Rahyang Whisanggeni

Pujangga
Chapter #1

Prolog

Dunia persilatan

Nusantara ratusan abad silam.

Daratan bernama Nusakerta dihuni oleh mereka yang dijuluki pendekar.

Siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa.

Dan pada masa itu terdapat dua pendekar paling sakti. Yakni Gumbara dari golongan putih, dan Yankesa dari golongan hitam.

Gumbara merupakan pendekar yang berasal dari golongan putih, sedangkan Yankesa adalah pendekar golongan hitam.

Keduanya sangat ditakuti dan disegani oleh para pendekar lain, baik oleh mereka yang masih sangat muda mau pun oleh para pendekar tua.

Selama ratusan tahun, Gumbara dan Yankesa tidak pernah bertemu. Semua orang penasaran akan siapa yang paling sakti di antara mereka.

Hingga tiba waktu dimana perang antara golongan hitam dan putih pecah, Gumbara dan Yankesa pun akhirnya berjumpa.

Ratusan ribu pendekar bertarung saling merenggut nyawa, dan tidak terhitung lagi entah sudah berapa banyak dari mereka yang telah tewas menjadi korban. Yang jelas di atas tanah kini tengah berserakan mayat-mayat mengenaskan.

Bahkan beberapa di antara mereka ada yang tewas tanpa jasad.

Selama 40 hari 40 malam, perang berlangsung sangat sengit. Akan tetapi belum ada pihak yang terlihat akan menang.

Hampir seluruh pendekar yang tersisa terduduk kelelahan. Pada tubuh mereka terdapat luka yang bermacam-macam.

Namun Gumbara dan Yankesa masih nampak bugar. Keduanya terus beradu kedigjayaan tingkat tinggi yang memukau semua orang.

Gumbara dan Yankesa terbang di atas langit. Saling menyerang dengan ajian andalan masing-masing.

Sebetulnya kondisi mereka juga tak ubahnya seperti pendekar lain, keduanya sudah mendapat banyak luka dan kelelahan.

Akan tetapi baik Gumbara maupun Yankesa, keduanya tidak mau mengalah. Mereka tidak ingin orang lain tahu kondisi dirinya.

“Hahaha, harus ku akui kau memang hebat Gumbara,” Yankesa tertawa.

Raut wajahnya penuh kesombongan, berharap Gumbara akan menyerah dan mundur.

Hanya saja Gumbara bukanlah pendekar yang dapat diintimidasi lawan. Semakin musuh menekan, maka dia akan semakin berjuang.

“Hahaha, kehebatanku belum seberapa jika dibanding denganmu, Yankesa,” Gumbara ikut tertawa membuat Yankesa mengumpat kesal.

Tangan Yankesa mengepal keras, menggenggam erat bilah pedang yang kini sudah terdapat banyak retakan.

Selama beberapa saat, mereka lantas saling memandang, menunjukan bahwa keduanya pernah saling mengenal.

Lihat selengkapnya