Dalam kamar sedikit temaram, dan mentari pagi menyelinap masuk lewat jendela. Ajeng sedang merapihkan buku-bukunya yang berdebu, berbulan-bulan tak dibersihkan. Ketika membersihkan buku berikutnya dengan handuk kecil, terhenti, matanya mengamati sampul buku yang mengingatkan beberapa tahun lalu yang telah diberi oleh seorang lelaki pelindungnya, berperan penting dalam kehidupan. Menghembuskan napas lalu berusaha tersenyum, “Ayah... Apa kabar disana? Aku kangen ayah?” terasa berat sekali
Satu persatu buku Ajeng masukkan ke sebuah rak buku. Ajeng gemar membaca sejak kecil sampai sekarang Ajeng mengkoleksi buku empat puluh buku dan sore nanti tepatnya pukul setengah empat sore, ia harus siap-siap memakai baju mungkin akan memilih-milih baju cocok untuknya berpergian bersama lelaki mengajaknya ke toko buku.
Handphone berdering, Ajeng mengambil handphone di atas meja belajarnya.
“Apa,” katanya dari seberang sana.
“Pengin nelepon aja.” Malun pengin bilang bahwa “jangan lupa nanti sore,” kenapa bermaksud seperti itu, aduh. Entah kenapa selalu gugup buat bicara kepada Ajeng.
“Oh.. gitu, ya.” kalo boleh jujur sebenarnya Ajeng itu tersenyum.
“Sampai ketemu sore nanti, Ajeng.” nahkan setelah mengumpulkan keberanian buat bicara akhirnya. Bicara gitu doang apa susahnya? Padahal virtual loh...
Pintu diketuk
“Kakak.” panggilnya dari balik pintu.
“Masuk dek.”
Perempuan berusia sembilan tahun dengan rambut agak kecoklatan, matanya bagai princes, bulunya lentik sekali. Lucu dan imutnya bagai bayi panda.
“Kak ....”
“Pasti mau minta coklat lagi, ya...” belum selesai bicara. Ajeng memotong. Tahu maksud Adik setiap ke kamarnya
Adik kecil itu mengangguk, wajahnya sengaja dibuat-buat agar dikasih coklat.
“Kamu tuh makan coklat mulu, marahin mamah loh...”
“Ih kakak, janji. Ini terakhir.”