Malam cepat berlalu dan kini pagi mulai menyingsing.
Semua pasukan para bangsawan berjaga secara bergantian. Sementara para penduduk beristirahat di aula dan di taman kediaman Tumenggung Kalinga.
Tak ada raut ceria pada wajah semua orang. Semua tegang dan penuh ketakutan. Termasuk Putri Sekartaji bersama 4 balapati yang menjaganya.
Sedangkan Rahyang. Dia masih tersesat bersama Baron Waja.
Bocah kecil itu lupa, tidak tahu entah ke mana jalan menuju kediaman Tumenggung Kalinga.
Bahkan alih-alih sampai, Rahyang malah keluar dari wilayah kota.
Entah bagaimana caranya Rahyang malah tersesat memasuki hutan. Dia bingung dan terus mengumpat, membuat Baron Waja semakin menjaga jarak darinya.
Kruuuuukrukrukruk!
Perut Rahyang mulai berbunyi kelaparan.
“Aduh aku lapar sekali! Sebetulnya dimana kediaman Tumenggung Gemuk itu,” Rahyang berjongkok memegangi perutnya.
“Apa yang terjadi bocah? Apa kau terluka atau terkena racun?” Baron Waja bertanya dari kejauhan.
Dia berharap kondisi Rahyang semakin melemah agar dirinya bisa menangkap bocah itu.
“Jangan banyak tanya. Cepat carikan aku makanan!” teriak Rahyang.
“A-apa?” Baron Waja terbelalak berkeringat dingin.
“Aku ingin makan! Cepat carikan aku hewan buruan!” teriak Rahyang.
“Sial! Bocah itu berani memerintahku,” umpat Baron Waja di dalam hati.
“Apa yang kau tunggu tuan? Apa kau ingin aku mati lemas?” seru Rahyang.
“Ba-baik! Baik!” Baron Waja mengangguk cepat. Selanjutnya dia melesat mencari apa yang Rahyang minta.
“Bedebah! Mengapa aku berakhir menjadi kacung anak kecil?” Baron Waja terus menggerutu sepanjang jalan.
Namun tidak lama dia menemukan seekor kijang besar.
Wush! Buk!
Barong Waja memukul kepala Kijang tersebut hingga tumbang.
Selanjutnya tubuh Kijang dia pikul dibawa ke hadapan Rahyang.
“Ini makananmu!” Baron Waja menjatuhkan tubuh Kijang tadi dengan ketus.