Terpaan sinar mentari di pagi hari begitu hangat menyapa wajahku. Suara burung berkicau sesekali menyambutku dengan riang.
Entah, pagi ini aku merasa sangat bersemangat berangkat sekolah. Bahkan lebih semangat dari 2 minggu sebelumnya.
Aku masih setia melangkahkan kakiku dengan pasti menuju jalan raya tempatku biasa menunggu angkot ke arah sekolahku.
Ku lirik jarum jam tangan pemberian Tika, minggu lalu yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Tepat pukul 06.00 pagi.
Perjalanan menuju sekolah membutuhkan waktu 20 hingga 30 menit. Biasanya cukup bagiku untuk sampai ke sekolah sekitar pukul 6.30 pagi.
Seperti biasa, sesampainya di sekolah aku langsung berjalan menuju kelas. Ku dudukkan pantatku di kursi lalu mengeluarkan buku catatan dan buku tugasku.
Aku membaca buku catatan pelajaran sembari menunggu kedatangan Tika. Karna jam masuk sekolah pukul 07.00 pagi, masih banyak waktu bagiku untuk membaca catatan dan memeriksa kembali tugas-tugas sekolahku.
Sesaat setelah aku selesai membaca buku catatan dan hendak memeriksa tugas Matematika. Ku dengar suara nyaring yang sudah biasa menyapa telingaku, “Hai, Rain!” Pekiknya menyapaku dengan riang dari ambang pintu.
“Pagi, Tika.” Jawabku tenang.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanyanya dengan riang ketika sampai di sebelahku.
“Baik, Terima kasih Tika. Bagaimana denganmu?” Timpalku tersenyum.
“Sangat baik! Seperti biasa aku selalu bersemangat, he he..,” Ia menaruh tasnya ke atas meja lalu menggodaku, “Oh, Rain! Jangan tunjukkan senyum manis itu pada gebetanku, he he. Aku bisa kalah olehmu karna senyum manis itu dapat membuatnya menyukaimu.”
“Tika, aku sudah katakan berulang kali padamu. Aku tak pernah berpikir pada hal-hal semacam itu. Aku hanya berpikir untuk belajar dengan baik di sekolah. Dan Aku tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku. Aku hanya orang miskin yang mengandalkan beasiswa. Aku tak ingin fokusku terpecah karna memikirkan hal-hal semacam itu. Aku harus bisa dapatkan juara umum. Aku sudah berjanji padanya—Pak Muchlis, kau tahu itu kan?” Sanggahku sedikit serius.
“Ya ya ya, Aku tahu. Aku hanya bercanda Rain, he he. Kau selalu sama, begitu serius jika menyangkut sekolah. Bahkan kau lupa kalau kau itu masih remaja. Seharusya kau menikmati masa remajamu dengan bergaul, bermain dan tidak lupa berpacaran, he he he.” Timpal Tika tertawa padaku.
“Ha ha, itu kau Tika.” Aku membalasnya dan ikut tertawa.
“Kau sedang apa, Rain?” Tanya nya penasaran. Tapi belum sempat ku jawab, Tika sudah dapat menerkanya, “Memeriksa tugas? Ah, pastinya begitu! Kau betul-betul sangat rajin, Rain. Aku bahkan mengerjakan tugas ini alakadarnya terutama mata pelajaran Matematika. Kau tahu?! Matematika lebih rumit dari menerka-nerka perasaan lelaki yang memberiku perhatian. Rumus-rumus rumit yang bahkan tak ku mengerti membuat kepalaku sudah pusing saat melihatnya. Sungguh, hidupku sudah rumit oleh jadwal kencanku dengan gebetan-gebetanku, he he.” Ceracau Tika menunjukkan wajah frustasinya lalu kembali tertawa.
“Ha ha, kau sungguh membuatku geli!” Aku ikut tertawa mendengar celotehannya itu.
“Tertawalah, gadis manis! Kau sungguh manis. Siapa namamu?” Seorang siswa laki-laki tak dikenal tiba-tiba sudah berada di hadapan kami berdua. Aku hanya diam. Sedangkan Tika menyenggol-nyenggolkan tanganku dengan sikunya. Dengan senyumnya ia melanjutkan bicaranya, “Baiklah, jika kau tak mau menjawabnya. Mungkin lain kali saja.” Lanjutnya kemudian berjalan ke depan kelas. Tak lama kemudian masuk seorang laki-laki berdiri di sampingnya membawa sebuah kotak kecil bertuliskan Kas OSIS.