Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #17

Kanvas 17 - Hujan yang Terpecah

Hana merebahkan dirinya di ranjang rumah sakit yang dingin. Tubuhnya terasa begitu lelah, seperti telah kehilangan semua energi yang tersisa setelah berjam-jam melalui proses persalinan. Di luar, hujan deras terus mengguyur, menampar jendela dan menyapu jalanan dengan keras. Suara gemuruh hujan mengisi ruangan kecil itu, memberikan suasana yang tenang sekaligus penuh beban. Tapi di tengah-tengah semua itu, ada sebuah keajaiban kecil yang terjadi.

 

Langit kecil, bayinya yang baru lahir, mendekap erat dalam pelukannya. Tangisan yang awalnya nyaring kini mulai mereda, berubah menjadi desahan kecil yang menenangkan. Hana menatap wajah mungil anak itu, dengan mata yang tertutup dan kulit yang masih merah. Sejenak, segala rasa sakit yang tadi ia alami lenyap ketika melihat wajah polos itu.

 

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada luka yang dalam mengoyak hati Hana. Ia merasa terputus dari dunia, dari keluarganya, dari orang-orang yang seharusnya bersamanya di momen penting ini. Tak ada seorang pun di sisinya kecuali ibunya yang datang tanpa sepengetahuan ayahnya. Ibunya hanya bisa menemani sesaat, sebelum pergi lagi dengan tatapan penuh sesal, meninggalkannya sendiri dalam kesunyian.

 

Di luar, hujan terus menghantam bumi dengan intensitas yang tak berkurang, seperti cerminan dari badai emosi yang berkecamuk dalam diri Hana. Ia teringat saat pertama kali menyadari bahwa dirinya hamil. Saat itu, perutnya sudah membuncit, dan rasa takut mulai menghantui setiap langkahnya. Bagaimana mungkin ia bisa membesarkan seorang anak? Bagaimana mungkin ia bisa menjadi seorang ibu di usianya yang masih muda, tanpa dukungan apa pun?

 

“Aku tidak bisa melakukan ini sendirian...” gumamnya pelan saat itu, namun kata-kata itu bergema kembali di dalam kepalanya sekarang, di ruangan sunyi yang hanya diisi oleh suara hujan. Tapi di tengah rasa putus asanya, ia tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan lain.

 

❀❀

 

Enam bulan sebelum kelahiran Langit, Hana mengalami salah satu momen terberat dalam hidupnya. Konfrontasi dengan ayahnya terjadi dalam suasana yang penuh dengan amarah dan kebencian.

 

Saat itu dalam sudut pandang ayahnya…

Aku berdiri di ruang tamu kecil yang penuh ketegangan, menatap putriku, Hana, yang bergetar di hadapanku. Matanya memancarkan ketakutan dan penyesalan, dan di dalam diriku, kemarahan membara. "Apa yang sudah kamu lakukan, Hana?" suaraku menggema di seluruh ruangan, menyentuh dinding yang seolah-olah menyerap semua emosi ini. "Kamu mencemarkan nama keluarga ini! Kamu pikir apa? Apa kamu sadar apa yang sudah kamu perbuat?"

 

Melihatnya berdiri di depanku dengan perut yang semakin membesar, hatiku terasa hancur. Kesalahan ini, kesalahan yang tak terhapus, membuatku merasa seolah semua harapan untuk keluarga ini terhapus begitu saja. Aku ingin ia mengerti betapa dalamnya luka yang ia buat. Tapi saat ia berusaha menjelaskan, suaranya terdengar seakan-akan terjebak di tenggorokan, menambah kemarahan dan rasa sakit di hatiku.

 

Ibunya berdiri di dekat pintu, wajahnya penuh dengan kesedihan, namun tak berani melawan. Dalam hatiku, aku merindukan sosoknya yang selalu mendukungku, tapi saat ini, aku merasa terjebak di antara cinta dan tanggung jawab. "Keluar dari rumah ini, Hana!" teriakku, dan rasanya seperti palu menghantam telinga kami berdua. Kata-kata itu menggigit dan menyayat hatiku. "Kamu bukan lagi anakku!" 

 

Lihatlah, aku tak bisa melawan rasa sakit yang mengalir di antara kami. Saat air mata Hana mulai mengalir, aku merasakan perasaan bersalah yang mendalam. Aku tahu, mungkin ini bukan cara terbaik untuk menghadapi situasi ini, tetapi emosiku meluap tak terkontrol. Dan saat ia mulai mengemas barang-barangnya, kesunyian yang menyakitkan memenuhi ruangan

Hana berharap ibunya akan berbicara, tetapi ia hanya berdiri diam, seolah merelakan sesuatu yang tak bisa diputar kembali.

 

Saat Hana melangkah keluar dari rumah itu, hujan mulai turun. Aku melihatnya melangkah pergi, dan rasa sepi menghantui pikiranku. Hujan itu seperti tangisan dari alam, seolah-olah dunia ikut merasakan kesedihanku, kesedihan karena kehilangan anakku, dan kesedihan karena gagal menjadi ayah yang ia butuhkan.

 

Hana menunduk, air mata yang sudah sejak tadi tertahan kini mengalir dengan deras. Ia sudah mengira ini akan terjadi. Ia tahu bahwa mungkin keluarganya tidak akan bisa menerima kenyataan bahwa ia hamil di luar nikah. Namun, mendengar kata-kata itu secara langsung tetap menghancurkannya.

 

Ibunya tetap tidak mengatakan apa-apa saat Hana mengemas barang-barangnya. Hanya ada kesunyian yang menyakitkan di antara mereka. Dan ketika Hana melangkah keluar dari rumah itu, hujan mulai turun. Hujan yang seolah menegaskan bahwa dunia juga ikut menangis bersamanya.

 

❀❀

 

Enam bulan telah berlalu sejak hari itu. Setengah tahun penuh dengan kesepian, ketidakpastian, dan rasa putus asa yang tak terhindarkan. Hari-hari pertama setelah diusir dari rumah adalah yang terberat bagi Hana. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tidak tahu harus melakukan apa. Ia beruntung bisa menemukan tempat berlindung di sebuah kos kecil yang disewakan oleh seorang wanita tua pemilik warung dengan murah hati. Tapi bahkan dengan tempat berlindung, Hana merasa terasing dari dunia.

 

Hidup Hana terasa seperti badai tanpa akhir, dengan hujan yang terus mengguyur, memukul-mukul jiwanya dengan kejam. Tidak ada dukungan dari keluarganya, tidak ada pasangan yang bisa membantunya melalui masa-masa sulit ini. Ia benar-benar sendirian.

 

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang membuatnya terus bertahan, bayinya. Langit yang menggenggam jari telunjuknya, memberikan Hana kekuatan untuk bertahan hidup meskipun di dalam situasi yang begitu sulit. Ia tidak tahu bagaimana caranya akan membesarkan Langit, tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah.

 

❀❀

 

Malam hari itu, di kamar rumah sakit yang sepi, Hana kembali menatap bayinya. Tangis kecil Langit telah berhenti, digantikan oleh dengkuran halus yang membuat Hana merasa damai untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Bayinya tampak begitu polos, begitu tak berdosa, sebuah kehidupan baru yang tidak terpengaruh oleh segala keruwetan dan kegetiran dunia di sekitarnya.

 

Namun, dalam keheningan itu, ada rasa sakit yang tidak bisa Hana abaikan. Setiap kali ia melihat wajah kecil Langit, ia diingatkan akan segala hal yang telah hilang. Masa mudanya, keluarganya, impiannya, semua telah lenyap dalam sekejap, digantikan oleh kenyataan yang jauh lebih sulit daripada yang pernah ia bayangkan.

 

Saat itu, pikiran Hana melayang ke masa depan. Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini pada Langit? Bagaimana ia akan memberitahunya tentang siapa ayahnya, tentang apa yang terjadi padanya? Rasa bersalah mulai merayap ke dalam dirinya. Ia tahu, pada suatu saat, Langit akan mulai bertanya. Dan ketika saat itu tiba, Hana tidak yakin bahwa ia akan bisa memberikan jawaban yang benar.

 

Lihat selengkapnya