Sinta, Teratai-ku ....
Kabar itu sekarang sudah ada. Kabar yang sudah lama kunanti-nanti, kabar yang tak pernah berani aku tanyakan langsung kepadamu. Sahabatku, Tan Napas, benar saat mencibirku malam itu, saat pungguk dan bulan semakin jauh dan angin seperti disusun dari puing-puing tangisan. Ia bilang, seberani apa pun aku terhadap apa dan siapa pun (dan sesungguhnya untuk semua tetek bengek ini aku telah teruji) tetap saja aku selalu takut menanyakan status apakah kamu sudah bersuami, apakah single but not available, apakah available ...?
Kamu sudah tahu dari suratku sebelumnya, Sinta, siang bolong itu Surpanaka tergopoh-gopoh menyampaikan kabar bahwa ia memergokimu bersama lelaki tampan yang dadanya bidang, berpedang, dan berperisai. Belah dagunya rupawan dan rambutnya menyentuh bahu.
Kalimat Surpanaka terbata-bata. Kembang kempis dada adikku yang kusayang itu. Napasnya memburu.
Siang bolong itu, Sinta, sebetulnya, kalau mau jujur, harus kuakui, darahku terkesiap. Gambaran Surpanaka tentang perempuan berambut legam kemilau dekat teratai di alam Hutan Dandaka tak jauh beda dari perempuan yang sudah lama sekali kuberi nama Sinta di alam khayalku.
Khayalan. Khayalan. Walau masih selalu samar-samar, apakah di dalam khayalan itu sudah ada napas, hati, dan air matamu, Sinta? Sampai kapan khayalan itu masih selalu tinggal bersamaku? Apakah sampai langit menjadi tua bersamaku, yang untuk merayakan ulang tahunku perlu kupadamkan ribuan lilin? Biarlah angin dan burung pungguk yang akan membahasnya, betapa setiap saat aku dan khayalanku tentang dirimu tinggal dalam keberduaan yang tak usai-usai.
O, Surpanaka ....
O, Sinta ....
Bila lelaki yang melindungi Sinta dengan pedang-perisai itu masih didampingi oleh lelaki lain yang tak kalah samapta jasmaninya, tak kalah kinclong pula pedang dan perisainya, akan semakin benarlah penuturan Resi Agastya kepadaku suatu saat. Ya, lelaki berkemilau pedang dan perisai itu tentulah Rama. Pendampingnya bernama Lesmana.
Putra Dewa Laut Baruna, Resi Agastya, yang baru saja bercokol di depanku dengan cahaya tanpa umpama tiba-tiba melenyap saat itu. Aku cuma masih mengingat wajahnya, campuran antara wajah Pak Plato si tukang sayur dari dusun kami Akar Chakra, dan Pak Aristoteles si tukang sayur dari Dusun Chakra Hati, di Kabupaten Prana.
Pada wajah Resi Agastya yang berjubah kuning kecokelatan aku pun cuma ingat ada campuran wajah-wajah Ronggowarsito, Ki Ageng Suryomentaram dan Sosrokartono, para filsuf Nusantara yang oleh saudaraku Mutmainah dijadikan nama-nama bunga bakung di barat sangkar prenjak di rumah kami. Aku mengingat semua wajah itu muncul bersama cahaya dan mengingat kata-kata Resi Agastya tentang Rama. Namun, secepat kilat ia meniada, menjadi ada yang tiada. Sementara Surpanaka alias Sarpakenaka terus-menerus meyakinkan aku bahwa ....
O, maaf, Sinta ... maaf. Yang kuceritakan sejak tadi maksudku Supiah, bukan Sarpakenaka.
Kamu sudah tahu, adik kesayanganku ini Supiah namanya. Ya, Supiah. Semoga kamu masih mengingatnya, sebagaimana kamu akan mengingat saudaraku lainnya: Amarah, Lawwamah, dan Mutmainah. Raksasa perempuan berkuku panjang Sarpakenaka hanyalah tokoh Ramayana idolanya, sebagaimana Amarah mengidolakan Rahwana dan, aduh, menyangka aku sendirilah Rahwana itu.
Aku yakin kamu masih mengingat Supiah, Sinta. Nama itu begitu menarik perhatianmu ketimbang nama-nama saudaraku lainnya. Sebelum kunjungan pertamamu ke rumah kami, kamu bertanya, “Apakah ada hal yang spesifik tentang Supiah? Misalnya, lebih baik aku bawakan dia oleh-oleh wine atau roti?”
Kamu ingat itu, kan, Sinta?
Supiah tak suka wine. Ia pun tak suka roti. Ia lebih suka persenggamaan. Kepada Supiah dahulu aku sering mendongeng bahwa kota-kota dan rimba raya tipis bedanya, lebih tipis daripada roti komuni suci. Mereka hampir sama dan sebangun. Di kota, pohon-pohonnya hanya berupa beton. Tajuk dan sulur-sulurnya hanya berupa ragam arsitektur puncak-puncak pencakar langit dan jalan-jalan rayanya yang menjulur kian kemari bagai tentakel-tentakel gurita. Liananya lelampuan yang meliuk-liuk. Benalu dan cendawannya payung-payung perempuan saat gerimis menunggu bus kota. Demikianlah Bangkok. Demikianlah New York, Tokyo, Paris, New Delhi, Macau ... dan kota-kota dunia lainnya.
Bisa jadi, Sinta, Supiah pecandu warna kuning ini memergoki perempuan ayu itu di Singapura, tetapi dibayangkannya sebagai Rimba Dandaka dan di alam khayalku perempuan itu tak lain adalah dirimu.
Bila bukan dirimu, itu malah mustahil. Tak ada alasan itu bukan dirimu bila kurunut satu per satu detail-detail wajah yang digambarkan oleh Supiah: seseorang dengan ceruk mata perempuan India ras Arya dan perempuan-perempuan Italia Utara, sedikit ceruk mata perempuan Jawa di sana sini, perempuan yang kadang Inggris-nya beraksen Thailand, tapi juga fasih berbahasa Arab ....
Ah, Sinta, sudahlah .... Hmmm ... pikiranku, kok, jadi terlampau ke mana-mana, ya? Mungkin karena aku belum sarapan .... Heuheuheu ....
Baiklah, kamu apa kabar, Sinta?
Kalau soal kabarku sendiri, hmmm .... Ini aku sedang di taksi. Ada musik radio di sana. Lagu Jepang tahun ‘60-an. Judulnya .... Hmmm .... “Ue o Muite Arukou”.
Kepanjangan, ya, judulnya? Susah juga diucapkan, ya?
Mungkin karena itu bule-bule menggantinya dengan judul “Sukiyaki”. Hmmm .... Ya, ini aku sedang di taksi. Irama dan melodi lagu kami sangat riang. Tumit sesiapa yang mendengarnya akan mudah berjingkat-jingkat walau konon syair aslinya tentang kesedihan yang berlarat-larat. Di Eropa dan Amerika, rekaman bahasa Inggris lagu yang aslinya dibawakan oleh Kyu Sakamoto ini juga berversi-versi. Banyak juga yang ....
Hoi, Sinta!!! Kamu sedang apa, Teratai-ku? Jangan dahulu mengerjakan apa pun. Baca dahulu suratku ini.
Cobalah kini turut mendengar, Sinta, sopirku lelaki setengah baya bertopi koboi mulai menimpali lagu itu. Kamu turut mendengar, kan? Lirik bahasa Jepang dari radio ia timpali dengan lirik bahasa Inggris yang entah versi siapa:
I’ll take my Sukiyaki
And made my Sukiyaki
The only Queen to be seen in old Nagasaki
And from our home
We will never roam
When I make Sukiyaki mine ....
Hmmm ... terdengar aneh. Aku sendiri menimpali suara bahasa Jepang radio SW di ibu kota Mahkota Chakra ini dengan lirik Inggris yang entah versi siapa juga, tapi dahulu kudengar kali pertama dari Pak Rianam, guru Fisika SMP-ku:
It’s all because of you
I’m feeling sad and blue
You went away
Now my life is just a rainy day
I love you so