Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #15

Kanvas 15 - Badai Di Bawah Langit

Hana berdiri di tepi jalan dengan tubuh gemetar. Udara dingin menusuk kulitnya, dan rintik hujan yang semakin deras perlahan membasahi pakaian tipis yang ia kenakan. Badai besar baru saja dimulai, namun badai yang sebenarnya telah menghancurkan hidupnya sejak beberapa jam lalu, sejak ia dipaksa meninggalkan rumah, keluarganya, dan seluruh hidup yang pernah ia kenal.

 

Di belakangnya, rumah yang dulu ia sebut sebagai tempat berlindung sudah tidak lagi terasa seperti rumah. Hana menatap pintu depan rumah itu untuk terakhir kalinya, berharap ada keajaiban, berharap ayahnya akan berubah pikiran dan memanggilnya kembali. Tapi pintu itu tetap tertutup rapat. Tidak ada yang mengejarnya, tidak ada yang mencoba menghentikannya.

 

Hana menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Tadi, ketika ia berdiri di ambang pintu, hatinya hancur melihat ayahnya menatapnya dengan mata penuh amarah dan kebencian. Kata-kata ayahnya masih terngiang di telinganya, seperti cambuk yang menyayat hatinya.

 

"Kamu sudah mempermalukan keluarga ini, Hana!" teriak ayahnya dengan wajah memerah. "Pergi! Kamu tidak pantas tinggal di sini lagi!"

 

Hana masih ingat betapa pedihnya kata-kata itu. Setiap suku kata menusuk hatinya seperti pisau, merobek-robek semua harapan yang ia miliki. Ia berharap ibunya akan membelanya, tapi ibunya hanya berdiri di sudut ruangan, diam dengan tatapan penuh kesedihan. Wajah ibunya pucat, dan mata mereka bertemu sejenak, penuh dengan rasa tidak berdaya. Namun, ibunya tetap tidak bergerak.

 

Ibunya tidak berani menentang ayahnya. Hana tahu itu. Ibunya tidak pernah bisa menentang apapun yang ayah katakan. Tapi diamnya sang ibu terasa lebih menyakitkan daripada teriakan sang ayah. Karena di balik diamnya itu, Hana melihat rasa sayang, yang disembunyikan di bawah lapisan ketakutan. Hana tahu ibunya tidak ingin ia pergi, tetapi ia juga tahu bahwa ibunya terlalu takut untuk melakukan apapun. Jadi, ibunya hanya bisa berdiri diam, menyaksikan putrinya diusir dari rumah tanpa bisa melakukan apa-apa.

 

Dengan berat hati, Hana melangkah menjauh dari rumah itu. Setiap langkah terasa seperti melangkah semakin jauh dari kehidupan yang pernah ia kenal. Hujan mulai turun deras, seiring dengan hatinya yang semakin remuk.

 

❀❀

 

Malam itu, Hana tidak tahu ke mana harus pergi. Dengan tas kecil yang tergantung di punggungnya, ia hanya berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalan-jalan kota yang basah oleh hujan. Badai di langit seolah-olah mencerminkan badai di dalam dirinya, yang membawa keputusasaan, keterasingan, dan ketakutan.

 

Hana menemukan dirinya di sebuah taman kecil, tempat yang dulu sering ia kunjungi ketika ingin menyendiri. Di sana, di bawah pohon besar yang daunnya rimbun, Hana berhenti sejenak, menatap langit yang hitam dan dipenuhi petir. Kilatan petir yang menyambar-nyambar di langit seperti cerminan dari pikirannya yang kalut.

 

Ia duduk di bangku taman, merasakan angin kencang yang membawa dingin menembus tubuhnya. Hujan masih deras, tetapi ia tidak peduli. Hujan itu adalah satu-satunya hal yang menemaninya sekarang. Dia sendirian di dunia ini, dengan bayi yang tumbuh di dalam tubuhnya, dan tidak ada yang peduli. Tidak ada yang akan membantunya.

 

"Aku harus bertahan," gumam Hana pada dirinya sendiri, meskipun kata-kata itu terdengar kosong. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan sendirian? Bagaimana mungkin ia bisa merawat bayi yang akan lahir tanpa dukungan dari siapa pun?

 

❀❀

 

Namun, di tengah semua rasa sakit dan kebingungan itu, ada sesuatu yang membuat Hana tetap bertahan, sesuatu yang ia rasakan di dalam tubuhnya, yang semakin hari semakin nyata. Bayi itu. Hana merasakan kehadirannya setiap kali ia meraba perutnya yang semakin membesar. Setiap tendangan kecil, setiap gerakan lembut di dalam rahimnya, memberi Hana alasan untuk terus hidup.

 

Meskipun ia merasa terasing dan tak berdaya, Hana mulai merasakan ikatan yang kuat dengan bayi itu. Bayi yang belum ia kenal, bayi yang belum pernah ia lihat, tetapi bayi yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia mulai berbicara kepada bayi itu dalam keheningan malam, seolah-olah bayi itu bisa mendengarnya.

 

“Aku tahu, aku bukan ibu yang baik,” bisiknya suatu malam, ketika ia terbaring sendirian di kamar. Hujan deras mengguyur jendela di luar, menciptakan melodi kesedihan yang terus-menerus. "Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi kamu harus tahu, aku akan melakukan apa pun untukmu."

 

Lihat selengkapnya