Kamu belum membalas suratku, Sinta. Sudah tujuh purnama kalau tak salah.
No problemo.
Harapanku, kamu masih belum melupakan aku. Kamu hanya masih sibuk mendampingi suamimu ke pacuan kuda, ke pesta-pesta rekanan bisnisnya, dan sebagainya. Kamu hanya masih repot mendampingi seseorang yang bagai ... hmmm ... bagai samudra ... walaupun cuma buih. Heuheuheu .... Eh, keliru, ya, walaupun buih, tapi samudra. Buihnya Rama. Samudranya Wisnu.
Itu tentu bukan sinisme, bukan cemooh, apalagi sarkasme, Sinta. Hmmm .... Meski mungkin ada juga unsur itunya, sih. Mungkin. Ya, mungkin sekali. Sangat bisa jadi. Aduh!
Sinta,
Saudaraku, Mutmainah, bilang bahwa sesungguhnya di lubuk hatiku yang terdalam aku sudah tak punya rasa kaget, rasa senang, rasa benci, suka dan duka, dan lain-lain. Tapi, toh di hatiku yang paling permukaan rasa kaget itu wajar andai masih ada dan berkecamuk ketika Supiah mengabariku bahwa kamu sudah menjadi istri orang.
Tahu, kan, kamu? Ya, Mutmainah itu saudaraku yang getol warna putih dan meditasinya selalu hadap ke barat di ambang pintu rumahku. Percakapan dengan Mutmainah bukan jenis obrolan yang bisa diucapkan dengan lantang. Sering kali kami malah memperbincangkannya dengan rasa khawatir akan dikuping oleh yang belum berhak.
Mutmainah bilang bahwa pada lapis terdalam hatiku, pada sang Aku, sudah tak kurasakan apa-apa lagi. Sudah tak kurasakan bagaimana-bagaimana. Tak kurasakan mengapa-mengapa. Rasa di mana dan rasa kapan juga tak ada. Andai ada pun telah meniada, menjadi ada yang tiada. Tapi di lapis terluar hatiku?
Pada qasrun, pada lapis hati paling permukaan itu, jujur aku masih jatuh-bangun menata diri tatkala menjumpai kabar dari Supiah bahwa ternyata kamu sudah seorang garwa, sigaraning nyawa seorang suami. Kamu telah menjadi belahan jiwa dari yang bukan aku. Bah! Aku meradang! Meraung dan meradang!
Hmmm .... Tidak.
Sekarang, Sinta, mari aku mencoba memasuki lapis hatiku yang lebih ke dalam dari qasrun ke shadrun ke qalbu ke fuad ke syaqaf ke lubbun ke sirrun ....
Tampaknya, soal buih-samudra ataupun sebaliknya soal samudra-buih tadi tak benar-benar kuarahkan sebagai sinisme. Apalagi sarkasme. Heuheuheu ....
Mungkin semua itu kuceritakan terdorong oleh kenangan akan dirimu yang datang bertubi-tubi kemarin. Saat itu hujan mulai turun. Airnya mengempas-empas diombang-ambingkan angin. Kelembapan udara terasa kian mendesak dan menyesakkan. Serasa hidupku lapis demi lapis menyongsong ajal. Pada saat Perang Troya barangkali suasananya juga seperti itu. Bila betul perumpamaanku, tentu bisa kamu bayangkan betapa menyedihkan di tengah hujan anak-anak panah, Helen menyaksikan kematian mengancam Paris lapis demi lapis.
O, ya, soal lapis demi lapis hati itu Gus Candra Malik, sahabatku, pernah membuat kiasan menarik. Dalam penglihatan, ibaratnya qasrun itu kelopak mata, shadrun itu selaput putih mata, qalbu itu mata, fuad itu pupil mata, syaqaf itu lensa mata, lubbun itu retina, dan sirrun adalah penglihatan itu sendiri. Ketika penglihatan berlangsung, yang terjadi sesungguhnya adalah memulangkan cahaya pada asalnya.
Muasal. Memulangkan ke asalnya. Itulah sebabnya, mungkin, di Raja Ampat aku pernah bilang kepadamu, Sinta, akulah mata air dari air matamu kelak bila kamu rindu muasal sepi. Saat itu kita berdekapan di danau raksasa yang kalau dari udara seperti tajuk beringin. Pulau-pulau kecil di tengahnya bergunduk-gunduk seperti jamur. Angin membuat rambut gaya French Braid-mu jadi berantakan. Aku yang kamu minta menatanya ulang. Berkali-kali kamu tunjukkan kepadaku cara mengelabang rambutmu menjadi tiga jalinan. Aku lebih tertarik untuk mengelus-elus rambut itu ketimbang berpikir keras bagaimana sisi kiri rambut disilang menjadi sisi tengah, lalu gantian sisi kanan rambut disilang menjadi sisi tengah, hingga yang di awal sebagai sisi tengah rambut kini menjadi kalau tak di sisi kanan, ya, sisi kiri. Haaah .... Lebih baik aku lepas lagi ikatan rambutmu, lalu kudekap kamu dalam T-shirt setrip hitam-putih pada gerimis di antara jamur-jamur itu.
Mungkinkah, Sinta .... Hmmm .... Mungkinkah tadi di awal surat ini sejatinya aku sedang memulangkan perkara buih dan samudra pada asal semua ini?
Sinta, ah, Sinta ....
Mungkin juga tadi aku cuma sedang mengingat-ingat suatu sahibul hikayat. Hikayat itu dituturkan oleh Resi Agastya sebelum Wisnu menitiskan dirinya ke dalam Rama, sebelum buih kumampul-kampul diombang-ambingkan oleh hasrat samudra dan geloranya.
Apakah buih mewakili samudra atau apakah samudra mewakili buih, Sinta? Hmmm .... Kamu masih membaca suratku ini, kan, Sinta?
Sinta, jiwa yang meriah pada Teratai-ku ....
Sebenarnya, menurut Resi Agastya, itu pula yang ditanyakan oleh Parwati, istri Siwa. “Mengapa Nirguna Brahman, Tuhan tanpa wujud, harus capek-capek menjadi Saguna Brahman, Tuhan dengan wujud? Mengapa Wisnu harus menitiskan dirinya ke dalam Rama?” tanya Parwati dengan kepenasaranan wanita cantik kepada Siwa alias Batara Guru.
Guru kalem menjawab. “Semua itu,” sabdanya, “berwujud ataupun tak berwujud, sejatinya sama. Dia, Wisnu, dan Rama sejatinya cuma tak serupa. Ketiganya ibarat es, uapnya, dan salju. Ketiga-tiganya pada dasarnya adalah air.”
Sinta,
Plato pun mencatat itu pada 11.600 SM bertepatan dengan akhir zaman es Pleistosen dan Meltwater Pulse 1B (MWP1B), yaitu mencairnya salju dan es khususnya dari gletser. Itu menurut Plato dalam banyak dialognya tentang tenggelamnya Atlantis yang mencakup wilayah Nusantara kini, Laut China Selatan dan Hindia Timur. Apa beda es, uapnya, salju, dan gletser. Semua pada dasarnya adalah air.
Sama juga dengan kayu dan api. Sesungguhnya, di dalam kayu ada istana raja api yang masih bersemayam.
Lihatlah, Sinta, Wisnu perlu mengambil wujud Rama. Begitu pula seorang begawan yang sakti, Resi Wiswamitra, perlu meminta tolong kepada Rama untuk membasmi para raksasa di Hutan Dandaka. Apa beda keduanya? Wiswamitra, seorang resi yang kutukannya pasti kejadian, sesungguhnya bisa seorang diri membasmi seluruh raksasa itu. Kalau mau, hanya seorang diri ia sanggup membasmi seluruh raksasa pengganggu kaum Brahmana, seperti Marica, Subahu, dan raksasa perempuan Tataka itu. Iya, kan? Tak perlu ia minta tolong kepada Rama. Toh, Wiswamitra pula yang memberi mantra sakti Bala dan Atibala serta panah api Agneyastra kepada Rama. Iya, kan, Sinta? Dengan mantra sakti itu Rama bisa siang malam kerja ... kerja ... kerja ... lantaran terbebas dari rasa haus, lapar, dan kantuk ....
Tapi, Wiswamitra harus repot-repot meminjam Rama remaja. Prabu Dasarata, Raja Kosala, ayah Rama, saking kedernya pada kutukan Wiswamitra, terpaksa mengizinkan anak kesayangannya yang masih bocah ingusan itu menghadapi kaum raksasa. Mengapa?
“Karena Wiswamitra selaku Brahmana tak mau mengotori tangannya sendiri bila harus membunuh para raksasa yang mengganggu kaum pertapa, yang melempar daging-daging mentah pada sesaji-sesaji mereka.” Mungkin begitu jawab Forrest Gump sebelum menjadi “Yesus” di jalan hidup antah-berantah bila turut membaca surat ini.