Dinginnya udara Quebec tidak sebanding dengan dingin yang Rain rasakan dalam hati di malam ini. Kilasan wajah pucat Heart, mata kosong yang menatap entah ke mana, dan rintihan putus asa terus terputar di benak. Lelaki itu tidak bisa melupakan bagaimana gadis itu ambruk, bagaimana tangannya menggaruk lengan sendiri dengan panik, dan bisikan mengerikan tentang "mereka datang". Rain memang seorang akademisi yang terbiasa menganalisis data dan fakta, namun pemandangan tadi sore terasa di luar jangkauan logikanya. Ini bukan hanya sekadar reaksi emosional biasa.
Rain mencoba mencari informasi di internet tentang kondisi yang bisa menyebabkan seseorang mengalami episode seperti yang terjadi pada Heart, namun ia hanya menemukan istilah-istilah medis rumit yang terasa asing. Ada rasa bersalah yang menusuk, mengapa tidak bisa berbuat lebih banyak? Mengapa hanya diam terpaku melihat Celeste memberikan obat? Hatinya memberontak. Ada sesuatu dalam diri Heart yang memanggilnya, sebuah kerentanan yang anehnya justru menariknya lebih dalam. Tak mungkin bisa begitu saja melupakan gadis itu.
Rain terbangun dengan keputusan bulat pada pagi ini. Dia harus kembali ke Morrin Centre. Bukan untuk mencari referensi buku lagi, atau wawancara yang tak kunjung membuahkan hasil. Tetapi harus menemui Heart. Entah untuk meminta maaf karena telah menyaksikan momen paling pribadi Heart, atau sekadar memastikan gadis itu baik-baik saja. Ada dorongan kuat yang sulit dijelaskan, seolah gerhana yang menyatukan mereka di awal adalah pertanda takdir yang tak bisa terelak.
Sementara itu, di rumah Granny Prue yang sederhana namun hangat, Heart terbaring di tempat tidur. Tubuh lemas, pikiran masih berkabut. Episode tadi sore terasa seperti mimpi buruk yang sangat nyata. Samar samar terbayang, Ares yang tengah marah, Celeste yang cemas, dan tatapan penuh tanya dari Rain. Namun, yang paling menyakitkan adalah suara Nyonya Aimee, ibunya. Suara itu, bahkan dari telepon, sanggup meruntuhkan benteng yang telah ia bangun mati-matian selama bertahun-tahun.
Granny Prue duduk di sisi ranjang, mengusap lembut kening Heart dengan telapak tangan yang keriput. Ada kesedihan di mata Granny, namun juga ketenangan. "Kau sudah makan, sayang?" bisiknya pelan, memastikan Heart tengah terjaga.
Heart mengangguk lemah, "Sudah, Granny," suaranya serak, hampir tercekat.
"Jangan pikirkan lagi," kata Granny Prue, seolah tahu apa yang bergejolak di benak Heart. "Nyonya Aimee, dia hanya tidak mengerti. Dia tidak pernah mengerti," ada nada pahit dalam suara neneknya, namun cepat-cepat disembunyikan.
Heart memejamkan mata. Tidak mengerti? Bahkan setelah bertahun-tahun, Nyonya Aimee masih tak berubah. Selalu menuntut, selalu merasa paling benar, selalu menyalahkan. Luka dalam hati terdalam milik Heart berdenyut nyeri. Benci betapa rapuh dirinya di hadapan sang ibu, betapa mudah terlempar kembali ke masa lalu yang kelam itu.
Gadis yang tengah rapuh ini, benci pada diri sendiri yang tak bisa mengendalikan pikiran, emosi, dan halusinasi yang kini menjadi teman setia di kala tertekan. Obat-obatan itu memang menenangkan, tapi tidak menghapus ingatan atau rasa sakit.
Tidak lama kemudian, tanpa diundang Ares datang. Berdiri di ambang pintu kamar Heart, tatapan tajam yang seperti biasa, menyapu seluruh ruangan. Ada kekhawatiran yang samar di matanya, bercampur dengan sesuatu yang lain—sebuah otoritas yang tak ia pinta. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya, namun masih terdengar menuntut.
Lelaki itu melangkah masuk tanpa izin, untuk duduk di samping tempat tidur. Heart hanya mengangguk, tanpa melihat Ares. Gelisah dan merasa sangat tidak nyaman, meski Ia tahu Ares khawatir, tapi ada sesuatu dalam kehadiran Ares yang seringkali membuat Heart merasa tercekik, terkurung. Seolah Ares adalah bayangan lain dari masa lalu yang tak bisa dihindari.
"Seharusnya kau tidak terlalu memaksakan diri bekerja. Aku sudah bilang, jika ada apa-apa, aku bisa mengurusnya," kata Ares, jemarinya terangkat ia ingin menyentuh kening gadis di hadapannya ini, namun Heart refleks menarik diri.
"Aku baik-baik saja," Heart mengulang, nadanya datar. Ia ingin Ares pergi. Ia hanya ingin ditemani Granny Prue.
Melihat penolakan Heart, Ares menghela napas. "Baiklah. Aku akan kembali besok." Ia berbalik, keluar dari kamar. Kepergiannya meninggalkan kelegaan samar di hati Heart, namun juga kekosongan.
---
Cuaca cerah Quebec pagi ini membawa Rain kembali ke Morrin Centre. Berjalan mondar-mandir di dekat meja informasi, berharap Celeste ada di sana. Setelah ia menebarkan pandangan, terlihat Celeste sedang menata beberapa buku di rak. Yang biasanya dilakukan oleh Heart.
"Hai, Celeste," sapa Rain.
Celeste tersenyum ramah, "Oh, Rain! Mencari referensi lagi?"
"Tidak, aku... aku ingin bertanya tentang Heart," kata Rain jujur, "Apa dia baik-baik saja? Aku khawatir setelah kejadian kemarin."
Senyum Celeste sedikit memudar, lalu melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.
"Heart, dia memang punya kondisi khusus. Kadang-kadang dia bisa seperti itu kalau terlalu stres, atau ada sesuatu yang memicunya, " Celeste ragu sejenak, menimbang seberapa banyak yang bisa ia katakan. "Itu sebabnya dia selalu membawa obatnya. Aku bersyukur ada di sana kemarin."
"Kondisi khusus apa?" Rain bertanya, tatapannya penuh rasa ingin tahu dan prihatin.
Celeste menghela napas, "Maaf, Rain. Aku tidak bisa membicarakannya. Itu hal yang sangat pribadi untuk Heart. Dia, tidak suka kalau ada yang tahu. Dia sudah terlalu banyak melalui hal berat."
Rain mengangguk paham, menghargai privasi Heart, namun rasa ingin tahunya semakin besar.
"Aku mengerti. Tapi, apakah dia akan masuk hari ini?"
Celeste menggeleng, "Tidak. Kupikir dia akan istirahat beberapa hari. Biasanya begitu setelah episode seperti kemarin."
Pria itu merasakan kekecewaan, padahal ia begitu ingin berbicara dengan Heart, memahami apa yang menggerogoti gadis itu.
"Kalau begitu, bisakah aku... bisakah aku menjenguknya? Atau ada cara lain agar aku bisa berbicara dengannya?"