Panggung megah berdekorasai bak istana dengan nuansa mewah serta elegan mendominasi ruangan besar di salah satu gedung pencakar langit tengah kota metropolitan, tempat dimana acara penghargaan untuk para pengusaha sukses Indonesia.
Sudah tertata rapi kursi-kursi mahal untuk para kategori menunggu giliran, serta terdapat penyanyi-penyanyi top yang mengisi acara. Namun, ada juga pengusaha muda yang enggan menghadiri acara tersebut.
"Kau yakin akan meninggalkan acara penganugerahan gelar tahun ini?" Seorang pria berjas hitam dilengkapi dengan alat komunikasi ditelinga berdiri tegak di belakang pria gagah lainya.
Jas biru navi yang tergeletak pada sofa diraih oleh tangan kekar dengan satu terikan. Kemudian dipakainya dengan menghadap pada cermin besar yang menyatu pada lemari yang terancang menyatu dengan dinding. Simple dan elegan terkesan pada ruangan besar tersebut serta pemiliknya.
"Jika itu lebih baik, kenapa tidak?" ucap Sultan seraya membenahi setelan jas navi yang baru saja diambilnya .
Tubuh tegap-altetis tercetak dengan epik di dalamnya raga lelaki itu. Mata yang minimalis dengan iris hitam pekat serta rambutnya yang beragaya tradisional layered undercut menambah aura maskulin padanya.
"Lalu kau akan membiarkan mereka menang tanpa perlawanan?" Alvon kaki tangan Sultan tentu tidak ingin membiarkan para pesaing tuannya menang semudah itu.
Surai panjang sebelah kanan terangkat seiring pergerakan memutar tubuh menghadap Alvon. "Dengar, ada yang lebih penting daripada penghargaan receh seperti itu! jangan bersikap seolah-olah kau haus akan pujian, tapi bersikaplah seperti orang yang sudah lelah mendengar pujian. Bukan tidak mungkin mereka menjadi semakin penasaran dengan apa yang akan kita lakukan."
Alvon mengangguk mendengar setiap kalimat yang terucap oleh tuannya. Kaki jenjang kokoh melangkah mendekati jendela besar yang menghadap ke jalan raya perkotaan yang penuh akan kendaraan baik bermotor atau tidak bermotor.
"Mereka harus membayar mahal untuk kematian ayahku!"
***
Banyuwangi, 2007
"Heh, kamu mau kerja atau mau apa? kenapa masih banyak kopi yang masih tertinggal?!" bentak pria paruh baya dengan kasar.
Lelaki yang menjadi sasaran dari Surya terdiam, sorot mata tajam serta rahang yang menguat-menandakan betapa api sudah membara dan membakar hati Sultan.
'Jika kau bukan pamanku, mungkin sekarang kau sudah menjadi pengemis, Surya!' batin Sultan tanpa menoleh ke arah Surya.
"Maaf, Pak, saya akan lebih teliti lagi." Sultan menjauh dari Surya. Menghadapi seorang keras kepala dan angkuh tidak akan ada habisnya, akan lebih baik Sultan fokus dengan tujuan utamanya.
"Dia bersikap seperti itu seolah-olah pemilik perkebunan ini, dasar penjilat!" rutuk Sultan dengan suara penuh amarah.
Bakul yang digunakan untuk wadah kopi yang dipanen ditenteng begitu saja dengan satu tangan, otot-ototnya merambah keluar. Sultan benar-benar terjebak dalam amarah yang menguasai dirinya.