Rahasia yang Dibawa Hujan

Syahreza Pahlevi
Chapter #20

Kanvas 20 - Hujan yang Berhenti (End)

Beberapa tahun telah berlalu sejak badai terakhir dalam hidup Langit dan Hana. Dalam periode waktu itu, hubungan mereka perlahan-lahan membaik. Tidak mudah, tentu saja. Luka-luka dari kebohongan panjang itu tidak serta-merta sembuh hanya karena kebenaran sudah terungkap. Tetapi Hana, dengan penuh kesabaran, berdiri di samping Langit, menunggunya untuk menerima kenyataan dan memaafkannya.

 

Hari demi hari, hubungan mereka semakin kuat. Langit tak lagi memandang Hana dengan amarah atau kebingungan. Meskipun kata "Mama" terasa berat di awal, perlahan-lahan kata itu menjadi hal yang wajar. Semakin sering diucapkan, semakin terasa alami.

 

Namun, ada sesuatu yang lebih besar yang menanti mereka di masa depan. Sebuah pertemuan yang belum pernah mereka bayangkan akan terjadi tepat di hari senin, tanggal 17 November.

 

Hujan tipis mulai turun ketika Langit dan Hana tiba di galeri seni. Hari ini adalah hari besar, hari yang tidak pernah dibayangkan oleh keduanya akan terjadi. Langit telah mendapatkan kesempatan untuk pameran pertamanya, dan meskipun perasaan di hatinya masih ada sedikit residu tentang masa lalunya, ini adalah saat di mana ia bisa mengekspresikan lebih perasaannya, melalui karya seni. Hana berdiri di sampingnya, mendukungnya seperti biasa, tetapi kali ini dengan rasa keterbukaan yang baru.

 

Pameran ini istimewa. Bukan hanya karena Langit akhirnya bisa memamerkan karyanya kepada dunia, tetapi juga karena Hana memintanya untuk membuat undangan khusus bagi seseorang. Hana meminta Langit untuk mencantumkan penerima berisi nama yang sudah lama tidak ia dengar. "Darmawan dan Amira Permana." Nama orang tua Hana. Bukan Pratama, seperti yang selalu Hana katakan pada Langit, dan seperti nama belakangnya.

 

Ketika Langit mendengar nama itu, ada sesuatu yang aneh bergolak dalam dirinya. Nama "Permana" adalah nama yang asing, sebuah fakta yang Hana sembunyikan di bawah timbunan kebohongan selama bertahun-tahun. Nama itu mencuat ke permukaan, membuka lagi luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Langit sudah mengetahui kenyataan yang besar tentang dirinya, tetapi undangan ini membawa lapisan baru yang akan mempertemukannya dengan asal-usul yang belum pernah ia temui sebelumnya.


 ❀❀


Sementara itu, di tempat lain, seorang pria tua duduk di kursi rodanya, menatap undangan yang baru saja diterima. Permana, ayah Hana, memandangi nama yang tertera di atas undangan itu, dengan tatapan yang penuh kesedihan dan penyesalan. Oleh "Langit Pratama," begitu nama pengirimnya tertulis. Nama yang sedikit asing, namun intuisinya masih kuat, tentang dari mana undangan itu berasal. Sebuah kehidupan yang hilang dari genggamannya bertahun-tahun yang lalu. Dia tidak tahu siapa Langit itu awalnya, tapi ia tahu ada sesuatu yang akrab dalam nama tersebut.

 

Istrinya, ibu Hana, duduk di sampingnya, diam, tapi pandangannya penuh arti. "Kita harus pergi," katanya pelan, tapi tegas.

 

Permana terdiam, menatap istrinya dengan ragu. Hatinya yang selama ini keras dan dingin mulai melunak seiring bertambahnya usia. Waktu, dan mungkin juga penyesalan, telah mengubahnya. Dia tahu undangan ini bukan sekadar kebetulan. Itu adalah panggilan dari masa lalu yang tidak bisa lagi ia hindari. Masa lalu yang ia kira sudah lama terkubur, hingga hari ini.

 

❀❀

 

Di galeri, Langit berdiri di depan lukisan-lukisannya, mengamati para pengunjung yang datang dan mengagumi karyanya. Hatinya penuh dengan rasa bangga dan cemas sekaligus. Hana berdiri di sampingnya, menyaksikan setiap orang yang lewat, berhenti, lalu tersenyum dengan kekaguman pada karya putranya. Langit telah menjadi seniman yang hebat. Karyanya menggambarkan perjalanan hidup yang dalam, namun halus. Setiap goresan kuas yang ia buat adalah penggambaran dari perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

 

Hana menoleh ke arah pintu, dan detik itu, napasnya seakan terhenti. Di sana, tampak dua sosok yang tak pernah ia kira akan datang. Ayahnya, Permana, duduk di kursi roda, didorong oleh ibunya. Wajah mereka terlihat menua, lebih dari perkiraannya, dalam kurun waktu 19 tahun. Perasaan campur aduk menguasai Hana, ada keterkejutan, ada kepedihan, tapi juga ada harapan yang tak ia duga. Ini adalah pertemuan yang selama ini ia hindari. Tetapi sekarang, mereka di sini, di tengah semua karya Langit yang penuh makna.

 

Langit belum menyadari kehadiran mereka, terlalu sibuk berbicara dengan beberapa pengunjung yang memuji lukisannya. Begitupun dengan orang tua Hana, tak akan mudah mengenali Hana diantara ratusan manusia yang ada disana. Tetapi Hana tahu, momen ini akan datang, momen di mana masa lalunya dan masa depan Langit akan bersinggungan.

 

❀❀

 

Di sudut galeri, Permana terhenti di depan tiga lukisan yang berbaris seperti memiliki hubungan satu sama lain, tampak mencuri perhatiannya. Lukisan-lukisan itu sederhana, tapi memiliki daya tarik yang mendalam, seperti cerita yang menunggu untuk dibaca.

 

Lukisan pertama menampilkan siluet seorang wanita muda yang sedang hamil. Warna abu-abu tua mendominasi latar belakang, menambah kesan suram dan penuh tekanan. Di depannya, dua sosok yang lebih tua tampak memarahi dan membentaknya. Siluet wanita itu terlihat putus asa, tertunduk di bawah bayang-bayang mereka.

 

Permana menatap lukisan itu dengan cemas. Sosok-sosok di dalam lukisan itu, meski tidak memiliki wajah yang jelas, tampak begitu familiar. Dia merasa itu seperti cerminan dirinya dan istrinya bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka menolak kehamilan Hana. Penolakan yang kini menghantui dirinya setiap malam.

 

Lukisan kedua membuat hatinya semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Siluet wanita hamil itu terlihat sedang berjalan menjauh dari sebuah rumah, yang pintunya tertutup rapat. Di latar belakang, hujan deras membasahi seluruh jalanan, dan wanita itu melangkah sendirian di tengah hujan, meninggalkan segala yang ia kenal. Warna abu-abu muda mulai muncul di lukisan ini, tapi tetap dengan nuansa kelam yang menyelimuti.

 

Permana bisa merasakan bahwa lukisan itu menggambarkan momen ketika Hana pergi dari rumah, membawa anak yang ia kandung tanpa dukungan dari keluarganya. Air matanya mulai menggenang, tapi ia menahannya. Dia tahu ia tidak bisa mundur sekarang. Dia sudah terlalu jauh di dalam penyesalan ini.

 

Lukisan ketiga adalah yang paling menyentuh hati Permana. Di dalamnya, ada seorang wanita muda, masih di bawah hujan, tapi kali ini tidak sendirian. Di sampingnya ada seorang anak kecil, keduanya tertawa bersama di bawah hujan. Warna abu-abu yang suram mulai memudar, digantikan oleh warna-warna cerah yang meliputi sebagian besar kanvas. Keceriaan dan cinta terpancar dari lukisan ini, seolah-olah momen kelam di masa lalu akhirnya mulai menemukan cahayanya.

 

Permana terdiam. Dalam sekejap, ia tahu siapa wanita dalam lukisan itu. Dan ia mungkin tahu siapa anak kecil itu. Lukisan ini adalah kehidupan yang ia tolak bertahun-tahun yang lalu. Kehidupan yang kini berdiri di hadapannya, menunggu untuk diakui.

 

❀❀

 

Hana melangkah perlahan ke arah mereka. Dia bisa melihat ibunya yang menatap lukisan-lukisan itu dengan mata yang penuh air mata, dan ayahnya yang terdiam, tertunduk di kursi roda. Mereka berdua tahu. Mereka berdua mengerti.

 

Lihat selengkapnya