Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #19

Kanvas 19 - Hujan yang Membawa Jawaban

Malam sudah larut, tapi waktu terasa seperti berhenti bagi Hana. Dia duduk di ruang tamu dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah setiap detik yang berlalu menambahkan beban di pundaknya. Langit sudah tahu semuanya sekarang. Rahasia yang ia simpan bertahun-tahun akhirnya terungkap dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bisa merasakan bahwa hubungan mereka, yang dulu terasa begitu kuat, kini tergantung di ujung benang. Di luar, hujan yang tadinya deras perlahan mereda, tapi di dalam rumah kecil itu, badai masih bergemuruh di hati mereka.

 

Langit tidak ada di depannya saat ini, tapi ia tahu Langit akan kembali.. Badai besar diluar sudah berlalu, tetapi luka-luka yang mereka tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Hana memeluk dirinya sendiri, berusaha meredakan dingin yang merambat dari dalam dirinya. Dingin yang datang dari penyesalan, dari kebohongan yang akhirnya membalikkan dunia yang sudah ia bangun dengan begitu hati-hati.

 

“Aku tidak ingin menyakitimu, Langit,” bisik Hana dalam hatinya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti cermin yang retak, menampilkan kepingan-kepingan kejujuran yang tak pernah mampu ia ungkapkan sebelumnya.

 

❀❀

 

Dari depan pintu, Langit berjalan dengan terburu-buru masuk ke kamarnya sambil menutup pintu rapat-rapat. Tangannya kembali dengan mencengkeram dan mengepal, tanda bahwa segala hal yang ia yakini selama ini malah meruntuhkan dunianya, yang bahkan seni pun tak bisa mengalihkan itu. Hana bukan kakaknya. Wanita yang selama ini ia anggap sebagai pelindung, teman terbaik, dan satu-satunya keluarganya ternyata adalah ibunya.

 

Ada rasa marah yang mendidih di dadanya, tetapi juga rasa hancur yang membuat segalanya semakin kacau. Beberapa jam yang lalu Langit memandang ke arah dokumen di tangannya, yang berisi akta kelahiran, buku kehamilan dengan nama Hana Pratama tercetak di atasnya. Dan foto-foto kecil yang dilihatnya dengan cara yang berbeda, setelah mengetahui bahwa Hana adalah ibu kandungnya.

 

Langit berdebat dengan pikirannya sendiri,, seolah seluruh fondasi hidupnya pun bergoyang. “Kenapa?” pikirnya. Kenapa selama ini Hana menyembunyikan kebenaran ini? Tapi apakah aku pantas meninggalkan orang yang sudah menjagaku dengan baik? Tapi kenapa ia tega? Tapi mengapa sekuat itu ia menjaga kebohongan ini? Semua kebohongan yang ia yakini selama ini, semua cerita tentang orang tua mereka, kini hancur berantakan.

 

Di luar, hujan mulai menurun intensitasnya. Tetes-tetes air yang tersisa jatuh perlahan dari atap, menciptakan ritme yang menenangkan. Tetapi di dalam hati Langit, badai belum juga mereda. Amarah dan rasa sakit masih berputar-putar, seperti angin kencang yang tidak menemukan jalan keluar.

 

❀❀

 

Hana masih duduk di ruang tamu ketika Langit tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar, wajahnya masih basah oleh air mata yang bercampur dengan sisa hujan. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat waktu terasa berhenti. Hana bisa merasakan napasnya tertahan, tubuhnya kaku. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, semuanya akan berubah malam ini.

 

Langit berdiri di sana, diam tapi penuh dengan perasaan yang tak terungkap. Ia berusaha keras untuk menenangkan pikirannya, tapi setiap kali ia mencoba, amarah dan kebingungan itu kembali menyeruak. Hana melihat putranya, tidak lagi sebagai seorang anak kecil yang ia lindungi, tetapi sebagai seorang pemuda yang dipenuhi oleh luka yang belum bisa ia sembuhkan.

 

Wajah Langit memerah, bukan hanya karena hujan, tapi juga karena perasaan yang menggelegak di dalam dirinya.

 

“Kenapa kamu bohong padaku?” suara Langit pecah. “Kenapa selama ini kamu bilang kalau kita ditinggalkan oleh orang tua? Kenapa kamu bilang kamu kakakku?”

 

Air mata yang Hana tahan selama bertahun-tahun mulai merembes keluar. “Aku... aku takut, Langit. Aku takut kamu akan membenciku, disaat semua orang menghujatmu karena tau siapa ibumu.”

 

Langit menelan ludah, mencoba mengendalikan amarah yang mulai mereda tapi masih tersisa. “Benci? Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang, Hana... Atau... apakah aku harus memanggilmu... Mama?”

 

Kata “Mama” terasa asing di bibir Langit, seperti sesuatu yang tidak seharusnya ia ucapkan. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa Hana adalah ibunya. Bukan kakaknya, tapi wanita yang melahirkannya, yang berjuang sendirian untuk membesarkannya. Dan semua kebohongan ini, meski menyakitkan, dilakukan karena Hana ingin melindunginya.

 

Hana terisak, tubuhnya gemetar. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku seharusnya jujur sejak awal, tapi... aku takut. Takut kamu akan melihatku dengan rasa malu. Takut kamu akan merasa bahwa kamu tidak diinginkan karena aku hamil di luar nikah.”

 

Langit terdiam. Kalimat itu begitu berat, tapi untuk pertama kalinya ia merasakan kebenaran di balik setiap kata yang keluar dari mulut Hana. Dia bisa melihat wanita itu bukan lagi sebagai kakaknya yang selalu kuat dan tegar, tapi sebagai seorang ibu muda yang dulu ditinggalkan, dihakimi, dan dihukum oleh dunia. Seorang ibu yang harus berjuang sendirian di tengah badai.

 

“Langit,” Hana melanjutkan, suara dan air matanya bercampur menjadi satu, “aku tahu aku membuat kesalahan besar. Aku berbohong padamu, tapi aku melakukannya karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin kamu tumbuh tanpa rasa malu, tanpa merasa bahwa kamu tidak diinginkan. Kamu adalah segalanya bagiku. Setiap detik, aku berdoa agar aku bisa menjadi ibu yang baik untukmu, bahkan jika itu berarti aku harus menjadi kakakmu.”

 

Langit duduk di kursi kayu di hadapan Hana, masih diam, masih berusaha mencerna segalanya. Amarahnya belum sepenuhnya hilang, tapi perlahan, ia mulai melihat sesuatu yang berbeda. Semua kebohongan ini, semua rahasia yang Hana simpan, dilakukan karena cinta.

 

“Kenapa kamu tidak pernah bilang yang sebenarnya, bahkan ketika aku sudah cukup dewasa untuk mengerti?” Langit bertanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

 

Hana menatap putranya dengan tatapan penuh rasa sakit dan penyesalan. “Aku tidak tahu bagaimana caranya, Langit. Setiap kali aku ingin mengatakannya, aku terlalu takut. Semakin lama aku menunda, semakin sulit rasanya untuk mengungkapkan semuanya. Aku tahu suatu hari kamu akan tahu... tapi aku tidak siap kehilanganmu. Aku tidak siap jika kamu membenciku karena semua ini.”

 

Langit menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Hana menembus hatinya, meresap perlahan-lahan ke dalam pikirannya yang masih kacau. Dia masih merasakan sakit dan kebingungan, tapi sekarang ada sesuatu yang lebih kuat dari itu, yaitu pemahaman. Dia mulai melihat Hana tidak lagi sebagai sosok pembohong, tapi sebagai seseorang yang hancur oleh keadaan, yang membuat keputusan-keputusan sulit karena ia tidak tahu cara lain.

 

Malam itu terasa begitu sunyi, meski detak jantung mereka terasa begitu keras. Hana menatap Langit, berusaha membaca setiap perubahan di wajah putranya. Di dalam hatinya, ia takut Langit akan pergi, meninggalkan dirinya karena semua kebohongan yang ia ciptakan. Tapi ia juga tahu, apapun yang terjadi, semuanya sekarang tergantung pada Langit.

 

Lihat selengkapnya