Rain (The Past; Painful)

Rain
Chapter #5

Rasa Sakit yang Paling Ku Benci

Suara petir menggelegar begitu jelas menyapa gendang telingaku. Dinginnya udara terasa menusuk hingga ke dalam tulang.

Dedaunan yang berterbangan tak tentu arah diterpa angin tampak telihat pasrah tak melawan.

Begitulah cara alam memberi isyarat kepada permukaan bumi ketika awan hendak menangis.

Hujan, sebuah fenomena yang selalu menghangatkan hatiku.

Sebuah keajaiban alam yang selalu membuatku rindu. Rindu akan kenangan-kenangan indah yang tersimpan rapi di dalam memoriku.

Memori dimana hanya aku dan hujan yang tahu, betapa indahnya saat itu. Bagiku, hujan lebih dari sekedar fenomena alam. Hujan adalah teman, bahkan lebih dari itu.

“Hujan, apa kau pun merasakan hal yang sama?” Gumamku mendongakkan kepalaku menatap langit yang mulai mendung.

“Aku rasa, ya. Kau sedang ingin menemaniku, iya kan? Ha ha, kau tahu saja aku sedang bahagia. Aku jadi tak sabar ingin segera tiba di rumah. Aku ingin menunjukkan hasil kerja kerasku mengerjakan tugas sekolah tadi kepada Mama dan Bapak. Aku berhasil mendapat nilai sempurna! Mama dan Bapak pasti bangga padaku, he he he.” Sambungku masih bermonolog membayangkan senyum kedua orang tuaku, terutama mama.

Aku mempercepat derap langkahku dengan riang. Aku tak sadar orang-orang yang kulewati memperhatikan tingkahku. Ternyata tingkahku cukup menarik perhatian mereka. Tak butuh waktu lama, aku sudah tiba di depan rumah kontrakan yang sudah ku tempati selama sebulan ini bersama kedua orang tuaku dan ketiga adik-adikku.

Namun, belum sempat aku memberi salam dan membuka pintu. Aku mendengar suara keributan dari dalam rumah. Keributan yang sudah tak asing mengisi rumah ini. Rumah yang selalu aku harap menjadi tempat hangat dan sumber kebahagiaanku.

Aku terdiam sejenak menunggu di depan rumah. Aku biasa menunggu semuanya selesai lalu masuk ke dalam seolah tak tahu apa-apa.

Entah semuanya begitu terasa hambar. Kebersamaan dan kebahagiaan yang dulu selalu menjadi candu bagiku kini sirna begitu saja ditelan waktu. Kakak beserta kedua adikku yang lain tak tinggal lagi bersama kami.

Mama dan bapak yang selalu bertengkar karna bapak tak memberi uang untuk keperluan sehari-hari kami, memaksa mama untuk berhutang.

Semuanya berubah menjadi begitu kejam bagiku. Mama berubah menjadi kasar jika sudah bertemu dengan bapak. Bapak yang sangat jarang ada di rumah.

Aku akan selalu diam saat mama memarahiku meski itu bukan salahku. Itu semua berkat satu hal, yaitu Uang. Aku sangat benci uang. Karna benda itu keluargaku hancur.

Jika saja tak ada uang, apa keluargaku akan tetap utuh dan bahagia?

Sudah hampir setengah jam aku duduk menunggu mama dan bapak bertengkar. Suara keributan pun sudah tak terdengar lagi. Sudah waktunya aku masuk. Aku bangkit dari lantai lalu berjalan menuju pintu meraih knop dan membukanya. 

“Assalamualaikum!” Sapaku, namun sayang semuanya diam. Hanya ada hening. Aku tersenyum kecut.

Sudah biasa bagiku saat mereka bertengkar, mereka pasti sedang ada di dalam kamar dan tak akan bersuara jika sudah ada aku. Jika aku menyapa mereka, maka aku yang akan dibentak tanpa sebab.

Kemana perginya kehangatan mereka?

Sepertinya bukan saatnya aku menunjukkan keberhasilanku. Aku tunda saja!’ Batinku memutuskan. 

Saat aku hendak membuka pintu kamarku, aku sempat melihat bapak keluar dari kamar lalu pergi keluar rumah. Sepertinya bapak tidak akan tidur di rumah lagi.

Aku mencoba menahan tanya sedari pulang sekolah. Namun rasa penasaranku tak terbendung lagi. Aku putuskan untuk bertanya kepada mama.

Semoga kali ini mama menjawabnya tanpa memarahiku.

“Ma, aku tidak melihat bapak sejak tadi. Apakah mama tahu bapak pergi ke mana?” Aku mencoba bertanya dengan suara pelan karna aku melihat mama sedang sibuk mencuci piring.

Tapi, sepertinya mama tidak sedang ingin ditanya atau mungkin pikirannya masih belum tenang. Mama menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. Aku sempat terkejut melihatnya. Mama terlihat sangat membenci pertanyaanku. Rasa takut menggerayangi perasaanku.

“BAPAK, BAPAK, KAMU PIKIR BAPAKMU MEMIKIRKAN KAMU, HAH?! SUDAH, KAMU PERGI SAJA! SUSUL BAPAKMU ITU! DASAR ANAK TIDAK TAU DIUNTUNG! PERGI DARI SINI!” Mama berteriak histeris sembari menarik tanganku dan menyeretku keluar dari rumah. Aku ketakutan, sempat rasaya aku ingin menangis, tapi aku tau mama akan lebih marah dan malah akan memukuliku. Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku sangat takut.

Aku hanya diam, menahan isak tangis dan mencoba mencerna perkataan mama. Aku sempat tak percaya, 'Mama mengusirku?'

“Cepat pergi! Kamu cari sana, Bapakmu itu!” Pekik mama sekali lagi menyadarkanku, bahwa aku harus menerima kenyataan dia telah mengusirku dari rumah. Belum sempat aku menjawab, mama sudah membanting pintu tepat di depan mataku. Aku menangis tanpa suara.

Pada akhirnya air mataku berjatuhan tanpa diminta, rasanya sakit. Bahkan lebih sakit dari pukulan mama saat menyiksaku.

Lihat selengkapnya