Hari itu, Risa mengundurkan diri. Ia tidak hanya berhenti bekerja sebagai asisten Rhino, tetapi juga keluar dari perusahaan yang didirikan oleh Rhino bersama dua orang rekannya tersebut.
Rhino tak terkejut dengan keputusan Risa. Siapa yang tak kecewa dan marah, jika diperlakukan seperti itu? Apalagi, Rhino sudah mengucapkan janji yang telah membuat hati gadis itu berbunga-bunga.
Rhino berpikir untuk mengunjungi Risa di rumahnya lusa. Atau bahkan minggu depan. Yang pasti, tidak hari ini. Sebab, Risa pasti akan langsung mengusirnya.
Di benak Rhino, terbayang wajah bayi yang Rhino beri nama Rizka. Putrinya dengan Rena tersebut menjadi alasan utama, mengapa Rhino meninggalkan Risa. Bukan hanya karena Rhino merasa bahwa sudah saatnya Rhino mencurahkan seluruh hidupnya demi Rizka, melainkan juga karena Rhino mengkhawatirkan nasib Rizka.
Bagaimana jika perbuatan Rhino terhadap Risa, kelak berpengaruh pada hidup Rizka? Bagaimana jika putrinya bertemu dengan pria seperti Rhino yang memanfaatkannya saja, lalu meninggalkannya tanpa bertanggung jawab lebih lanjut? Meskipun konon karma itu tidak ada, Rhino tetap merasa cemas akan nasib putrinya di masa depan.
Oleh sebab itu, Rhino mengambil keputusan untuk meninggalkan Risa. Ia juga sedang memikirkan bagaimana caranya bertanggung jawab atas kehidupan Risa tanpa perlu mengorbankan keluarganya, terutama Rizka.
Dering ponsel membuyarkan kekalutan pikiran Rhino yang sedang menyelesaikan sebuah gambar kerja. Ternyata panggilan video dari istrinya, Rena. Rhino sudah bisa menduga, untuk apa Rena menghubunginya pada jam kerja seperti ini.
“Assalamu alaikum, Pa. Ini, Rizka mau ketemu Papa ….”
“Wa alaikum salam. Rizka, sayang? Ini Papa. Rizka lagi ngapain?”
“Rizka habis mimik, Pa. Eh, nguap Rizka-nya. Sudah kenyang, sih.”
Rhino melambaikan tangan pada putrinya yang tampak mengantuk karena kekenyangan. Lupa bahwa di jemarinya, terselip sebatang rokok yang menyala. Rena rupanya melihat paku kematian itu, lalu menegur dengan wajah kecewa.