Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #11

Kanvas 11 - Hujan Kecil Di Hari Kelam

Hujan gerimis turun pelan di luar jendela, menyentuh dedaunan dengan lembut, seolah menyelimuti malam dengan kelembutan yang menyesakkan. Aroma tanah basah merayap masuk melalui celah-celah jendela, menyatu dengan bau kayu tua yang lembap, menambah pengapnya ruangan kecil itu. Suara rintik air yang jatuh di atap genting menjadi satu-satunya musik yang mengisi setiap sudut kontrakan yang kini terasa semakin sempit.

 

Hana duduk di ujung kasur tipisnya, memeluk lututnya erat-erat, mencoba mencari kehangatan dalam dirinya yang dingin. Kamar di rumahnya yang dulu pernah dipenuhi dengan impian remajanya, kini berubah menjadi kamar kontrakan sempit yang jadi saksi bisu, dari segala rasa putus asa. Harapan-harapan yang pernah ia bangun dengan penuh keyakinan kini runtuh, berantakan bersama kenangan akan cinta yang ia kira akan miliki selamanya. Dinding yang dulu berwarna cerah, kini dipenuhi bayangan gelap, menjadi cermin dari hidupnya yang semakin tak jelas.

 

Dulu, kamar itu adalah tempatnya bermimpi, menjadi seseorang yang sukses, yang dicintai banyak orang, yang memiliki masa depan cerah. Dulu, ia adalah gadis yang penuh dengan kebahagiaan. Kamar itu sering kali dipenuhi dengan tawa teman-temannya, diskusi ringan tentang masa depan, dan kisah-kisah indah yang selalu mereka bayangkan. Namun kini, tawa itu telah hilang, tersapu oleh kenyataan yang pahit.

 

Perut Hana yang semakin membesar adalah satu-satunya hal yang nyata dalam hidupnya sekarang. Setiap kali ia merasakannya, ia diingatkan akan beratnya beban yang ia pikul. Tidak ada lagi yang peduli, tidak ada lagi yang berada di sisinya. Pria yang dulu berjanji akan selalu bersamanya, yang berkata mereka bisa menghadapi segala rintangan bersama, pergi tanpa jejak. Ia menghilang begitu saja, seperti embun pagi yang lenyap ketika matahari terbit. Bahkan keluarganya, tempat ia mengira bisa berlindung, menolaknya mentah-mentah. Mereka tidak ingin melihatnya lagi, seolah-olah ia adalah beban yang tak dapat mereka tanggung.

 

Di tengah keheningan yang mencekam, Hana merasakan tendangan kecil di dalam perutnya. Langit, anak yang akan segera lahir, bergerak lembut, seakan mencoba mengingatkan ibunya bahwa ia tidak sendirian. Namun, gerakan kecil itu justru membuat dada Hana semakin sesak. "Bisakah aku menjadi ibu yang baik?" pikirnya. "Bisakah aku melindungi anak ini, membesarkannya sendirian?" Rasa takut menyeruak dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi ibu yang baik jika dirinya sendiri dipenuhi dengan kebencian dan keputusasaan?

 

“Aku tidak bisa melakukan ini,” gumam Hana pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan yang berjatuhan di luar jendela. Suaranya bergetar, seperti jiwanya yang terombang-ambing dalam kebingungan yang tak pernah terjawab.

 

❀❀

 

Hari-hari sebelumnya terasa kabur, seperti berjalan dalam kabut tebal. Hana tidak tahu kapan tepatnya sepi ini mulai terasa tak tertahankan. Mungkin saat keluarganya menutup pintu di hadapannya. Hana masih bisa mendengar suara pintu itu tertutup dengan keras, kata-kata ayahnya yang dingin, yang menusuk lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.

 

Saat itu Hana berdiri dengan gemetar, berusaha menahan air mata yang ingin meluncur. "Ayah, aku tidak bermaksud... Aku hanya ingin menjelaskan. Ini bukan hanya tentangku; ada kehidupan yang tergantung padaku!" Suara hujannya mengalun keras di luar, seolah merasakan setiap getaran ketidakadilan dalam hatinya. Ia melihat ayahnya, wajahnya dipenuhi kekecewaan, membuatnya merasa seolah dihadapkan pada dinding dingin yang tak bisa ditembus.

 

"Tak ada penjelasan yang bisa membenarkan semua ini, Hana! Kamu sudah mencemarkan nama baik keluarga ini!" Suara ayahnya melengking, menggema dalam ruangan kecil yang terasa semakin pengap. "Kami tidak akan menerima aib seperti ini! Pintu rumah ini sudah tertutup untukmu." Setiap kata yang diucapkan seakan melukai Hana lebih dalam, seperti tetesan hujan yang menghantam atap, menciptakan suara gaduh yang mengganggu ketenangan malam. "Ayah, tolong... biarkan aku menjelaskan," desaknya, suaranya hampir tenggelam dalam deru hujan, berharap ayahnya dapat mendengar bukan hanya kata-katanya, tetapi juga rasa sakit yang mengisi ruang di antara mereka.

 

Kenangan itu menghantui Hana setiap hari. Sebelum perutnya mulai membesar, ia masih menjadi Hana yang disukai banyak orang, yang ceria, penuh semangat, selalu dikelilingi oleh teman-teman. Ada tawa dan canda yang tak pernah henti. Mereka bilang, Hana adalah "pencuri perhatian", yang membuat setiap tempat terasa lebih hidup. Ia pernah percaya bahwa dunia ada di genggamannya, dan cinta akan membawanya ke tempat yang lebih baik. Tapi semua itu hilang, secepat pria yang membawa pergi hatinya, meninggalkan Hana terpuruk dalam rasa malu.

 

Malam itu, setelah ditolak keluarganya, Hana turun dari bus di sebuah terminal yang sepi. Di bawah gerimis yang tipis, ia berjalan tanpa tujuan, sepatu-sepatunya tenggelam di genangan air, membuat setiap langkahnya semakin berat. Langit di atasnya tampak begitu tak peduli, seolah memberi tahu bahwa dunia ini tidak pernah benar-benar bersimpati. Hana berharap, mungkin, di ujung jalan ini ada seseorang yang akan menolongnya. Mungkin ada keajaiban kecil yang akan memberinya harapan. Tapi malam itu, tak ada keajaiban yang datang. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata penghiburan. Hanya dirinya dan rasa dingin yang menggerogoti hati.

 

Akhirnya, setelah berjam-jam berjalan, Hana menemukan tempat berlindung di sebuah rumah kos kecil yang murah dan tak terawat. Di sana, ia tinggal sendirian selama berbulan-bulan, mengandalkan sisa tabungannya sendiri untuk sekadar bertahan hidup. Setiap malam ia terjaga, khawatir tentang masa depannya, juga khawatir tentang anak yang sedang tumbuh di dalam perutnya. Ia sering berbicara sendiri dalam hening, seolah-olah berbicara dengan Langit yang belum lahir. "Apakah kamu akan baik-baik saja?" tanyanya dalam hati. "Bagaimana aku bisa merawatmu, jika aku sendiri terbuang?"

 

Lihat selengkapnya