Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #14

Kanvas 14 - Langit yang Mulai Terbuka

Langit memandang ke luar jendela kamarnya, menatap langit abu-abu yang diguyur hujan gerimis tanpa henti. Setiap tetesan air yang membasahi kaca jendela terasa seperti pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, menggantung di udara tanpa kejelasan. Di dalam hatinya, ada kekosongan yang semakin hari semakin besar, diiringi oleh rasa curiga yang tidak bisa ia abaikan.

 

Saat kecil, Langit selalu mempercayai cerita Hana. Orang tua mereka bekerja di luar kota, sibuk dengan urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tidak ada telepon, tidak ada surat, tidak ada kabar apa pun selama bertahun-tahun. Dulu, Langit menerima cerita itu tanpa bertanya. Hana adalah satu-satunya sosok yang melindunginya sejak kecil, mengurus segala keperluan hidup mereka. Bagaimana bisa Langit meragukan satu-satunya orang yang ada untuknya?


Namun kini, semakin dewasa, Langit mulai merasakan ada yang tidak beres. Cerita Hana tidak lagi terasa masuk akal. Sudah 15 tahun berlalu, dan Langit merasa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang Hana sembunyikan darinya. Setiap kali ia bertanya tentang orang tua mereka, Hana selalu menghindar. Jawaban-jawabannya semakin mengambang, dan Langit merasa ada dinding tak kasat mata yang semakin tinggi di antara mereka.


Di tengah keheningan malam itu, ingatan Langit berputar ke masa kecilnya, masa-masa di mana segalanya terasa lebih sederhana. Ia ingat saat Hana membawanya berjalan-jalan di taman kecil di dekat rumah, ketika mereka duduk di bangku taman, tertawa bersama. Hana selalu memastikan Langit merasa bahagia, selalu menjaga agar ia tidak merasa kehilangan apa pun. Bahkan ketika teman-temannya bertanya tentang orang tua mereka, Hana selalu punya jawaban yang membuat Langit merasa aman.


"Papa sama Mama sedang bekerja jauh," kata Hana saat itu, senyum hangat menghiasi wajahnya. "Tapi mereka selalu cinta sama kita, selalu memikirkan kita."


Langit, yang masih kecil, mempercayai kata-kata itu tanpa ragu. Setiap kali ia merasa rindu pada orang tuanya, Hana selalu ada di sampingnya, memberikan rasa aman yang menenangkan. Tapi sekarang, kenangan itu terasa jauh, hampir seperti mimpi. Langit tidak bisa lagi mengabaikan perasaan bahwa ada yang tidak beres.


Suara hujan yang menetes di luar jendela mengisi kesunyian kamar. Langit berusaha memfokuskan pikirannya. Ia sudah terlalu lama hidup dalam bayangan kebohongan, dan kini saatnya mencari kebenaran. Ia tahu, di balik senyum Hana, ada sesuatu yang lebih besar, rahasia yang selama ini disimpan rapat-rapat.


Hari itu, setelah pulang sekolah, Langit memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota. Ia sudah mencoba mencari di internet, mengetik nama-nama orang tuanya, tetapi hasilnya selalu nihil. Namun, pencarian ini tidak bisa berhenti di situ saja. Langit membuka laptopnya dan mencoba pendekatan baru, menggunakan media sosial untuk mencari informasi. Ia mulai bergabung dengan beberapa grup online yang khusus membahas keluarga yang hilang atau terpisah.


Di salah satu grup, ia memposting pesan singkat: "Saya mencari informasi tentang orang tua saya, Amira dan Darmawan Pratama. Sudah lebih dari 15 tahun mereka tidak ada kabar. Jika ada yang mengenal mereka, mohon hubungi saya."


Langit menunggu, berharap seseorang merespons. Dia tahu ini mungkin jalan panjang, tetapi setidaknya ini adalah usaha yang lebih aktif daripada hanya menunggu. Ketika tidak ada tanggapan yang langsung, Langit mulai menelusuri lebih dalam. Ia mencari nama orang tua mereka di berbagai platform, mulai dari media sosial hingga forum-forum diskusi keluarga hilang. Namun, seperti pencarian sebelumnya, hasilnya selalu nihil.


Frustrasi mulai membebani dirinya. "Mengapa tidak ada jejak sama sekali?" pikir Langit, merasa semakin putus asa. Orang tuanya tidak mungkin hilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Rasa penasaran semakin membara di hatinya. Ada yang tidak benar, dan Hana adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya.


Tiba-tiba, di tengah pencariannya yang tak membuahkan hasil, sebuah ingatan samar muncul dalam benaknya, ada sebuah momen kecil yang mungkin bisa menjadi petunjuk baru. Langit ingat pernah melihat sebuah amplop coklat di lemari Hana beberapa tahun lalu, amplop yang terlihat ketika tidak sengaja melihat Hana sedang merapikan lemarinya yang terbuka lebar, tetapi saat itu ia tidak terlalu memerhatikannya. 


Saat pertama kali menemukan album foto di lemari Hana, Langit baru ingat kalau ia tidak melihat amplop itu. Hana selalu mengunci lemarinya, bahkan tidak pernah dengan sengaja membukanya, jika jika di dekatnya ada Langit. Namun Langit tahu kuncinya ada di dalam rak kayu, di samping kasur Hana. Amplop itu mungkin bisa memberi jawaban, atau setidaknya petunjuk yang lebih jelas.

 

❀❀

 

Sepulang dari perpustakaan, Langit tidak langsung bertanya kepada Hana tentang amplop itu. Hubungan mereka sudah terlalu tegang, dan ia tidak ingin memperparah situasi. Tapi di dalam hatinya, Langit tahu bahwa ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. Kebenaran harus ditemukan, meskipun itu berarti akan ada konflik yang tidak bisa dihindari.

 

Saat sampai di rumah, Hana sedang duduk di meja makan, seperti biasanya. Wajahnya terlihat lelah, lebih lelah dari yang biasa ia lihat. Langit berdiri sejenak di ambang pintu, memperhatikan kakaknya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, Hana adalah satu-satunya orang yang ia miliki, tetapi di sisi lain, Langit merasa semakin terisolasi dari kakaknya. Ada dinding tak kasat mata yang semakin hari semakin tinggi di antara mereka.

 

Langit mencoba sekali lagi dengan cara halus, “Hana,” panggil Langit dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian kakaknya. Hana mengangkat wajahnya, tersenyum tipis, namun senyum itu terlihat begitu dipaksakan.

 

“Ada apa, Langit?” tanya Hana lembut, tapi Langit bisa merasakan ketegangan di balik suaranya.

 

Langit duduk di depan Hana, merasa ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Beri tahu aku lebih banyak tentang Papa-Mama.”

 

Seketika, raut wajah Hana berubah. Senyum yang tadi ia paksakan langsung menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin dan tertutup. Langit bisa merasakan atmosfer yang berubah. Hana menunduk sejenak, menghindari tatapan Langit. “Langit...” Hana menghela napas panjang, suaranya terdengar berat. “Aku cuma ingin kamu tenang. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

 

Jawaban itu terdengar begitu kosong. Hana kembali menunduk, dan kali ini Langit bisa melihat mata kakaknya berkaca-kaca. Tapi meskipun begitu, Hana tetap tidak mengatakan apa pun. Dia tetap diam, seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar daripada rasa sayang yang ia miliki untuk Langit. Sesuatu yang terlalu berat untuk diungkapkan.

 

Langit berdiri dari kursinya dengan perasaan kecewa yang mendalam. Kata-kata Hana tidak memberi jawaban, hanya semakin menambah rasa putus asa di hatinya. Dia tahu, ia tidak akan mendapatkan jawaban yang ia cari malam ini.

 

“Aku akan cari tahu sendiri, kalau begitu,” kata Langit sebelum berbalik dan pergi ke kamarnya. Hana tidak berusaha menghentikannya, dan itu yang membuat Langit semakin yakin bahwa ada sesuatu yang sangat besar sedang disembunyikan darinya.

 

❀❀

Lihat selengkapnya