Rain Heart

A. Noveisha_Anya W
Chapter #1

Dongeng Penghantar Tidur dan Gerhana di Quebec

Langit seakan tengah memayungi Quebec City yang menggelap, bukan karena malam datang terlalu cepat, melainkan datangnya fenomena langka yang telah ditunggu-tunggu: gerhana matahari total. Kerumunan manusia yang tak terhitung memadati jalanan kota kuno ini, mata mereka terpaku ke atas, seolah dunia di bawah tak lagi berarti.

Sesosok pria muda Kanada berusia 21 tahun, akademisi yang terpilih sebagai duta proyek penelitian oleh Public Safety Canada, berdiri terpaku di tengah tengah para 'pemburu' fenomena alam. Rain. Tertulis di kartu identitas yang menggantung di leher. Tugas yang diberikan adalah mewawancarai individu-individu di Quebec City ini, sebuah tantangan yang ia terima dengan semangat petualang. Namun, kuatnya pengaruh budaya dan resistensi penduduk lokal untuk diwawancara telah membuatnya tinggal lebih lama dari jadwal seharusnya.

Di antara lautan wajah yang mendongak, pandangan Rain terpaku pada seorang gadis. Sama sekali tidak ikut berseru atau bereaksi histeria seperti yang lain. Perempuan muda itu senyap, menatap jauh ke atas langit dengan sorot yang entah bagaimana, terasa begitu dalam sekakigus rapuh.

Kala cahaya terakhir matahari menghilang, digantikan lingkaran hitam pekat dengan corona yang berpendar, sebuah getaran kecil melanda kota. Seketika, sepotong reruntuhan bangunan dari salah satu gedung tua di dekatnya terlepas, meluncur, dan hampir jatuh tepat di atas kepala gadis itu. Tanpa berpikir, Rain melesat, menubruk tubuh mungil itu, menyelamatkannya dari bahaya. Gadis itu terhuyung, namun selamat. Mata mereka bertemu sejenak, di bawah naungan gerhana yang kini memuncak, menciptakan momen sunyi di tengah kekacauan.

...

Perempuan yang dari kartu identitasnya bernama_Heart Dubois, usia 21 tahun_ini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Seorang perempuan di usia senja dengan rambut memutih separuhnya tengah menatap penuh khawatir. Kedua tangannya menggenggam dan mengusap jemari si gadis, kedua mulut membisikkan doa bagi cucunya tersayang.

Heart berdiri dalam gelap dan sunyi, angin mengusik rambut dan bajunya hingga melambai. Pusaran waktu berputar di hadapannya. Lalu berhenti pada bingkai sebuah rumah besar, di dalamnya sesosok anak kecil menangis pilu, demi melihat mama papanya tengah bertengkar hebat. Pecahan pas bunga berserakan, mawar merah cantik yang tadinya bersemayam dengan anggun, turuh berantakan. Meluruhkan kelopak-kelopak yang beterbangan terbawa angin.

Sepasang manusia yang pada awalnya saling memuja, hingga mengikrarkan janji cinta abadi di hadapan semesta. Senyum menghias raut wajah mereka, binar gemerlap terpancar dari dua pasang mata. Siapapun dapat menyimpulkan, mereka saling mencintai. Gaun pengantin indah, pesta meriah, sebuah impian dan ukuran kebahagiaan sempurna bagi siapapun.

Satu figura besar menghias ruang keluarga, mengabadikan momen itu: sepasang suami istri, bersama seorang gadis kecil berwajah polos menggemaskan. Lengkungan kelopak mata membentuk sabit, senyum dari bibir tipis bergelombang, melengkapi kebahagiaan. Kisah yang dirangkai menyerupai dongeng, dengan akhir bahagia untuk selamanya.

Namun, dalam kurun waktu sekejap saja, cinta itu berbalik menjadi benci. Melemparkan makian, melontarkan sumpah serapah, hingga akhirnya berpisah dalam kehancuran. Belahan jiwa, begitu katanya, kini menjadi dua kutub yang saling menjauh. Mencintai dan menyakiti, dipisahkan oleh sekat yang sangat tipis, mudah koyak, sehingga tak seorang pun dapat melihat perbedaannya. Di satu pihak, dicintai adalah kebahagiaan. Tapi bagi yang lain, mencintai seseorang namun harus melepasnya adalah hal yang menyakitkan.

Bagaimana nasib buah cinta dari pernikahan mereka? Gadis kecil berwajah menggemaskan itu, yang seharusnya tak paham tentang apa yang tengah terjadi, kini kehilangan senyumnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Ia harus menahan genangan itu, menggigit bibir bagian bawah agar tak bergetar, membungkam keberanian untuk teriakan pilu, "Daddy..." yang kemudian disambung bisikan pedih di lubuk hati, "jangan pergi."

Sang Mama juga memilih jalan hidupnya sendiri, mencari kebahagiaan miliknya. Terlupa dengan sosok mungil yang masih butuh dekapan, kehangatan kasih seorang ibu. Gadis kecil itu akhirnya harus tinggal bersama sang nenek, satu-satunya perempuan yang masih tersisa untuk memberikan kasih sayang.

Hari-hari Heart kecil dilalui dalam kesendirian. Mengurung diri, menghabiskan waktu dalam senyap. Terlalu menyakitkan baginya saat melihat atau mendengar teman-teman menceritakan betapa hangat dan utuhnya keluarga mereka. Ia sering memilih untuk habiskan bekal makan siang di sudut taman sekolah, duduk di bagian paling belakang. Tak ada bedanya bagi mereka. Tiada yang peduli ia ada atau tidak.

Lihat selengkapnya