Aku lanjutkan suratku yang terakhir setelah surat sebelumnya, Sinta, yang dua-duanya belum juga kamu balas.
Sebenarnya, aku sendiri kaget mengapa selama ini bisa selalu panjang lebar menulis surat kepadamu. Dulu-dulunya aku hampir tak pernah menulis surat. Aku tak punya kecerdasan yang cukup untuk menuangkan perasaan-perasaanku melalui tulisan.
Kekayaan perasaanmu, ketulusan, serta bahasamu yang penuh warna dalam setiap perjumpaan kita membangkitkan aku untuk menulis. Dalam setiap pertemuan kamu bisa mengentak, mendayu, merajuk dengan berbagai luapan sambil kamu elus daun kenanga atau kadang berhenti memberi potongan-potongan roti pada angsa.
Kamu, Sinta, bisa hadir dengan kecantikan yang begitu menonjol. Tapi, pada saat-saat lain, di Papua, di Afrika, kecantikanmu bisa hadir dengan begitu tak kentara. Dengan itu semua kamu membuatku semakin bersemangat untuk terus menulis dan menulis.
Kamu, Sinta, bisa hadir dan larut cekakakan bersama jiwa-jiwa meriah para kuli Pelabuhan Teluk Bayur. Barengan makan gorengan sejenis bala-bala dan comro. Tak lama kemudian kamu menunjukkan bagaimana harus bersikap di restoran berkelas. Kamu mengenakan kalung mutiara, tiap butir sebesar mutiara legendaris Cleopatra yang diminumnya dalam pertaruhan dengan kekasihnya Marc Antony. Tanganmu dengan kuku pendek yang hampir tidak pernah dikuteks memegang garpu perak Christofel. Sikap badanmu berbeda, tapi senyumanmu tetap senyum di Teluk Bayur. Dengan itu semua kamu membuatku semakin bersemangat untuk terus menulis, menulis ... menulis, dan menulis.
Sekarang sudah sekian purnama tak kunjung kamu balas surat-suratku. Kamu membisu. Semoga itu bukan kebisuan yang kamu sengaja untuk membuatku jatuh bangun sambil merenung. Padahal, segunung apa pun diamku merenung tak mungkin aku sampai pada pemahaman mengapa aku mencintaimu. Kebisuanmu tak menimbulkan kemarahanku. Kebisuanmu malah selalu menclok di wilayah mana pun dalam kerinduanku. Aku akan terus menunggu surat balasanmu walaupun kebisuanmu terus melayang melampaui cakrawala makna dan melenyap ke dalam kekosongan.
Kalaupun kamu tak akan pernah mereken lagi surat-suratku yang tak akan ada habisnya ini, setidaknya aku berharap kamu masih peduli. Kalau kamu peduli kepadaku, pasti kamu bertanya-tanya, mengapa saat itu, pada pagi buta, perempuan bermata perunggu sempat-sempatnya mengantar bayi yang kelak bernama Sinta kepadaku?
Sejujurnya, aku pun masih bertanya-tanya demikian, Sinta, sampai saat ini.
Aneh, sekadar uang transpor saja perempuan itu tak mau terima. Aku sudah menyodor-nyodorkan uang ke dompetnya yang agak kumuh. Ia menampiknya. Ketika pamit, ia hanya terus mengulang kata-kata bahwa ia dan keluarganya sangat berutang budi kepadaku.
“Saya pasrahkan bayi ini kepada Bapak. Ini pun masih belum bisa membayar budi baik Bapak dahulu kepada kami,” curhat perempuan itu seraya menciumi tanganku kiri-kanan dan terus nyelonong pergi, meninggalkan bau keringatnya yang tajam.
Tak ada yang menahannya dan membuatkannya minum. Saudara-saudaraku, Amarah, Lawwamah, Supiah, dan Mutmainah, cuma bengong di sampingku. Mereka tak henti-henti menatap bayi kurus yang hampir mati di pangkuanku. Tak ada seorang pun di antara mereka yang beranjak untuk sekadar mengantar perempuan itu sampai ke gerbang. Biasanya tamu-tamuku mereka antar pulang sampai ke pintu gerbang dekat sangkar kawanan burung prenjak, dekat pohon-pohon bakung Sosrokartono, Ki Ageng Suryomentaram, dan Ronggowarsito yang seolah turut menghaturkan terima kasih atas kedatangannya.
Setelah sekarang kuingat-ingat, Sinta, mungkin pagi buta itu mereka semua sama rasa dengan aku. Bagaimana tak sama rasa, tak ada ombak tak angin, begitu saja datang bayi kepada kami tanpa dinyana-nyana.
Sinta,
Saudara-saudaraku, terutama Supiah, sudah lama iba melihatku setiap hari kangen kepadamu, Sinta. Kosong. Suwung. Tanpa kehadiranmu, aku gerakkan dahan, ranting, dan daun-daun di seputar telaga. Tanpa kehadiranmu, kujalankan matahari, kujalankan bulan dan bumi. Dunia pun berjalan walaupun kosong dan suwung. Mereka pasti berharap bahwa kehadiran bayi ini, dan tangisnya, dan wangi borehnya, akan dapat melampiaskan kangenku kepadamu.
Sebenarnya, Sinta, keterangan pembawa bayi itu juga berubah-ubah. Tapi, jangan pula kamu heran bila pada pagi buta itu kami bahkan tak sempat mengoreknya dengan jelas. Misalnya, apakah betul bayi ini berasal dari panti asuhan? Ketika menduga bayi ini hasil perkosaan, atau mungkin lahir dari pasangan remaja yang belum resmi menikah, yang menanggung malu, perempuan itu mengatakan bahwa bayi ini ditemukan oleh seorang petani di balik bongkahan tanah dekat pematang sawah di Negeri Manthili. Ah, kami tak sempat mereka-reka waktu itu. Misalnya, bila benar ditemukan di Kerajaan Prabu Janaka itu, mengapa mata bayi ini tak hidup walaupun tanpa tangisan, mengapa kulitnya tak sekuning kelopak padma, mengapa jari-jarinya tak seperti pisang susu?
Hmmm ... Sinta, tak sampai berapa jurus kemudian perempuan itu menyibak rambut lusuhnya yang jatuh di kening. Ia katakan bahwa bayi diambilnya dari sebuah panti asuhan. “Bayi kurus ini akan semakin kurus, lalu mati,” katanya tersengal-sengal. “Tak mati pun, bayi ini kelak juga akan sengsara. Bila nanti donasi ke panti asuhan mengucur kembali, makanan dan susu untuk bayi kembali tersedia, dia akan sehat dan imut-imut. Matanya akan hidup. Kulitnya akan laksana kelopak padma. Tapi, percayalah, Pak, percayalah, sebelum menstruasinya yang pertama, Pak, dia sudah akan dijadikan pelacur. Aduh, Pak, pengurus yayasannya sendiri merangkap germo, Pak!”
O, Sinta, bayiku ....
O, Sinta, dirimu ....
Sinta, Teratai-ku ....
Kini aku menghirup napas dalam-dalam ketika langit di luar mengganas dan pohon melati bagai piatu sendirian di depanku. Tetanggaku pun masih tak bersuara. Mereka masih berkabung sejak tiga hari ini. Kucing Persia-nya mati. Kini Napas, sahabatku, yang sudah lama lenyap mendadak muncul. “Coba kamu ingat-ingat,” bisiknya. “Budi baik apa yang telah kamu persembahkan kepada perempuan bermata perunggu dan keluarganya itu sehingga ia berikan bayi temon-nya kepadamu?”
Tan Napas juga mendadak muncul ketika kutahan napas dengan durasi sepanjang waktu kuhirup napas tadi. Ia menimpali, “Kamu jangan ngaco, Napas. Rahwana tak akan pernah mampu mengingat jasa-jasanya. Seluruh budi baik hanya dia lakukan dalam keadaan mabuk. Tepatnya mabuk Tuhan.”
“Oh, aku ingat. Aku pernah melihat Rahwana menanam jasa kepada raja muda yang hampir putus asa,” Nupus nimbrung berbisik. Ia tiba-tiba bercokol ketika kuembuskan napas dengan durasi persis sepanjang napas tadi kupertahankan, yang sama persis pula dengan durasi napas tadi kuhela.
Aku potong bisikan Nupus, “Tautannya apa antara perempuan pembawa bayi dan raja muda itu? Kenapa jasaku kepada raja muda berarti jasa kepada perempuan bermata perunggu, yang rambutnya lusuh, dan keringatnya deras? Apa pula jasaku kepada si raja muda?”
Begini, Sinta, bisikan Nupus berlanjut, “Raja muda itu hampir saja bunuh diri. Ia kecewa berat. Idolanya, Rama, ternyata mendapatkan Sinta cuma dengan modal pamer kesaktian. Rama sama sekali tak mendapatkan Sinta lantaran Sinta memang mencintainya. Rakyat sudah kebacut mengelu-elukan Jaka Pitana, si raja muda itu, sebagai Prabu Ramawijaya itu sendiri. Seluruh kelakuan Rama memang dilakukan pula oleh Jaka Pitana. Tapi, julukan Jaka Pitana itu sanjungan sekaligus cemooh. Artinya, ia masih muda, tapi sudah jadi raja. Ia sudah jadi raja, eh, tapi belum menikah juga. Tak ingin lagi mendengar julukan paradoks dari rakyatnya semacam itu, ia ngebet nikah. Sebentar lagi seorang perempuan yang diincarnya akan dijadikannya permaisuri. Tapi .... Oh, tidak. Setelah akhirnya tahu bagaimana cara Rama mempersunting Sinta, Jaka Pitana tak sampai hati meniru kelakuannya.”
Sinta, napas aku tahan setelah aku mengembuskannya. Lamanya kutahan sepanjang tadi aku mengembuskannya. Ujuk-ujuk timbul Tan Nupus. Ia berbisik menyambung perbincangan, “Nupus benar. Waktu itu, Rahwana, kamu menanam budi. Jaka Pitana kamu dongengi tentang Rama yang sesungguhnya.”
O, ya?
Tebak, Sinta, apa yang aku dongengkan kepada Jaka Pitana?
Menurut Tan Nupus, aku bilang bahwa Dewi Sinta sudah berprasetya hanya akan menikah dengan siapa pun lelaki yang sanggup membebaskan Negeri Manthili dari marabahaya. Ayah angkatnya, Prabu Janaka, kemudian mengabarinya tentang seorang kesatria dari Negeri Kosala yang sanggup mengusir Dandang Sangara, gagak raksasa yang selama ini menghantui rakyat Manthili. Kesatria itu bernama Rama. Deg-degan Dewi Sinta ketika kali pertama akan dipertemukan dengan Rama. Bagaimana kalau setelah melihat rupanya, mengendus baunya, ia tak mencintai lelaki yang telah berjasa untuk negerinya itu? Pertemuan itu terjadilah. Duh, ternyata Sinta sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Jadi, Sinta, Teratai-ku, perempuan yang tak pernah kehilangan warna bibir ....