Selama 3 hari ke depan. Rahyang Whisanggeni terus merawat Gumbara dan Yankesa tanpa peduli siapa mereka.
Anak itu mewarat keduanya sebagaimana tabib kepada pasiennya.
Dia menolong orang tanpa peduli jika orang tersebut jahat atau baik.
Padahal bisa saja Rahyang dibunuh oleh orang yang ditolongnya. Terlebih orang tersebut adalah orang asing yang tidak Rahyang kenal sama sekali.
Namun Rahyang begitu berani. Ia tidak berpikir akan keselamatannya.
Entah bodoh atau berjiwa kesatria yang jelas Rahyang terlihat sangat polos.
Dan itu amat dikagumi oleh Gumbara.
Sementara Yankesa menganggap Rahyang ceroboh.
“Ini paman. Ini bubur ubi terakhir yang bisa aku buat. Beberapa hari ini mentari di luar teramat terik sehingga aku tidak bisa mencari ubi,” Rahyang datang sembari membawa dua mangkuk berisi bubur ubi.
Waktu itu keadaan Gumbara dan Yankesa sudah berangsur membaik. Bahkan Yankesa tidak lagi berpura-pura pingsan.
Namun keduanya tetap saja belum bisa bergerak normal. Bahkan untuk berdiri pun mereka belum kuat.
“Hahaha. Mari Whisan. Kau memang baik, kau tahu jika aku sedang sangat lapar. Dan bubur ubimu itu yang terbaik,” Gumbara tertawa terbahak bahak.
“Cih! Dari dulu sampai sekarang kau tidak pernah berubah Gumbara,” Yankesa berdecak.
“Hahaha, kau hanya iri Yankesa. Hidup itu harus dinikmati. Benarkan Whisan?” ujar Gumbara sembari bertanya kepada Rahyang yang sudah tiba.
“Be-benar tuan. Hidup manusia sangat singkat. Akan sangat rugi jika kita menghabiskan waktu hanya untuk meratap,” ucap Rahyang polos.
Namun ucapannya itu membuat Gumbara tertegun. Bahkan Yankesa sekali pun sempat melebarkan mata menatap Rahyang.
Gumbara terkejut tidak mengira Rahyang akan menjawab dengan perkataan seperti itu.
Sedangkan Yankesa tidak habis pikir mengapa Rahyang yang masih berusia 8 tahun memiliki pemikiran dewasa seperti itu.
Yankesa adalah sesosok pria tinggi kekar, berparas tampan, kejam serta pendiam karena tidak suka banyak bicara.
Sementara Gumbara sebaliknya.
Paras Gumbara tidak terlalu tampan. Namun ia sangat ceria, suka tertawa, bahkan terkesan konyol.
Tidak banyak yang tahu bahwa kedua jago persilatan tersebut adalah sepasang sahabat.
Selain segelintir orang. Rahyanglah yang kini menjadi saksi bagaimana persahabatan mereka.
“Me-mengapa anda terdiam tuan? Apa perkataanku salah?” Rahyang terkejut karena Gumbara tertegun menatapnya.
“Hahaha. Tidak Whisan. Aku tidak apa-apa. Cepat bawa bubur ubi itu kemari,” Gumbara tertawa bangun dari lamunannya.