“Euum.. mau mampir dulu nggak?” tanyanya sambil melepaskan helm
Malun menoleh kepadanya. “Langsung pulang, makasih.” senyumnya canggung
“Hati-hati di jalan, ya.” ujarnya. Keduanya kembali canggung, bibir yang bicara, wajahnya merah padam.
Setiba di rumah pukul setengah empat sore. Tercium aroma daun pandan dari luar, buru-buru ia mempercepat langkah. Perutnya sudah lapar sedari dalam perjalanan pulang. Sampai di ruang tamu, ibu sedang membuat kue, ada yang sudah mateng, ada yang baru dimasukkan oven.
Setelah Malun menyalami tangan ibunya. “Dari mana saja, Nak. Baru pulang?” tanganya mengaduk-aduk adonan kue.
“Ganti baju. Habis itu langsung anterin kue. Alamatnya nanti Ibu kirim ke WhatsApp kamu.” lanjutnya dan menghilang dibalik gorden.
Malun baru sampai rumah sebenarnya dia laper pengin makan dulu tetapi ibunya menyuruh mengantarkan kue pesanan, makan dijalan sajalah. Dua pesanan kue yang akan di anterkan oleh Malun kepada pelanggan sore ini juga. Melihat awan mendung dia khawatir takut hujan. Akhir-akhir ini memang turun hujan.
Motor memasuki kompleks Nusa Indah. Tetap mencarinya, nihil. Beberapa menit kemudian akhirnya Malun menemukannnya dan tiba di depan rumah terlihat sepi itu. Depan halaman rumahnya berserakan dedaunan kering, pagar besi warna biru telor asin. Di teras rumah dua bangku saling hadapan, ditengah meja dihiasi kaktus kecil. Dan ada taman kecil di halaman rumah
“Assalamualaikum. PAKEET!” salam Malun dari luar pagar. Tidak ada jawaban dari dalam. Sekali lagi ia salami, dan tak lama keluar perempuan tua menghampiri Malun.
Di tengah perjalanan menuju pulang, Malun meneduh bersama lainnya. Bapak tua pedagang asongan dan dua perempuan sepulang bekerja kantoran dan bertambah satu orang ikut meneduh di antara mereka. Jaketnya basah kuyup, perempuan berlari kecil. Salah satu di antara mereka menatap perempuan itu dari awal turun sampai di depan hadapannya. Matanya mengamati, tidak asing lagi. Malun mengenal sosok itu seperti pernah bertemu? Di mana?
Seiring berjalannya waktu dan kota diselimuti kabut tipis sehabis hujan. Wajar saja jika kota selalu di selimuti kabut karena gunung dari sini lumayan dekat jaraknya. Pengendara motor saling bersalipan memenuhi jalanan. Sehabis hujan ada saja pesan terselip di baliknya, dan ada arti di balik semua itu yang masih menyimpan misteri.
“Hai,” sapa pria itu dibelakang. Halte menyisakan pedagang asongan dan mereka berdua.
“Iya.” membalikan badannya.
Adegan drakor Korea. Malun menaikkan alisnya, perempuan itu matanya mengamati, mengingat wajah yang pernah bertemu beberapa hari lalu.
“Masih ingat?” menunjuk dirinya sendiri, meyakinkan dia tak lupa bahwa pernah berjumpa.
“Tentu saja, aku ingat. Iya. Terlambat masuk kelas, dihukum membersihkan kamar mandi.” tawanya pelan. Dia merapihkan anak rambutnya.
Malun membuka jaketnya dan memberikan kepadanya “Kalo nggak cepat ganti, masuk angin nanti.”
krucuk-krucuk