Raindu

M. Yusuf Kamal
Chapter #7

#7

“Ayah... janji, yaaa, pulangnya bawa mainan.” Adik menjajarkan langkah Ayah.

“Pasti Ayah bawain, asal kamu jangan bandel, yaa.” mengelus-elus rambut sang adik, sekarang. Tinggal menunggu koper dimasukkan ke dalam bagasi oleh sopir.

Sang Ayah mendekati Malun, “Kamu mau Ayah belikan apa nanti, Malun?” tanya Ayah tersenyum.

“Nggak perlu, Yah. Aku minta Ayah pulang dengan selamat.” katanya, mulia sekali anak itu.

Ayah tertawa kecil, “Anak pintar, pasti ayah pulang dengan selamat, doakan, Ayaah.”

Sekarang Ayah ngobrol barang waktu lima menit bersama Ibu. Mereka berdua seperti kaum muda-mudi dan Ayah memeluk Ibu sebelum mengucapkan perpisahan dan Adik juga Malun. Lalu Ayah masuk ke dalam mobil, melambaikan-lambaikan tangan, semakin jauh mobil meninggalkan semakin tak terlihat juga bentuk rupanya dan melesat menuju bandara.

Adik dahulu masuk, kian hari menjelang sore membelai rindu.

“Kemaren Ibu dapat orderan, Nak,” katanya,“ bentar.” mengambil handphone di saku celananya, “kamu tahu kompleks ini dimana?” menunjukan layar handphone yang tertera alamat tersebut.

“Oh.. tahu Ibu.”

“Jam empat nanti anterin kuenya, oke.”

“Baik, Bu ...” ibu masuk terlebih dahulu, di susul Malun membuntuti dibelakangnya.

Pukul empat sore Malun berangkat dari rumah menuju alamat yang dimana dia sendiri pernah ketempat itu setelah diingat-ingat Malun agak lupa ketika di persimpangan, ke kanan atau ke kiri. Dan juga membawa pesanan kue yang dipesan orang itu. Katanya, google maps kadang bisa dipercaya, kadang pula benar. Berharap dia juga mengingat sesuatu bahwa dahulu pernah melewati jalan ini bersama seseorang. Menjadi masalah adalah kompleksnya sulit di temukan. Lantas Malun bertanya pada Satpam lagi ngudud santai di bawah pohon Rambutan.

Nggak enaknya tuh gini nih nganter pesanan disaat orang rumah tidak muncul dan harus nunggu. Ketika dirinya mengamati di sekitaran kompleks itu. Malun membalikkan badan.

“Dari siapa, ya?”

Ketika dua insan saling berhadapan, mata saling memandang dan jantung saling berdebar. Disitulah alam semesta kembali menghadirkan mereka berdua disaat tak diinginkan dan mereka berdua saling tertawa ternyata mengenal satu sama lain, bahkan pernah mengantarkan pulang dan meminjamkan jaket, kejebak hujan dihalte dan makan bareng diangkringan.

Malun ditawari untuk mampir oleh perempuan itu. Malun mau-mau saja walau sebenarnya malu. Kini mereka duduk saling berhadapan di teras rumah.

“Mau minum, apa?” tawarnya sebelum masuk ke dalam membuatkan.

“Makasih, apa aja.”

Lihat selengkapnya