Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #12

Kanvas 12 - Rintik Rintik Kenyataan

Langit duduk di tepi jendela kamarnya, pandangannya tertuju ke luar, tapi pikirannya jauh melayang. Gerimis tipis jatuh seperti tetesan waktu, tanpa henti, mengisi suasana dengan kesunyian yang menusuk. Setiap tetes hujan seolah membawa beban yang tak bisa lagi ia tahan, menumpuk di dalam hatinya. Hujan turun perlahan, tidak deras, namun konstan, seperti alunan perasaan yang tak pernah reda, menggema di dalam dirinya. Di luar, dunia tampak berjalan seperti biasa, tetapi di dalam hati Langit, badai sudah lama mengamuk, tak terbendung.

 

Dia menarik napas panjang, menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan frustasi yang semakin mendidih. Sudah berbulan-bulan sejak ia mulai merasakan ada yang aneh dengan cerita tentang orang tua mereka. Sejak itu, ketenangannya lenyap, digantikan oleh rasa cemas dan ketidakpastian. Langit merasa terjebak, seperti seekor burung dalam sangkar, tanpa jalan keluar. Hana, satu-satunya keluarganya, juga orang yang selalu menghalangi kebenaran. Setiap kali ia mendekat, Hana seolah membangun tembok baru, membuat Langit semakin sulit bernapas. Ini adalah konflik yang membuatnya semakin merasa terisolasi dan depresi.

 

Langit sering merenung. Apakah yang sebenarnya disembunyikan Hana darinya? Mengapa cerita tentang orang tua mereka selalu mengambang tanpa kepastian? Rasa cemas itu menekan dadanya setiap kali ia mencoba bertanya, dan jawaban Hana selalu menggantung, tak pernah jelas. Langit mulai merasa tercekik oleh rahasia yang tak pernah terungkap. Semakin ia menuntut penjelasan, semakin jauh Hana menarik diri, menutup diri dalam dunia yang penuh misteri.

 

❀❀

 

Beberapa hari yang lalu, di sekolah, Langit duduk di kantin sendirian, memandangi teman-temannya dari jauh. Mereka tertawa, bercanda, dan berbicara tentang liburan bersama keluarga mereka dengan mudah. Bagi Langit, semuanya terasa asing. Keluarga? Apa yang ia tahu tentang itu? Setiap kali mendengar kata itu, rasanya seperti duri kecil yang menusuknya, mengingatkannya bahwa ada bagian dari hidupnya yang tidak pernah ia pahami. Hana adalah satu-satunya yang ia miliki, namun bahkan Hana pun menyimpan sesuatu darinya.

 

"Langit, kenapa diam aja?" tanya Dika, salah satu teman sekelasnya yang duduk di seberang meja.

 

Langit tersentak dari lamunannya, menyadari bahwa ia sudah terlalu lama tenggelam dalam pikiran. "Enggak, cuma lagi kepikiran aja," jawabnya dengan nada yang datar, tanpa benar-benar menjelaskan apa yang ia pikirkan. Hatinya terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tidak bisa ia bagi dengan siapa pun.

 

Dika mengerutkan kening, menatap Langit dengan pandangan prihatin. "Akhir-akhir ini kamu sering banget keliatan kayak lagi mikir keras. Ada apa?"

 

Langit mencoba tersenyum, meskipun senyuman itu terasa dipaksakan. "Aku baik-baik aja, kok. Cuma tugas sekolah yang numpuk."

 

Dika tampak masih curiga, namun ia memilih untuk tidak mendesak lebih lanjut. "Kalau ada apa-apa, cerita aja ya. Kita semua teman."

 

Langit hanya mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa membantu. Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan obrolan ringan atau nasihat dari teman. Ini adalah masalah yang hanya bisa diselesaikan antara dirinya dan Hana, namun setiap kali ia mendekati Hana, ia hanya menemukan lebih banyak dinding penghalang.

 

❀❀

 

Malam itu, setelah pulang dari sekolah, Langit duduk di meja belajarnya. Tumpukan tugas yang menunggu untuk dikerjakan seolah tidak berarti di hadapannya. Pikirannya terlalu bising, terlalu penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Hari-hari terakhir ini membuatnya semakin sulit tidur. Setiap malam, Langit terbangun dengan pikiran tentang orang tua mereka yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang salah, dan dia tahu itu. Tapi apa? Dan mengapa Hana begitu keras menolak membicarakannya?

 

Dia mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. "Aku tidak bisa terus seperti ini," gumamnya pada dirinya sendiri. Rasa lelah sudah mulai mengambil alih, baik secara mental maupun fisik. Langit merasa seolah ia terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung, berputar tanpa henti. Hana sudah terlalu lama menyembunyikan sesuatu darinya, dan sekarang, ia merasa bahwa saatnya telah tiba untuk mencari tahu kebenaran. Dia harus tahu, apapun risikonya.

 

Langit memandang keluar jendela. Hujan masih turun, lembut namun tanpa henti. Tetesan air yang jatuh dari atap menciptakan irama monoton yang menyatu dengan pikirannya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan. Setiap tetes hujan adalah pertanyaan yang belum terjawab, dan Langit merasa semakin terperangkap dalam kebingungan yang tak kunjung mereda.

 

"Aku harus bertanya lagi," pikirnya, meskipun ia tahu bahwa menanyakan hal ini lagi bisa memicu kemarahan Hana. Tapi ia tidak bisa lagi menahan perasaan ini sendirian. Rahasia ini sudah terlalu lama disembunyikan di bawah permukaan, dan semakin lama ia membiarkannya, semakin besar rasa sakit yang ia rasakan.

 

❀❀

 

Saat makan malam tiba, Hana sibuk di dapur, menyiapkan makanan seperti biasa. Langit duduk di meja makan, memperhatikan kakaknya dengan diam-diam. Ada sesuatu yang berbeda malam itu, sesuatu yang hampir tak terlihat, namun jelas terasa. Hana tampak tenang, namun Langit merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Seperti selalu, ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Suasana makan malam yang dulunya hangat dan penuh canda kini terasa dingin dan penuh rahasia.

 

Ketika Hana akhirnya duduk di seberang meja, ia tersenyum lembut pada Langit. "Gimana sekolahnya?" tanyanya, suaranya ringan namun terasa ada sesuatu yang tertahan.

 

Langit menunduk, memandangi nasi goreng di depannya, pikirannya sudah jauh dari pertanyaan itu. Ia tahu, jika ia terus menunda, kecurigaan ini hanya akan semakin membengkak. Hari ini adalah saatnya untuk bertanya.

 

"Hana," Langit akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.

 

Lihat selengkapnya