Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #13

Kanvas 13 - Hujan yang Turun Pertama Kali

Hana duduk di tepi tempat tidurnya dengan pikiran yang berkecamuk. Hujan baru turun lagi, setelah cuaca kering beberapa bulan, untuk membasahi bumi dengan dingin. Di tangannya, sebuah test pack, benda kecil yang begitu sederhana namun memiliki kekuatan untuk mengubah seluruh hidupnya. Dua garis merah jelas terlihat di sana, dan seakan-akan waktu berhenti, Hana tak bisa berpaling dari kenyataan yang kini terpapar di hadapannya.

 

Dunia Hana mendadak terasa sempit. Ia terdiam dalam ketakutan, merenungi segala kemungkinan yang akan datang. Perutnya belum terlihat membesar, tetapi dalam beberapa bulan, kenyataan ini akan sulit disembunyikan. Kehamilan ini bukan sesuatu yang direncanakan. Bukan sesuatu yang ia impikan di usia yang masih muda, ketika masa depan seharusnya penuh dengan kesempatan dan kebebasan. Namun, kenyataan berbicara lain, ia sedang mengandung.

 

Hana merasa mual, tapi kali ini bukan karena efek kehamilan, melainkan karena ketakutan yang menyelimuti hatinya. Dua garis merah itu bagaikan takdir yang tertulis dengan tinta yang tak bisa dihapus. Di luar, hujan semakin deras, seolah langit turut menangis bersamanya, menambah beban yang sudah ia rasakan di dalam dada.

 

❀❀

 

Beberapa hari sebelumnya, Hana telah merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya. Dia mengira itu hanya kelelahan akibat rutinitas sekolah yang padat. Namun, ketika siklus bulanannya terlambat, kecurigaan mulai tumbuh di benaknya. Kekhawatiran kecil itu semakin menguat dari hari ke hari, sampai akhirnya ia membeli test pack untuk memastikan.

 

Dan sekarang, di malam yang penuh hujan ini, jawaban itu tiba. Jawaban yang tak pernah ia inginkan, tetapi tidak bisa ia tolak. Hana hamil.

 

Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tetapi rasanya sulit. Pikirannya melayang jauh, tentang keluarganya, tentang masa depan yang mungkin akan hilang, dan tentang pria itu. Sosok yang kini terasa semakin jauh, kabur dalam ingatannya, namun begitu nyata dalam hidupnya. Pria yang pernah memberinya janji-janji manis, janji yang membuat Hana percaya bahwa masa depan mereka bersama akan indah. Namun, janji-janji itu hilang begitu saja, meninggalkannya dalam kesendirian dan ketidakpastian.

 

Hana meremas ujung selimut di tangannya, memejamkan mata sejenak, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi, ketika ia membuka matanya, dua garis merah itu masih ada, tetap di sana, tidak berubah. Denyut kehidupan yang ada di dalam tubuhnya kini menjadi satu-satunya kenyataan yang pasti. Sosok pria itu tak lagi penting sekarang, keputusan ada di tangannya.

 

❀❀

 

Langit malam itu gelap, tanpa bintang, hanya hujan yang terus mengguyur tanpa henti. Hana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang kecil, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Setiap langkahnya terasa berat, seperti membawa seluruh dunia di atas pundaknya. Kehidupannya berubah dalam sekejap mata, dan kini ia harus menghadapi kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

 

"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Hana pada dirinya sendiri. Pikirannya berputar tanpa arah. Haruskah ia memberi tahu keluarganya? Haruskah ia menyimpan rahasia ini lebih lama? Tapi seberapa lama ia bisa menyembunyikan kebenaran ini?

 

Ayahnya selalu menekankan pentingnya menjaga nama baik keluarga, dan Hana tahu apa yang akan terjadi jika mereka mengetahui hal ini. Ayahnya akan marah, kecewa, mungkin bahkan akan mengusirnya dari rumah.

 

Ibunya? Hana tidak yakin bagaimana ibunya akan bereaksi. Mungkin ibunya akan menangis, mungkin akan memohon kepada ayahnya agar Hana diberi kesempatan kedua, tapi pada akhirnya, keputusan ayahnya akan menjadi yang terakhir. Dan Hana tahu, keputusannya tidak akan berpihak padanya.

 

❀❀

 

Malam terus berjalan, namun Hana belum bisa tidur. Pikirannya terus dihantui oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Ia duduk di sudut kamarnya, memeluk lututnya, merasa sangat kecil di dunia yang semakin terasa mencekiknya. Hatinya ingin menangis, tapi air mata tak kunjung keluar.

 

Setiap kali ia memejamkan mata, ia membayangkan wajah orang tuanya saat mereka mengetahui hal ini. Wajah ayahnya yang marah, ibunya yang penuh dengan kesedihan. Mungkin mereka akan merasa terkhianati, merasa bahwa anak perempuan yang mereka banggakan kini telah membuat kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.

 

Tapi ada bagian lain dari dirinya yang menolak semua pemikiran itu. Sebagai seorang ibu, meskipun belum sepenuhnya menyadari perannya, Hana sudah merasakan ikatan dengan anak yang sedang ia kandung. Anak ini tak bersalah. Ia tidak pernah meminta dilahirkan, tapi sekarang sudah ada di sana, di dalam tubuhnya, menunggu untuk menjadi bagian dari dunia.

 

Dan meskipun Hana tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya, meskipun ia tahu bahwa ia mungkin akan kehilangan keluarganya, ia tidak bisa menyerah pada kehidupan yang sedang ia bawa. Dia tidak bisa menyingkirkan Langit, tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja dengan cara yang menghapus keberadaan anak itu.

 

❀❀

 

Hana tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena pertemuan sederhana di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Hari itu, hujan turun rintik-rintik sepulang sekolah, dan ia memutuskan untuk berteduh sambil menikmati secangkir teh hangat. Saat itulah dia melihat Daru, pria yang kemudian membuat hatinya melambung.

 

Daru, dengan senyumnya yang mudah memikat, terlihat begitu ramah saat menawarkan tempat duduk di sebelahnya. Penampilannya sederhana namun penuh percaya diri, kemeja flanel yang sedikit kusut, rambut cokelat yang sedikit acak-acakan, dan sikap yang santai. Tapi yang paling menonjol dari Daru adalah caranya berbicara, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa tulus, seolah-olah ia benar-benar peduli pada apa yang sedang Hana katakan, meskipun saat itu percakapan mereka hanyalah tentang buku yang sedang ia baca.

 

Daru adalah mahasiswa seni rupa yang penuh gairah. Ia bercerita tentang dunia seni dengan mata yang berbinar-binar, dan caranya memandang hidup penuh dengan kebebasan yang membuat Hana merasa nyaman. “Seni itu seperti hujan,” katanya saat mereka berbincang. “Kadang deras, kadang gerimis, tapi selalu membawa perubahan.”

 

Hana terpesona. Daru adalah jenis pria yang membuatnya merasa bahwa hidup lebih dari sekadar rutinitas harian. Ia adalah kebebasan yang selama ini dicari Hana. Ketika Daru mulai mengajaknya jalan-jalan sore, atau sekadar duduk berdua di taman sambil berbicara tentang impian-impian masa depan, Hana merasa bahwa ia akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengerti dirinya lebih dalam daripada orang lain.

 

Hubungan mereka semakin dekat. Setiap pertemuan selalu membawa tawa dan rasa nyaman. Daru selalu tahu bagaimana membuat Hana merasa istimewa. Dia akan membawakan bunga kecil yang dipetik dari pinggir jalan, atau melukiskan wajah Hana di secarik kertas dan menyerahkannya dengan senyuman manis. Dia bukan pria sempurna, tapi bagi Hana, Daru adalah segalanya.

 

Hana jatuh cinta, terlalu dalam, begitu dalam hingga ia tidak berpikir dua kali ketika Daru mulai menginginkan lebih dari sekadar pegangan tangan, dengan jari-jari mereka yang saling berpelukan. Malam itu, di bawah naungan bintang-bintang yang bersinar redup, mereka berbagi lebih dari sekadar kata-kata. “Aku mencintaimu, Hana,” bisik Daru di telinganya, membuat Hana merasa bahwa semua yang mereka lakukan adalah bagian dari kisah cinta yang sempurna.

 

❀❀

Lihat selengkapnya