Biru, itulah warna langit. Saat cerah tampak begitu indah. Tapi saat redup tampak seperti sendu. Biasanya langit redup ketika air hujan turun. Dan saat itu pula, langit tak berwarna biru.
Seperti saat ini, hujan sedang turun menemaniku mengerjakan beberapa tugas sekolah di rumah kontrakanku. Aku merasa sangat nyaman dengan suara rintik kan air hujan yang mengalun di telingaku. Terpaan angin dari luar jendela yang kubuka terasa sejuk menyapa kulitku. Aku nikmati sejenak kenyamanan ini melalui jendela kamarku. Kutinggalkan buku-buku tugas yang tergeletak di lantai.
Tenang, entah mengapa bagiku terasa sangat menenangkan ketika hujan turun ke bumi. Seolah langit sedang menghiburku yang kesepian dan rindu akan satu hal, kehangatan. Kehangatan yang hampir tidak pernah lagi aku rasakan. Kehangatan yang selalu aku harapkan setiap saat. Kehangatan yang hanya tinggal sebuah kenangan semata.
“A Raka, tunggu!” Teriakku menyusul kakak lelakiku yang sedang berlari di bawah guyuran air hujan yang mulai deras di pekarangan rumah kami, “Ayo, Aa mau ke depan komplek, nih. Pasti seru!” Sahut kakakku yang juga berteriak karna suara derasnya air hujan yang terlalu keras.
Aku dan kakakku berlari keluar pekarangan rumah menuju jalanan komplek perumahan. Dengan semangat kami berlarian mengelilingi komplek perumahan kami. Aku dan kakakku sangat suka hujan. Kami selalu berlarian keluar rumah saat hujan mulai turun dengan deras. Sambil berteriak kakakku akan meneriakkan kalimat yang dipercaya olehnya dapat membuat lebih deras air hujan yang turun.
“KULUK, KULUK HUJAN GEDEEE!!!” Teriak kakakku dengan lantang. Aku hanya tertawa mendengarnya berteriak di bawah derasnya guyuran air hujan.
“Aa memangnya kalau Aa berteriak seperti itu ada ngaruhnya?”Tanyaku sedikit mengeraskan volume suaraku.
“Iyaaa, Dek. Nanti hujannya akan turun lebih deras lagi.” Katanya dengan yakin dan kembali berteriak mengatakan kalimat itu lagi namun dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Aku menganggukkan kepalaku dan mengikuti apa yang di lakukannya. Aku suka hujan, aku senang bisa bermain dengan kakakku. ‘Terima kasih hujan!’ Batinku.
Saat aku masih berlarian mengitari kakakku. Tiba-tiba ia menghentikanku dan berkata, “Dek, kita main serodotan, yuk! Di selokan itu, pasti seru. Airnya deras banget, Dek. He he..,” Ia menunjukkanku aliran selokan yang deras dengan air mengalir karna hujan.
“Ayo, aku mau!” Sahutku antusias. Kakakku bergegas lebih dulu masuk ke dalam selokan. Airnya sangat deras jadi ia membantuku untuk turun setelahnya.
“Kamu udah siap?” Tanyanya saat aku sudah duduk di belakangnya, “Udah!” Setelah mendengar jawabanku, ia melepaskan pegangan tangannya pada pinggiran selokan.
“Wuihiiiii!!!” Kami berteriak kegirangan. Rasanya seperti naik serodotan air sungguhan. Sangat seru. Kami asyik dengan permainan serodotan air di selokan tersebut. Tanpa sadar waktu yang sudah kami habiskan untuk main hujan-hujan sudah lebih dari setengah jam.
Saat kami akan melakukan serodotan lagi. Tiba-tiba aku mendengar suara mama memanggil namaku dan kakakku, “Rain, Raka! Kalian sedang apa? Kenapa bisa di dalam selokan? Itu bau, sayang!” Suara mama terdengar sedikit berteriak menahan kesal.
“Main serodotan, Ma. Seru, he he he...”Jawabku jujur.
“Hadeuuhh, itu kotor Nak! Cepat naik! Mama cari-cari kalian dari tadi, ternyata di sini main kotor-kotoran. Mama akan hukum kalian, ya!” Mama mencoba meraihku untuk mengangkat tubuh keluar dari dalam selokan.