Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #18

Kanvas 18 - Badai Dalam Hati

Langit berdiri mematung di depan jendela kamarnya. Di luar, hujan turun deras disertai gelegar petir yang menggelegar, seolah-olah langit marah. Setiap tetes air yang menghantam genting rumah seperti mewakili perasaan kacau yang berkecamuk di dalam dirinya. Seolah-olah seluruh dunia ikut runtuh bersama kenyataan yang baru saja ia temukan. Amplop berisi dokumen yang ia temukan di lemari Hana masih tergenggam erat di tangannya, bukti-bukti tak terbantahkan bahwa kehidupannya tidak seperti yang ia kira selama ini.

 

Bukan sekadar curiga lagi.

 

Selama bertahun-tahun, ia merasakan ada yang tidak benar, ada yang disembunyikan, tetapi ia tidak pernah membayangkan kebohongan sebesar ini. Hana bukan kakaknya, tapi ibunya. Kebenaran itu seolah menghantam jiwanya seperti badai, membuat segala yang selama ini ia percaya runtuh dalam sekejap.

 

Bagaimana bisa? Kenapa selama ini Hana tidak pernah berkata jujur? Kenapa Hana terus membiarkannya hidup dalam kebohongan, seolah-olah semuanya baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi?

 

Langit berjalan bolak-balik di kamarnya, mencoba meredakan amarah dan kebingungan yang membuncah di dadanya. Tapi semakin ia berusaha tenang, semakin jelas semua kebohongan itu di hadapannya. Selama ini, Hana memanggil dirinya ‘kakak’, tetapi kenyataannya berbeda. Semua yang ia ketahui tentang hidupnya, tentang keluarga mereka, adalah dusta.

 

Ia mendudukkan diri di tepi tempat tidur, masih memegang amplop kusam yang ia temukan. Perlahan dua jarinya membuka tutup amplop itu keatas, membuat beberapa dokumen mulai terlihat dari luar, seakan menantang Langit untuk mengambilnya. Terdapat akta kelahiran. Di sana tertulis jelas: Nama anak: Langit Pratama. Tak ada nama ayah, hanya ruang kosong yang membuat kenyataan ini semakin pahit. Sebuah foto kecil yang terlipat di salah satu sudut dokumen itu juga memperkuat kebenaran yang baru saja ia temukan.

 

Foto itu memperlihatkan Hana yang masih muda, memangku bayi yang baru lahir, Langit. Wajah Hana begitu lelah namun bahagia, seolah-olah ia baru saja melewati perjuangan besar. Langit tidak pernah melihat foto ini sebelumnya. Senyum Hana di foto itu berbeda dari senyum yang biasa ia lihat sekarang. Senyum itu membawa kebahagiaan yang sejati, tetapi juga mengandung sesuatu yang Langit tidak bisa artikan, entah rasa sakit atau penyesalan.

 

Namun, yang paling menghancurkannya adalah buku catatan kecil, yang ia temukan tersembunyi di antara dokumen-dokumen lainnya. Buku itu berisi catatan rutin tentang perkembangan kehamilan, mulai dari bulan pertama hingga menjelang kelahiran. Di sana tertulis dengan jelas nama "Hana Pratama" sebagai ibu. Setiap halaman buku itu berisi detail yang memperkuat kebenaran bahwa Hana pernah mengandung, bahkan melahirkan.

 

Langit tertegun menatap buku catatan itu. Kata-kata terasa semakin berat untuk ia ucapkan, seperti sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. Kenapa Hana melakukan ini? Kenapa ia tidak pernah memberitahu? Mungkinkah?

 

Ia menutup buku itu perlahan, meletakkannya di atas kasur di sampingnya. Badai di luar semakin menderu-deru, petir sesekali menyambar di kejauhan, membuat malam itu terasa semakin mencekam. Di dalam dirinya, ada badai yang lebih besar lagi. Badai emosi yang tidak bisa ia kendalikan. Marah, bingung, terluka. Semua perasaan itu berbaur menjadi satu dan membuatnya merasa seperti ingin meledak. Hana, orang yang paling ia percaya di dunia ini, telah mengkhianatinya.

 

❀❀

 

Tanpa berpikir panjang, Langit berdiri dari tempat tidurnya dan berlari keluar kamar. Ia tidak tahu apa yang ingin ia lakukan, tetapi hatinya memintanya untuk keluar dari rumah ini. Keluar dari segala kebohongan yang selama ini melingkupinya.

 

Saat ia keluar dari rumah, hujan deras langsung menyambutnya. Hujan turun begitu lebat hingga hampir menutup pandangannya, tetapi Langit tidak peduli. Ia terus berlari, membiarkan hujan menghantam wajah dan tubuhnya, membasahi bajunya hingga basah kuyup. Setiap tetes hujan terasa seperti jarum tajam yang menembus kulitnya, tetapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

 

Langit terus berlari tanpa tujuan. Ia ingin melarikan diri dari segalanya. Dari kebohongan, dari kebenaran yang baru saja ia temukan, dari semua perasaan yang membebani dirinya. Namun, ke mana pun ia berlari, kebenaran itu tetap mengejarnya. Kebenaran bahwa Hana adalah ibunya.

 

Selama ini, ia hidup dalam kebohongan.

 

Di tengah jalan yang gelap dan basah oleh hujan, Langit akhirnya berhenti berlari. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar. Ia menunduk, membiarkan air hujan mengalir di wajahnya, menutupi air mata yang tanpa sadar telah jatuh. Semua yang selama ini ia percayai hancur. Selama ini, ia mengira bahwa ia tahu siapa dirinya, bahwa ia tahu siapa keluarganya, tetapi kenyataannya tidak seperti itu.

 

Bagaimana ia bisa mempercayai Hana lagi?

Lihat selengkapnya