penyembuhan. Melalui seni, ia bisa menyalurkan semua perasaannya, mengubah duka menjadi sesuatu yang lebih positif. Ia merasa seolah-olah melalui lukisan, ia bisa berbicara dengan orang tuanya, bisa mengungkapkan segala sesuatu yang tidak bisa ia sampaikan dengan kata-kata.


Lihat selengkapnya