Serangan terhadap kediaman Tumenggung Kalinga begitu cepat dan serentak sehingga para pasukan saudagar tidak berkutik dibuatnya.
Terlebih pasukan musuh jauh lebih banyak, kuat, serta memiliki kesaktian di atas rata-rata sehingga jebakan yang disiapkan oleh pasukan bangsawan tidak terlalu berguna.
Memang ada beberapa pasukan musuh yang tewas terkena jebakan itu. Tetapi hanya segelintir saja.
Buah dari serangan tersebut menyebabkan hampir 1000 prajurit bangsawan gugur. Ratusan rakyat tewas, dan beberapa bangsawan sekarat. Termasuk para Balapati Penjaga putri Sekartaji. Bahkan Balapati Manulamu juga gugur di sana.
“Pergi dari sini!” bentak Rahyang pada putri Sekartaji yang tidak mau beranjak dari tempatnya.
“Pe-pergi kemana Whisan? A-aku tidak tahu?” Putri Sekartaji lirih.
“Pergi berlindung ke tempat aman. Setidaknya kau tidak berada di tengah perang! Cepat!” teriak Rahyang.
“Ba-baik,” angguk Putri Sekartaji merasa lemah.
Namun sebelum melangkah, datang 4 kepala pasukan milik Tumenggung Kalinga.
Meski tubuh mereka sudah dipenuhi luka. Tetapi ke 4 kepala pasukan itu masih tegar sehingga mereka masih bisa menjalankan perintah Tumenggung Kalinga.
“Tuan muda,” ke 4 kepala pasukan itu terengah-engah.
“Baguslah, mohon bawa temanku ini ke tempat yang lebih aman, paman,” pinta Rahyang.
“Ba-baik, tuan muda. Na-namun ada yang perlu kami sampaikan,” jawab salah satu kepala pasukan.
“Cepat katakan!” Rahyang tidak memiliki banyak waktu.
“Tumenggung memohon dengan amat sangat agar musuh tidak mengarah ke kediaman utara, tuan. Semua Rakyat kini berlindung di sana,” ungkap kepala pasukan tadi.
“Utara?” Rahyang menoleh dan mendapati sebuah bangunan besar yang sebelumnya merupakan aula perpustakaan.
“Akan kuusahakan. Bawa dia juga ke sana,” ujar Rahyang.
“Ba-baik, tuan,” angguk semua kepala pasukan serentak.
Selanjutnya putri Sekartaji dikawal menuju gedung perlindungan. Namun matanya seperti tidak lepas dari Rahyang.
Entah mengapa sang putri menjadi khawatir, mencemaskan keselamatan Rahyang.
Melihat Rahyang datang dengan tubuh penuh luka, putri Sekartaji terkagum oleh jiwa kesatrianya.
Tak ada anak seusia itu yang setangguh Rahyang.
Bahkan Rahyang jauh lebih dewasa dari pada dirinya sekali pun.
“Kumohon jangan mati, Whisan,” gumam Putri Sekartaji seraya menyeka airnya matanya.