Gumpalan putih yang terlihat begitu jelas menarik perhatianku saat ini, orang-orang menyebutnya awan. Langit biru yang dihiasi olehnya terlihat sangat indah. Mataku begitu takjub dengan keindahan warna yang sangat jelas terlihat putih tanpa noda seperti kapas yang melayang menghiasi langit biru. Dengan jarak sedekat ini membuatku ingin menggapai awan-awan tersebut. Sangat dekat di depan mataku yang hanya terhalang oleh selembar kaca tebal jendela pesawat yang sedang kutumpangi.
Sebuah senyum kutarik di sudut bibirku. Menatap lekat pada awan yang selalu memberikan kehangatan bagiku kala kesedihan menerpa hatiku. Sebab hanya awan yang memberiku teman saat aku meneteskan air mata, dialah hujan. Air mata sang awan yang turun menjadi penghangat bagiku saat aku menangis tak mampu lagi menahan rasa sakitku. Hujan, dialah temanku. Teman yang menghangatkan hatiku, Rain.
"Terima kasih, rain!" Gumamku menelisik setiap lekuk bentuk dan warna awan. Tanpa sadar memoriku berputar mundur ke belakang, membawaku pada masa 12 tahun yang lalu.
***
"Mohon maaf, Pak. Penerimaan siswa baru di sekolah kami sudah di tutup sejak tiga minggu yang lalu. Semua siswa sudah menyelesaikan Masa Orientasi Siswanya hari ini dan akan memulai kegiatan belajar mengajar pada Senin nanti." Jelas lelaki yang memakai seragam safari dengan nametag —Muchlis. Beliau adalah ketua komite sekolah ini. Itu yang aku tangkap dari percakapan mereka sebelumnya. Aku masih setia melihat ekspresinya saat berbicara dengan bapakku. Ia terlihat sedikit tidak enak hati, mungkin.
"Apakah tidak ada kesempatan lagi? Saya mohon pengertiannya. Saya tidak tahu harus ke mana lagi. Saya dengar dari kakak istri saya kalau di sekolah ini satu-satunya sekolah terbaik yang menyediakan beasiswa untuk siswa yang berprestasi. Jujur, saya tidak punya biaya untuk menyekolahkan anak saya. Tapi, dia bersikukuh ingin bersekolah." Kata bapak sedikit memelas. Ia —Muchlis, mengalihkan pandangannya padaku dengan sorot mata yang bertanya.