Raindu

M. Yusuf Kamal
Chapter #14

#14

°°°°

Mereka bertiga telah sampai. Oh, ya, sebelum mereka ke warung Emak, mereka ganti baju dahulu. Nggak baik, kan, anak SMP kelas tiga nongkrong di warung. Namanya warkop Emak, mereka terbiasa menyebutnya warung bukan bermaksud mengganti nama, begitulah anak SMP. Warung Emak ini tempatnya di pinggir jalan dan ada lahan untuk parkir motor. Jangan heran semisal setiap sore dan malam ramai oleh abang-abang ojol yang pada ngopi sambil nunggu orderan dan anak muda lainnya ikut nongkrong, kadang juga ada anak kuliah nongkrong sambil diskusi dan pernah suatu waktu Adam, July dan Malun datang ke warkop sepulang sekolah. Kaget karena mereka lihat banyak anak kuliah pada pake almamater. Mereka balik lagi, dong, nyari tempat buat nongkrong sambil nugas.

Hanya menyisakan beberapa jarak saja dan di bagian dalamnya terdapat bangku panjang kayu muat untuk lima orang dan juga meja panjang menempel langsung ke dinding dan televisi jadul tertempel di atas dinding kayu terkadang gambarnya banyak semut dan awal mereka nongkrong di warkop itu waktu kelas dua semester dua. Nggak sengaja, waktu mereka lagi membeli peralatan melukis ada tugas dari sekolah dan sepulang membeli peralatan melukis tiba-tiba di jalan hujan. Awalnya mereka berangkat pukul dua sore masih cerah, awan tidak ada sama sekali, langit biru semuanya. Yang tadinya cerah, sekarang mendung menjadi awan hitam menyeramkan, sesekali kilatan petir terlihat. Mereka buru-buru pulang dan di pertengahan jalan hujan turun sangat deras. Mereka kebingungan nyari tempat neduh di mana dan lantas bertemulah warkop Emak yang terlihat dari kejauhan jalan. Memacu motor untuk tiba di wakop tersebut dan awal nongkrong memesan mi dan teh hangat, kopi sambil menunggu hujan reda. Tempatnya enak banget, strategis pula, kemana-mana dekat dan jadilah tempat tongkrongan mereka dan di sinilah tempat mereka yang nantinya terjadi sebuah rencana yang tak terduga.

Tanpa memberi kabar di grup WhatsApp bahwa dia di warkop Emak setelah pulang dari pemakaman Rain. Pikiran kacau balau, perasaannya campur aduk. Malun merasa bahwa dia hidup tidak punya siapa-siapa lagi selain Rain. Kematian perempuan Malun sayangi selama ini telah meninggalkannya pergi tanpa pamitan. Entah gimana ceritanya Malun malah ke warkop Emak, untung saja nggak terlalu rame hanya ada beberapa orang saja dan di bagian dalam pun tampak sepi. Emak lagi menonton televisi. Emak senang melihat Malun ke warkop lagi sisi lain Emak juga kaget karena Malun matanya sembab habis nangis. Kelihatan sekali walaupun sebelumnya Malun membasuh wajahnya di keran berada di luar agar tampak tak habis nangis dan Emak bertanya-tanya kenapa. Malun menceritakan kepada Emak.

Saking sayangnya sama Adam, July dan Malun benar-benar kayak di anggap anak sendiri. Pernah bilang; “Misal ada masalah ke sini aja, cerita-cerita di sini, masalah lebih baik di ceritakan.” mereka pernah bantu-bantu di warkop Emak ketika warkop lagi rame-ramenya. Emak tinggal sendirian, suaminyw meninggal tiga tahun lalu. Dua anaknya merantau, pulang setiap bulan puasa. Emak melihat mereka seperti melihat dua anaknya. Kata Emak, July dan Adam mirip dari wajah dan sikapnya yang lucu itu.

“Assalamualaikum, Mak,” ucap mereka bersamaan.

Emak mengelap tangannya seberes cuci piring.

“Waalaikumsalam. Kesini, tuh, ganti baju dulu, kan pada kasep sama geulis keliatan,” ujar Emak kepada mereka. Emak menyarankan semisal ke warkop ganti baju biar nggak dicariin sama orang tua. Kejadiannya waktu itu mereka pulang sekolah cepat gara-gara gurunya pada rapat. Mereka menyempatkan mampir dulu ke warkop, dari sekolah langsung ke sini tidak jauh jaraknya. Kata Emak sih, takut orang nyangka mereka bolos sekolah.

“Iya... Emmak! Dari lahir emang udah cakep, Mak,” kata Adam tanpa pikir panjang. Nggak sesuai sama omongan padahal. Bisa dibilang pas-pasan wajah Adam itu, ganteng nggak, jelek juga nggak, intinya pas-pasanlah. Perangainya kadang melucu, kadang pendiam, kadang absurd, hidungnya mirip burung elang.

Lihat selengkapnya