Raihan tersentak bangun. Nada panggilan dari ponselnya berbunyi tiba-tiba. Pemuda itu mengucek mata, kemudian melihat jam weker di atas nakas yang menyatu dengan tempat tidur. Pukul tiga dini hari. Sementara itu dering nada panggilan masih berbunyi. Raihan mengambil ponsel yang terletak begitu saja di kasur dan tadi hampir saja didudukinya. Karena pemuda itu jatuh tertidur ketika sedang chatting.
Di layar ponsel tertulis nama Raihanun.
"Hallo ...." Raihan menerima panggilan.
"Kamu tidur, ya?! Lama sekali teleponku baru diangkat!"
"Aku tertidur, Anun," sahut Raihan dengan mata yang masih terasa berat karena mengantuk.
"Kau tidak menghargai aku, tidur nggak bilang-bilang. Pantas saja pesan-pesan di WA, dibiarkan tanpa dibaca."
Raihan menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Setiap malam ia menghadapi hal yang serupa. Telepon nggak penting dari Raihanun. Kalau bukan soal pesan whatsapp yang tak dibalas, Raihanun juga menyalahkan kenapa Raihan tidak pamit kalau mau tidur.
"Aku bukan tidur, tapi tertidur. Bisa bedakan nggak, sih?" Raihan menumpahkan kesal akhirnya.
"Oh, kau menyalahkan aku, ya?!"
"Ya, sudah. Aku minta maaf, aku yang salah."
Seperti biasa, Raihan selalu mengalah. Ia tak mau ribut, percuma meladeni Raihanun. Semakin ditentang, semakin kuat ia menekan. Marah sampai diluar kontrol.
"Kau tidak peduli kepadaku, beda sekali dengan kata-kata yang sering kau ucapkan itu. Dasar laki-laki bermulut manis! Aku ini perempuan penyakitan, penderita kanker dan kematianku sudah diprediksi. Apa itu tidak cukup bagimu untuk berempati?"
Lalu perempuan itu menangis. Sekali lagi Raihan meminta maaf dan coba menghibur Raihanun yang baru saja dikenalnya sebulan belakangan. Kenal dari instagram.
"Aku butuh didengarkan. Selama ini tidak ada yang peduli, bahkan orang-orang terdekatku sekalipun. Lalu aku menemukanmu, Raihan. Kau baik dan berempati, aku percaya untuk menceritakan kisah hidupku kepadamu."
Raihan mendengarkan semua keluh kesah perempuan bernama Raihanun itu dengan mata berat dan berkali-kali tubuhnya tersentak menahan kantuk. Meski sudah berusaha bersabar mendengar dan menyimak kata demi kata yang diucapkan Raihanun, tapi ketika sedikit saja Raihan terlambat merespon atau menjawab, Raihanun akan naik pitam.
"Kau tidak mendengarkanku, Raihan!"
"Aku dengar, aku dengar ...."
"Sial!" bentak Raihanun sambil memutus sambungan telepon.
Ponsel dari genggaman Raihan terlepas dan ia pun jatuh tertidur. Sudah lewat pukul empat dini hari. Ketika jam weker yang terletak di nakas berdering menandakan waktunya sholat subuh, Raihan tak terbangun. Ia lelah dan juga tertekan. Pulas dalam ketakberdayaan atas dominasi Raihanun kepada dirinya.
SATU BULAN SEBELUMMYA